IMDb: 8,4/10 | Rating Saya : 7,5/10

Rated : PG | Genre: Animation, Aventure, Comedy

Directed by Lee Unkrich | Screenplay by Adrian Molina, Matthew Aldrich

Story by Lee Unkrich, Jason Katz, Matthew Aldrich, Adrian Molina 

Produced by Darla K. Anderson

Starring Anthony Gonzalez, Gael García Bernal, Benjamin Bratt, Alanna Ubach, Renée Victor, Ana Ofelia Murguía, Edward James Olmos   

Cinematography by Matt Aspbury (camera), Danielle Feinberg (lighting)

Edited by Steve Bloom

Music by Michael Giacchino, Germaine Franco, Adrian Molina, Kristen Anderson-Lopez, Robert Lopez

Production companies Walt Disney Pictures, Pixar Animation Studios    

Distributed by Walt Disney Studios, Motion Pictures

Release date 20 October 2017 (Morelia), 22 November 2017 (United States)       

Running time 105 minutes | Country United States

Language English | Budget $175-225 million

 

Film-film keluaran Pixar gak pernah bikin saya kecewa. Hampir seluruh film keluaran Pixar, pasti bagus. Lihat saja Toy Story dan WALL•E. Bagus banget kan? Makanya pas Coco (2017) ini tayang di bioskop, saya langsung antusias meskipun saya gak nonton langsung di bioskop karena saat itu lagi gak sempat aja.


STORYLINE

Coco adalah film Pixar yang bercerita tentang seorang anak Miguel Riviera, bocah 12 tahun asal Meksiko yang punya mimpi buat jadi seorang musisi terkenal. Namun apa daya, kedua orang tuanya tidak merestui impian Miguel. Bahkan Keluarga besar Riviera melarang keras musik. Bagi mereka musik itu haram! Bahkan orang random yang main gitar di depan jalan aja didamprat sama nenek Miguel.

Orang yang main gitar di jalanan depan rumah didamprat nenek Miguel, Abuelita. Diduga, semua dilarang karena mereka adalah keturunan dari musisi terhebat se-Meksiko, bahkan sedunia, Ernesto de la Cruz.

Lho, kalau mereka keturunan musisi hebat kayak Ernesto de La Cruz, kenapa mereka jadi didoktrin buat benci sama musik? Alasannya, Ernesto de la Cruz rela meninggalkan istrinya, Imelda Rivera dan putrinya yang baru berusia tiga tahun untuk mengejar mimpinya sebagai seorang musisi. Tapi ya emang dasarnya rebel, Miguel tetap mempelajari musik secara diam-diam selagi keluarganya gak mengawasi. Miguel bahkan diam-diam mengidolakan Ernesto de la Cruz.

Ernesto de la Cruz


Miguel sampai nekad menyelinap ke makam Ernesto de la Cruz untuk mencuri gitar Ernesto dengan harapan ia bisa sepiawai Ernesto dalam bernyanyi dan memainkan alat musik. Sialnya, tak lama setelah ia menyentuh gitar Ernesto, ia malah pergi ke dnia lain, Dunia Kematian.

Coco dibuat berdasarkan latar belakang kebudayaan Meksiko yang kental. Dalam budaya Meksiko, ada sebuah festival bernama  El Dia de Los Muertos (Festival Hari Kematian) di mana, pada festival tersebut, orang Meksiko mengadakan parade besar-besaran. Suasananya mirip seperti peringatan tahun baru.

El Dia de Los Muertos (Foto : Kenneth Garrett/National Geographic)


Festival El Dia de Los Muertos benar-benar bikin jalanan Meksiko pecah. Banyak orang yang sengaja mengenakan kostum tengkorak dan hiasan serba hitam sambil bernyani dan menari. Gak lupa, ada juga yang memakai anting tengkorak, kalung tengkorak, atau aksesoris lainnya yang berbentuk tengkorak. Film ini menggambarkan kebudayaan Meksiko dengan sangat bagus, saya yang bukan orang Meksiko jadi tahu banyak.

Altar foto keluarga dalam film Coco

Orang Meksiko pun mirip dengan orang India yang memajang foto anggota keluarganya yang sudah meninggal di rumahnya. Gak cuma dipajang gitu aja, foto-foto anggota keluarganya pun dihias sedemikian rupa. Menjelang Festival El Dia de Los Muertos, anggota keluarga yang masih hidup melakukan ritual bersih-bersih pada foto-foto anggota keluarganya yang telah tiada, menghiasnya, dan juga mendoakan mereka. Mirip dengan ritual ziarah kubur yang dilakukan orang Indonesia ketika Bulan Ramadhan tiba.

Pada film ini, foto orang yang sudah meninggal tapi masih dipajang anggota keluarganya mendandakan bahwa anggota keluarganya yang masih hidup masih mengingat mereka yang sudah meninggal. Di film ini digambarkan, saat Festival El Dia de Los Muertos, anggota keluarga yang sudah meninggal akan turut hadir di tengah-tengah kita semua, secara ghaib. Dengan catatan, foto orang yang sudah meninggal tersebut masih dipajang. Kalau fotonya sudah gak dipajang, mereka gak bisa hadir di tengah-tengah mereka.

Kembali ke Miguel. Setelah masuk ke Dunia Kematian, Miguel jadi sadar, bahwa ada banyak orang yang akhirnya benar-benar mati karena tidak bisa kembali ke dunia manusia. Benar-benar mati, sendirian di ranjangnya karena ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang mengingatknya. Sebaliknya, ada juga orang yang setiap tahunnya, pada Festival El Dia de Los Muertos bisa kembali ke dunia manusia karena masih banyak anggota keluarganya yang mengingatnya, dengan memajang foto dirinya di rumahnya.

Coco adalah film yang luar biasa, yang bikin penontonnya jadi mikir, “Saat saya mati, ada yang bakal mengingat saya gak ya? Ada yang bakal menangisi jenazah saya gak ya? Apakah saya akan dikenang seperti Kurt Cobain atau Nike Ardila?

Dua orang yang saya jadikan contoh di atas merupakan dua musisi yang sudah wafat puluhan tahun yang lalu tapi karya-karyanya masih dikenang oleh para penggemarnya. Bahkan setiap harinya selalu ada penggemar-penggemar baru yang menggemari karya-karya mereka dari generasi yang lahir setelah mereka wafat. Setiap tahunnya hari kelahiran dan hari kematian mereka berdua selalu diperingati oleh parapenggemarnya. Untuk ukuran film animasi, Coco benar-benar berat banget, gak cuma menampilkan visual yang memanjakan mata.

Keluarga Miguel yang lagi berkunjung

Kayaknya, orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film Coco risetnya gak main-main deh. Di sini, orang Meksiko digambarkan punya kultur kekeluargaan yang erat banget. Sebagai keluarga besar, orang Meksiko digambarkan tinggal bersama dalam satu rumah yang besar, beda dengan orang Amerika yang lebih individualis dalam kelompok yang lebih kecil. Orang Meksiko juga digambarkan sebagai orang yang sangat menyanyangi sosok Ibu, Nenek, dan Buyut mereka. Di film ini, Nenek Abuelita dan Nenek Buyut Imelda digambarkan sebagai sosok yang dihormati dan jadi semacam pemimpin bagi keluarga Miguel.



Selain menampilkan cerita dan visual yang baik, musik yang terdapat pada film ini pun tidak main-main. Musik yang ditampilkan pada film ini semuanya betul-betul enak buat didengar. Cobain deh nonton film ini.

Nonton film Coco malah bikin saya insecure soalnya sampai sekarang, saya belum bikin karya yang bisa membuat orang-orang mengenal saya setelah saya mati nanti. Yah, mudah-mudahan suatu saat nanti saya bisa berkarya untuk keberlangsungan umat manusia sehingga saya bakal dikenang oleh orang-orang yang membaca atau menikmati karya saya nantinya.

 

KESIMPULAN

Coco (2017) adalah film keluaran Disney dan Pixar yang sangat bagus, sama seperti Toy Story. Mungkin Coco bisa dibilang sebagai ‘Toy Story-nya’ Gen Z. Nah kalau kamu belum nonton film ini,  segeralah bertaubat dan tontonlah film ini.