IMDb: 8/10 | Rating Saya : 8/10
Rated : R | Genre: Biography, Drama
Directed by Jean-Marc Vallée | Written by Craig
Borten, Melissa Wallack
Produced by Robbie Brenner, Rachel Winter
Starring Matthew McConaughey, Jannifer Garner, Jared
Leto, Denis O'Hare, Steve Zahn, Michael O'Neill, Dallas Roberts, Griffin Dunne,
Kevin Rankin, Bradford Cox, Scott Takeda, Adam Dunn
Edited by John Mac McMurphy, Martin Pensa
Production companies Truth Entertainment, Voltage
Pictures
Distributed by Focus Features | Release date 1
November 2013
Running time 117 minutes | Country United States
Language English | Budget $5 million
STORYLINE
Dallas Buyers Club adalah film Hollywood yang dirilis
pada tahun 2013. Film ini bercerita tentang kisah hidup seorang pria pengidap
HIV/AIDS bernama Ron Woodroof. Film ini bukan film fiksi, tapi kisah nyata,
makanya ini film keren banget.
Tentunya, film yang bercerita tentang kisah hidup
seseorang yang mengidap HIV/ADIS jarang kita tonton kan? Awalnya pun, saya
tidak menyangka bahwa Dallas Buyers Club bercerita tentang hal tersebut. Saya
kira, film ini temanya tentang koboy-koboyan di Dallas jika melihat posternya. Saya
tertarik nonton film ini setelah melihat penganugerahan Oscar pada Jared Letto
sebagai Best Suporting Actor/Aktor Pendukung Terbaik pada tahun 2014.
Film ini dibuka dengan sangat liar, di mana Ron
Woodroof (diperankan Matthew McConaughey) lagi sibuk (maaf) threesome dengan
dua orang gadis di balik kandang sapi. Pokoknya jangan nonton film ini bareng
orang tua, pastinya bakalan canggung saat melihat adengan ini.
Ron Woodroof bekerja sebagai salah satu teknisi
listrik di Dallas. Suatu hari, ia tidak sengaja tersetrum sehingga dilarikan ke
rumah sakit. Naas, begitu sadar, ia malah divonis kena HIV/AIDS oleh dokter
berdasarkan pemeriksaan darah yang dilakukannya. Dokter malah bilang usia Ron
paling lama satu bulan ke depan. Ajaib sekali ia masih bisa hidup dengan
kondisi medis seperti itu.
Ron lagi riset di perpustakaan |
Sebagai seorang koboy yang rebel, pastinya Ron menolak
hasil diagnosis dokter. Ia menuduh dokter menukar hasil darahnya dengan pasien
lain. Dokter yang menangani Ron pun bilang, ia sudah mengulang tes darahnya
berkali-kali biar gak salah diagnosis. Ron yakin tidak terjangkit HIV/AIDS
karena ia bukanlah seorang homoseksual. Tapi akhirnya ia ingat pernah
berhubungan seks tanpa kondom dengan seorang wanita pecandu obat-obatan
terlarang. Akhirnya ia menerima nasibnya bahwa ia terjangkiti oleh HIV/AIDS.
Sudah mah galau karena kena HIV/AIDS, Ron dikucilkan
oleh keluarga dan teman-temannya. Teman-temannya takut buat bergaul dengan Ron
karena menyangka Ron adalah seorang homoseksual. Mereka takut buat diajak
bercinta, takut ketularan juga. Sekadar nongkrong aja mereka gak mau karena
takut ketularan. Padahal HIV/AIDS tidak menular lewat droplet, tidak seperti
Influenza atau Covid. HIV/AIS menular lewat hubungan seksual, penggunaan jarum
suntik, maupun transfusi darah.
Tapi wajar, Film ini berseting pada tahun 1985, stigma
pada penderita HIV/AIDS lagi gila-gilanya. Orang-orang dengan kelainan
orientasi seksual pun sering kena persekusi oleh masyarakat karena dituding
sebagai biang keladi penularan HIV/AIDS. Bahkan musisi sekelas Freddie Mercury
aja kena hujatan masyarakat saat diketahui terkena HIV-AIDS, apalagi rakyat
jelata kayak Ron?
Ron ini beneran koboy sejati, bukan kaleng-kaleng. Ia
tidak mau menyerah dan pasrah begitu saja pada penyakitnya. Ia pergi ke
perpustakaan untuk membaca ragam surat kabar, majalah, sampai buku kedokteran
dan jurnal ilmiah kedokteran yang mengulas tentang penyakit yang dideritanya
ini. Ia mendapat informasi bahwa para dokter di seluruh dunia sedang mengadakan
uji coba obat Zidovudin (AZT), obat antiretroviral yang diklaim bisa memperpanjang
harapan hidup pasien HIV/ADIS. Obat ini pun sudah disetujui Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat untuk diberikan pada penderita HIV/ADIS,
semacam Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia.
Sayangnya, dokter yang merawat Ron, dr. Eve
(diperankan Jannifer Garner) tidak merekomendasikan Zidovudin (AZT) pada Ron karena obat
tersebut masih dalam uji klinis. Efektivitasnya belum pasti. Efek sampingnya
pun belum diketahui secara pasti. Dalam uji klinis, setengah dari pasien pun,
setengah pasien yang diuji coba diberi plasebo, jadi efektivitasnya masih bleum
pasti.
Emang dasarnya koboy, Ron tidak menyerah sampai di
situ. Ia menyuap tenaga kesehatan rumah sakit tempatnya dirawat, seorang cleaning
service untuk bisa membawakannya obat Zidovudin (AZT). Seperti
dugaan dr. Eve, Zidovudin (AZT) tidak berefek apa-apa pada Ron. Ia malah
semakin parah, ia tiba-tiba pingsan gitu aja sampai terpaksa dilarikan ke rumah
sakit.
Di rumah sakit, Ron bertemu dengan pasien HIV/AIDS
lainnya bernama Rayon (diperankan Jared Letto), seorang waria pecandu narkoba.
Sebagai seorang koboy yang maskulin, Roy risih banget ketika didekati waria
seperti Rayon. Tapi mau gimana lagi, di rumah sakit ia terpaksa berbagi kamar
dengannya. Rayon pun ternyata merupakan salah satu pasien uji coba Zidovudin
(AZT), dari situ Ron dan Rayon ngobrol panjang dan akhirnya jadi teman.
Di situ ia dapat informasi bahwa negara lain peraturan
kesehatannya lebih longar para penggunaan Zidovudin (AZT) untuk pasien
HIV/AIDS. Ia pun bergeras pergi ke sana. Di Meksiko, Ron mendapati bahwa
seorang mantan dokter asal Amerika Serikat, dr. Vass (diperankan Griffin Dunne)
nekad membuat tempat praktik ilegal seelah lisensinya dicabut karena ia nekad
memberikan Zidovudin (AZT) pada pasien HIV/AIS meski belum disetujui Food
and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat.
Di dunia nyata, dr. Vass ini saya pikir mirip dengan
dr. Terawan Agus Putranto yang selalu beda pendapat dengan kolega-koleganya.
Tindakan dr. Vass memang tergolong radikal dalam dunia
kedokteran karena bertentangan dengan sebagian besar koleganya. Tapi tindakan
dr. Vass bukanlah tindakan asal-asalan, ada dasar ilmiahnya. dr. Vass yakin
bahwa Zidovudin (AZT) bisa meningkatkan harapan hidup pasien HIV/AIDS,
tapi di sisi lain, dr. Vass tahu bahwa Zidovudin (AZT) pun ikut membunuh
sel-sel pasien HIV/AIDS yang lainnya. Mirip-mirip dengan kemoterapi.
Ron dan Rayon |
Sekali lagi, emang dasarnya koboy rebel, Ron malah
nekad untuk membeli Zidovudin (AZT) dan obat-obatan lainnya untuk pasien
HIV/AIDS yang belum disetujui Food and Drug Administration (FDA) Amerika
Serikat dari dr. Vass untuk dijual lagi di Amerika. Setelah dapat obat-obatan
tersebut, Ron bertemu dengan Rayon dan berkeliling kota untuk menawarkan
obat-obatan tersebut pada orang yang disinyalir mengidap HIV/AIS, yakni para
tunawisma, para waria, dan para pecandu obat-obatan terlarang.
Ron dan Rayon pun akhirnya mendirikan “Dallas Buyers
CLub”, sebuah klub untuk para pasien HIV/AIDS yang tidak bisa mendapatkan
obat-obatan macam Zidovudin (AZT) yang belum disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) Amerika Serikat. Lama kelamaan, Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat tahu tentang praktik ini dan menarik semua
obat-obatan yang dimiliki Ron.
Sekali lagi, emang dasarnya koboy rebel, Ron malah
pergi ke luar negeri buat cari obat-obatan tersebut. Ia pergi ke Tiongkok,
Jepang, sampai Israel. Tentunya ia membeli obat-obatan tersebut lewat perantara
dokter yang praktik di sana. Gila sih ini orang, patut diacungi jempol! Sudah
kena HIV/AIDS, gak mau menyerah, ia memperjuangkan hak-hak pasien HIV/AIDS
untuk bisa dapat pengobatan.
Di sini, saya melihat bahwa dokter dan perusahaan
farmasi banyak sekali berbeda pendapat. Dokter mungkin tidak terlalu berbisnis,
dalam artian, ia hanya menjual jasanya saja, sedangkan perusahana farmasi, ia
“berdagang” dalam industri kesehatan dunia dengan memasok obat-obatan. Ron
menuding banyak perusahaan farmasi menyuap Food and Drug Administration (FDA)
Amerika Serikat karena banyak obat yang diizinkan di negara lain tapi di
Amerika tidak diiznkan.
Film ini secara sempurna menggambarkan bagaimana
politik berpengaruh besar dalam industri kesehatan Amerika Serikat lewat
kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Emang ini film kelasnya Oscar! Film ini
memenangkan 3 Piala Oscar dari 6 nominasi Oscar yang disematkan padanya.
Nominasi Oscar untuk film ini adalah nominasi Aktor
Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik, Tata Rias dan Tata Rambut Terbaik, Penyuntingan
Film Terbaik, Film Terbaik, dan Skenario Asli Terbaik. Yang dimenangkan adalah
nominasi Aktor Terbaik (Matthew McConaughey), Aktor Pendukung Terbaik (Jared
Letto) serta Tata Rias dan Tata Rambut Terbaik.
Bagi yang terbiasa dengan film-film easy watching
macam Marvel Cinematic Universe, film ini akan terasa sangat membosankan.
Hampir semua dialog yang ada pada film ini gak ada musik scoringnya sama
sekali. Ya, film-film kelas Oscar memang banyak yang seperti ini, bagi sebagian
besar orang sih tidak ramai dan cenderung membosankan.
CHARACTER
Karakter yang ada pada film ini gak main-main. Tokoh
yang paling menonjol di sini tentu saja Matthew McConaughey dan Jared Letto.
Mereka masing-masing mendapatkan Oscar untuk Aktor Terbaik dan Aktor Pendukung
Terbaik atas aktingnya di film ini. Gak kaleng-kaleng, akting Matthew McCoughey
sebagai Ron dan akting Jared Letto sebagai Rayon di sini gak main-main.
Di sini, saya menyoroti Jared Letto yang menerima
banyak hujatan karena aktingnya yang buruk sebagai Joker dalam film Suicide
Squad (2017). Saya yakin, Jared Letto bisa jadi Joker yang baik, jadi Joker
yang setara dengan Mendiang Heath Ledger dalam film The Dark Knight (2008) dan Joaquin
Phoenix dalam film Joker (2019) asalkan diarahkan sutradara yang tepat dan
skripnya ditulis oleh penulis skenario yang tepat. Di film ini dia dapat Oscar
lho! Kurang jago apa coba aktingnya?
Jared Letto dapat Oscar |
Waktu pertama nonton film ini, saya gak sadar kalau Rayon
adalah Jared Letto. Saya pikir Jared Letto akan muncul di tengah-tengah film
atau di akhir film, karena ia kan berperan sebagai aktor pendukung saja, bukan
aktor utama layaknya Matthew McCoughey. Gak taunya, ia berperan sebagai Rayon
dong! Gak kelihatan akrena di sini Rayon kurus banget, hampir botak, suaranya
pun beda dengan suara Jared Letto. Aktingnya emang benar-benar gila ini Jared
Letto!
KESIMPULAN
Dallas Buyers Club adalah film yang saya
rekomendasikan untuk ditonton karena jalan ceritanya sangat bagus. Film ini
diangkat dari kisah nyata. Film ini membuat kita jadi bisa lebih bersimpati
pada pasien HIV/AIDS. Perjuangan mereka sangatlah berat. Sudah mah kena
penyakit mematikan, eh kena hujat masyarakat. Setidaknya kalau kita tidak suka
dengan mereka, tidak usah menghujatnya. Itulah pesan moral yang bisa saya ambil
setelah menonton film ini.
Film ini pun menyuguhkan banyak sekali istilah medis kedokteran dan istilah farmasi. Untuk tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker atau ners, pastinya gak asing, tapi untuk masyarakat awam kayak saya pastinya asing banget dengan istilah-istilah kesehatan yang disebut-sebut sepanjang film ini.
0 Comments