Semalam,
Persib Bandung imbang dari Persebaya dengan skor 1-1. Sangat disayangkan, namun
itulah sepakbola. Ada yang kalah, ada yang imbang, dan ada yang menang.
Dinamikanya memang seperti itu. Pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas
teknis pertandingan semalam. Biarlah hal tersebut jadi urusan Robert Rene
Alberts dan jajaran tim kepelatihan Persib Bandung.
Di
tulisan saya berikut ini, saya menyoroti perilaku fans sepakbola yang
memaki-maki para pemain maupun pelatih Persib Bandung, Robert Rene Alberts
akibat imbangnya Persib dari Persebaya. Makian tersebut tentu tidak disampaikan
secara langsung pada mereka, namun disampaikan secara ‘santun’ lewat
laman media sosial Persib Bandung sehingga peluang Persib Bandung jadi juara
semakin kecil. Tidak sedikit Bobotoh yang berkata-kata kasar pada jajaran
pemain dan pelatih pada lama media sosial Persib Bandung.
Tidak
hanya Bobotoh saja yang gemar melakukan tindakan serupa. Seluruh fans sepakbola
pun gemar melakukan tindakan tersebut pada tim kesayangannya. Jutaan fans
Manchester United gemar memaki-maki jajaran pemain dan manajemen Manchester United
atas bobroknya prestasi mereka. Demikian juga jutaan fans Arsenal juga gemar
memaki-maki jajaran pemain dan manajemen Arsenal atas bobroknya prestasi mereka.
Bahkan tim yang saat ini lagi jaya-jayanya seperti Liverpool pun gak pernah
lepas dari kelakuan fans yang gemar memaki-maki tim kesayangannya.
Saya
paham, fans sepakbola yang memaki para pemain, pelatih dan jajaran manajemen
merasa tidak puas akan permainan tim kesayangannya yang dinilai buruk. Tapi,
menurut saya, seharusnya fans sepakbola bisa mengekspresikan kekecewaannya
dengan lebih santun. Asal kalian tahu, jadi atlet sepakbola profesional pada
klub tidaklah mudah. Jadi pelatih sepakbola pada klub profesional tidaklah
mudah. Jadi pemain sepakbola tidak semudah main FIFA atau Pro Evolution Soccer.
Jadi pelatih sepakbola tidak semudah main Football Manager atau Fantasy
Football.
Menjadi
atlet sepakbola profesional tidaklah mudah. Hampir setiap hari,
mereka berlatih di bawah arahan tim pelatih yang bertugas. Atlet profesional
seperti mereka pastinya harus berlatih sepakbola dua kali dalam sehari, yakni
setiap pagi dan sore. Terkadang, malam pun masih harus latihan. Tentunya, menu
latihannya disesuaikan dengan kebutuhan, mulai dari latihan endurance, latihan
sprint, latihan angkat beban di gym, hingga berlatih teknis sepakbola
seperti corner kick, free kick, hingga tendangan penalti.
Menjadi
pelatih sepakbola profesional pun tidak semudah kelihatannya. Tim pelatih harus
membuat program latihan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan tim. Program
latihan setiap individu pun berbeda-beda, yang disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing individu. Program latihan untuk atlet yang lagi cedera maupun atlet
yang memiliki kondisi medis tertentu pastinya berbeda. Semuanya sudah diatur
sedemikian rupa.
Tidak
sampai di situ, tim pelatih pun masih harus mengurusi hal-hal di luar teknis
sepakbola seperti menjaga kesehatan mental para pemain didampingi psikolog
profesional yang menguasai ilmu psikologi olahraga. Selain itu, di tengah
pandemi Covid-19, tim pelatih pun dibuat pusing dengan segala macam protokol
kesehatan yang sangat rumit.
Saya
jamin, fans sepakbola yang kerjanya memaki-maki tim pelatih maupun para pemain
tidak mengetahui teknis yang saya sebutkan di atas karena tidak pernah
merasakan susahnya jadi pelatih sepakbola profesional. Mereka juga tidak pernah
merasakan beratnya jadi atlet profesional.
Makanya
ketika ada pemain yang menurut mereka bermain buruk, seenaknya saja bilang, “Harusnya
tadi jangan langsung shoot, coba dioper dulu, jadinya bisa gol!”, maupun
berkata, “Harusnya kiper jangan terlalu maju, jadinya kebobolan kan!”
Ketika
ada fans sepakbola berkata seperti itu, saya ingin berkata, “Ya sok, silakan
atuh kamu aja yang jadi main. Kamu aja yang jadi pelatih!”
15
tahun yang lalu, saya sempat merasakan jadi atlet cabang olahraga karate. Untuk
bertanding pada kejuaraan nasional di Jakarta saja, saya dan tim harus
mempersiapkan diri dari satu tahun sebelumnya. Selama hampir satu tahun, saya
berlatih dua kali dalam sehari hampir setiap hari. Kami para atlet hanya diberi
waktu libur pada akhir pekan saja, yakni Sabtu dan Minggu. Apakah saya berhasil
juara nasional? Tidak! Juara Porda atau Pomnas saja tidak, karena saya kalah
habis-habisan dengan atlet yang kemampuannya jauh di atas saya saat kejuaraan
tiba.
Saya
pun memanfaatkan privilege yang saya miliki sebagai seorang atlet untuk
keperluan skripsi saya. Saya menggabungkan disiplin ilmu komunikasi yang saya pelajari
saat kuliah dengan menyusun skripsi berjudul “Komunikasi Hubungan antara
Pelatih dan Atlet Cabang Olahraga Karate Jawa Barat pada PON Jawa Barat 2016”,
dan dari situ saya tahu, jadi pelatih dan atlet, betul-betul sangat rumit. Itu
baru pada ranah komunikasinya saja, belum pada ranah lainnya.
Selepas
lulus kuliah dan berhenti dari kompetisi, saya mengikuti berbagai kepelatihan
olahraga yang diadakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Saya belajar ilmu
faal olahraga, ilmu anatomi tubuh manusia, ilmu gizi, hingga ilmu psikologi
olahraga. Kepelatihan tersebut berlangusng selama berhari-hari, terdiri dari
teori dan praktik. Rumitnya sudah seperti kuliah saja. Apakah saya berhasil
jadi pelatih olahraga dengan mengikuti pelatihan tersebut? Tidak! Ilmu yang
saya miliki masih sangatlah minim. Saya masih harus lulus dari berbagai
pelatihan dan sertifikasi yang bisa menghabiskan uang puluhan juta Rupiah sebelum
bisa secara resmi mengaplikasikan ilmu tersebut di lapangan.
Makanya
saya kesal dengan para fans sepakbola yang menggampangkan peranan pemain dan
pelatih sepakbola profesional. Dipikirnya gampang? Fans sepakbola yang
memaki-maki pun saya yakin saat nonton pertandingan Persib nontonnya di rumah
sambil duduk santai ditemani pisang goreng dan kopi susu. Menjuarai kejuaraan
futsal tingkat kecamatan aja nggak pernah. Jangankan juara futsal tingkat
kecamatan, olahraga rutin juga gak pernah, tapi memaki-maki mereka, para
pelatih dan pemain sepakbola profesional yang berlatih setiap hari.
Kalian
mungkin jago main Pro Evolution Soccer sehingga bisa bilang, “Harusnya tadi
jangan shoot, harusnya dioper dulu, baru shoot, biar bisa cetak gol!”
Kalian
mungkin jago main Football Manager sehingga bisa bilang, “Harusnya jangan
turunkan si A, harusnya si B soalnya si A kalau main suka letoy. Salah strategi
nih!”
Tapi,
sekali lagi, jadi pemain sepakbola prefesional tidak semudah main PES di
tongkrongan. Jadi pelatih sepakbola profesional tidak semudah main FM di depan
laptop. Kok bisa orang yang gak pernah olahraga sama sekali menggurui mereka
yang berlatih sepakbola dua kali dalam sehari? Kok bisa orang yang gak punya
lisensi kepelatihan olahraga profesional mengurui pelatih yang punya lisensi
kepelatihan olahraga profesional?
Kecewa
boleh, menyampaikan kritik boleh, tapi ya tentu bisa lebih santun. Salah
satunya bisa pada tulisan seperti yang saya tulis ini. Namanya berpendapat ya
tentu bebas saja bukan? Yang penting disampaikan secara baik-baik.
# Cacat Logika
Ketika
saya mengatakan argumen yang saya sebutkan di atas, salah satu teman kuliah
saya pun ikutan ngomel bahwa argumen saya cacat logika dengan berkata seperti
ini :
“Orang
lagi makan KFC terus bilang kalo KFC nggak sehat, omongan dia tetep bener.
Orang mau bilang kalo messi mentalnya jelek walau dia lumpuh ya argumen dia
nggak ada hubungannya sama kelumpuhan dia. Orang mau bilang kalo Lionel Messi
mentalnya jelek walau dia lumpuh ya argumen dia nggak ada hubungannya sama
kelumpuhan dia. Tolak ukurnya di argumentasi, bukan di apa yang dia lakukan.”
Teman
saya yang lain pun berkata :
“Tiap
persib maen terus aya nu rewel di timeline maneh ge milu nyinyir?”
Ya,
saya akui saya memang cacat logika dalam menyampaikan argumen saya di atas
terkait sepak bola profesional yang tidak semudah kelihatannya, karena ya,
sebagai (mantan) atlet, rasanya sangat tidak enak dimaki-maki oleh orang yang
tidak mengerti bagaimana sulitnya perjuangan seorang atlet. Bagi saya sih,
dimaki-maki oleh pelatih sendiri, yang sudah pernah jadi atlet, sudah pernah
ikut pelatihan olahraga profesional, jauh lebih masuk dibandingkan dimaki-maki
orang yang sama sekali tidak pernah berolahraga sama sekali.
Sama
seperti meme di atas, “Critiquing the performance of professional athletes
on the television while you are a total couch potato.”
Sebagai penutup, saya tahu ini cacat logika, tapi, saya hanya menyampaikan pendapat saya saja. Memang betul, untuk bisa tahu bahwa seporsi nasi goreng itu terlalu asin, kita tidak harus jadi koki profesional dulu atau kita harus bisa meamsak nasi goreng terlebih dahulu, tapi ya tetap saya saya hanya menyampaikan pendapat saja.
0 Comments