IMDb: 7,3/10 | Rating Saya : 8/10
Rated : PG-13 | Genre: Drama,
Romance
Directed
by Rob Marshall | Written by Robin
Swicord
Produced by Lucy Fisher, Steven Spielberg,
Douglas Wick;
Starring Zhang Ziyi, Gong Li, Michelle Yeoh, Ken
Watanabe, Suzuka Ohgo, Togo Igawa, Mako, Samantha Futerman, Samantha Futerman,
Thomas Ikeda, Tsai Chin, Kaori Momoi, Zoe Weizenbaum, David Okihiro, Miyako
Tachibana, Kotoko Kawamura, Karl Yune, Eugenia Yuan
Edited by Pietro Scalia | Music by
John Williams
Production
companies Columbia Pictures, DreamWorks
Pictures, Spyglass Entertainment, Amblin Entertainment, Red Wagon Entertainment
Distributed by Sony Pictures Releasing
Release date 29 July 2005 (Tokyo Premiere), 9
December 2005 (United States)
Running
time 145 minutes | Country United
States, United Kingdom, Australia
Language English, Japanese | Budget $85
million
STORYLINE
Memoirs Of A Geisha adalah sebuah film
keluaran Jepang yang baru saja saya tonton baru-baru ini. Seingat saya, saat
saya SMA, rentang 2007 s/d 2010, saya pernah menonton film ini di Bioskop Trans
TV. Tentunya, saat itu hanya saya tonton secara sekilas saya. Saya memutuskan untuk
nonton film ini setelah tidak sengaja mendengar lagu “Momo Geisha” dan langsung
kepikiran untuk nonton film “Memoirs Of A Geisha”.
Nama Geisha sering saya dengar melalui
film-film Jepang yang saya tonton, anime yang saya tonton, maupun manga yang
saya baca. Dari gambaran saya, Geisha ini merupakan (maaf) wanita penghibur
untuk kalangan bangsawan maupun samurai Jepang pada zaman dahulu. Setelah
nonton film ini, pandangan saya langsung berubah 180 derajat.
Film ini diawali dengan adegan dijualnya sepasang
adik kakak perempuan oleh orang tuanya ke rumah geisha. Kedua adik kakak ini
bernama Chiyo Sakamoto (diperankan Suzuka Ohgo) dan Satsu (diperankan Samantha
Futerman). Waktu nonton adegan penjualan anak perempuan ini, saya semakin
berpikir bahwa “Geisha” adalah (maaf) wanita penghibur. Memang apalagi tujuan
orang tua menjual anaknya kalau bukan dijadikan sebagai (maaf) wanita
penghibur? Di tahun 2022 saja banyak kejadian seperti ini, bukan?
Geisha saat sedang bertugas |
Film ini menjelaskan bahwa Geisha bukanlah
(maaf) wanita pengibur seperti yang saya kira sebelum menonton film ini. Geisha
dalam kebudayaan Jepang memang wanita penghibur, namun bukan (maaf) wanita
penghibur yang melayani nafsu birahi para pria, tapi sebagai wanita penghibur
profesional yang kerjanya menjamu klien, menyiapkan makanan dan minuman,
menari, serta memaikan alat musik. Mereka dididik sedemikian rupa layaknya
seorang pramugari profesional selama bertahun-tahun, mulai dari diajari table
manner yang baik dan benar, cara berturur kata yang baik dan benar, dan cara
berpakaian yang baik dan benar.
TIdak hanya itu, mereka dituntut untuk
menjaga pola makannya dengan gizi yang seimbang biar gak kelebihan berat badan.
Mereka juga dituntut untuk rutin berolahraga biar perutnya gak buncit apalagi
sampai obesitas. Pada film ini memang tidak dijelaskan bahwa mereka harus rutin
berolahraga, tapi menurut pandangan saya, mereka ini otomatis dituntut untuk
olahraga secara rutin.
Mereka juga diajari cara merawat tubuh,
mulai dari mandi yang baik dan benar, tata cara merawat kulit dengan berbagai
serum (kalau zaman sekarang dikenal dengan memakai skincare), tata cara memakai
parfum supaya wangi, dan tata cara memakai lipstik, make up dan berbagai
aksesoris yang bisa membuat Geisha semakin cantik. Dandanan Geisha ini hampir
serupa dengan dandanan sinden yang sering kita temui sehari-hari dalam
kebudayaan Sunda atau kebudayaan Jawa.
Kualitas film ini tidak usah diragukan
lagi. Meskipun film ini produksi tahun 2005, gambaran tentang kehidupan masyarakat
Jepang pada tahun 1929 dengan sempurna layaknya lima film adaptasi Rurouni
Kenshin keluaran Warner Bros. Film ini bahkan memenangkan tiga Oscar dari enam
nominasi yang disematkan padanya.
Enam nominasi Oscar yang disematkan pada
film ini adalah Tata Artistik Terbaik, Sinematografi Terbaik, Desain Kostum
Terbaik Musik Orisinal Terbaik, Penyuntingan Suara Terbaik, dan Tata Suara
Terbaik. Film ini memenangkan Tata Artistik Terbaik, Sinematografi Terbaik, dan
Desain Kostum Terbaik. Tentu ini pencapaian yang tidak main-main.
Film ini bikin saya kepingin pergi ke
Jepang, buat sekadar berlibur sambil menikmati rumah-rumah Jepang yang indah banget,
seperti gambaran pada film ini. Rasanya adem sekali untuk sekadar tinggal di
rumah-rumah khas Jepang tersebut, sambil menikmati teh, kopi, atau sekadar
duduk-duduk di dalam rumah-rumah tersebut.
Dari judulnya, “Memoirs Of A Geisha”
ketahuan banget bahwa film ini merupakan film sedih nan melankonis yang
menceritakan sisi kelam Geisha. Dan benar saja, film ini mengamini dugaan saya
tersebut. Geisha tidak diperkenankan untuk mencintai seorang pria karena Geisha
dituntut untuk terus bekerja mencari klien. Bagi yang belum tahu, Geisha ini
tidak melayani nafsu birahi para pria, hanya sekadar menjual jasa
hospitalitynya saja, layaknya para pramugari pesawat, makanya Geisha di film
ini dilarang untuk punya pacar apalagi suami.
Tapi, sebebal-bebalnya Geisha,
sekuat-kuatnya prajurit, sejahat-jahatnya orang, pasti punya rasa cinta pada
lawan jenis bukan? Nah di film ini para Geisha pun punya rasa cinta pada lawan
jenisnya, tapi mereka terpaksa menahan rasa cinta tersebut dengan gak pacaran
apalagi menikah. Benar-benar kelam banget film ini.
Selain itu, karena Jepang terlibat pada
Perang Dunia II, udah gitu, kalah perang, makna Geisha jadi bergeser.
Sebelumnya, Geisha adalah pekerjaan terhormat. Setelah Jepang kalah perang,
wanita Jepang manapun bisa dapat predikat Geisha dengan bermodalkan kimono dan
riasan make up meskipun tidak memiliki kemampuan seperti Geisha dalam melayani
kliennya. Malah, setelah Jepang kalah, Geisha jadi tidak ada bedanya dengan
(maaf) pekerja seks komersial yang tidak berkelas. Sungguh disayangkan.
CHARACTER
Karakter yang ada pada film ini gak
main-main. Tokoh yang paling menonjol di sini tentu saja Ken Watanabe. Hampir
seluruh film Asia-Amerika yang ada Ken Watanabenya pasti film yang bagus. Ken
Watanabe hampir selalu berperan sebagai bapak-bapak Jepang baik hati, pintar
dan bijak. Wajahnya memang adem banget sih. Selain Ken Watanabe, ada juga
aktris asal Tiongkok bernama Gong Li, Michelle Yeoh dan Ziyi Zhang.
Ken Watanabe si Om-Om Panutan |
Zhang Ziyi, Michelle Yeoh, Gong Li dalam Memoirs of Geisha |
Gong Li dan Michelle Yeoh pun sering
muncul di film-film Hollywood. Biasanya mereka berperan sebagai mbak-mbak atau
ibu-ibu Asia-Amerika gitu. Yang saya soroti di sini Michelle Yeoh yang berperan
sebagai Mameha, ibu-ibu Jepang yang sudah menjadi Geisha selama bertahun-tahun.
DI film ini, Mameha sudah berumur, tapi tetap cantik banget, lho. Saya sampai
gak sadar kalau Michaelle Yeoh pernah main di Crazy Rich Asian (2018) dan
pernah jadi pacarnya James Bond dalam Tomorrow Never Dies (1997) karena di sini
tampilannya beda banget.
KONTROVERSI
Meskipun berhasil meraih 3 Oscar, film ini
tidak lepas dari kontroversi.
Pertama, film ini dilarang tanya di Tiongkok karena
film ini memuat peristiwa sejarah yang bersinggungan langsung dengan sejarah
kelam pendudukan Tiongkok oleh Jepang pada masa Perang Dunia II. Selain itu,
tiga aktris berdarah Tiongkok, Ziyi Zhang, Gong Li, dan Michelle Yeoh kan
memerankan peran sebagai wanita Jepang, pastinya warga Tiongkok marah dong?
Kenapa gak pakai aktris asal Jepang saja?
Tentunya, tiga aktris asal Tiongkok
tersebut dipilih sutradara karena tiga aktris tersebut sudah punya nama.
Sebelum nonton film ini, ketiga wajah aktris tersebut tidak asing bagi saya.
Meskipun tidak tahu namanya, saya ingat wajahnya.
“Cross-over” semacam ini sudah sering
terjadi di dunia film. Banyak aktor dan aktris asal Amerika Serikat memerankan
peran sebagai orang Inggris pada berbagai film yang saya tonton. Ada juga aktor
dan aktris asal Inggris yang memerankan peran sebaga orang Amerika Serikat pada
berbagai film yang saya tonton. Tinggal aksennya saja yang diubah setelah aktor
dan aktris tersebut berlatih dengan serius.
Di dunia Hollywood pun, banyak aktor dan
aktris yang mengalami “cross-over”. Misalnya, aktor dan aktris keturunan
Asia-Amerika, bisa berperan sebagai orang Jepang, orang Tiongkok, orang Korea,
orang Vietnam, maupun orang Singapore. Michelle Yeoh pernah memerankan peran
sebagai orang Singapore dalam film Crazy Rich Asian (2018). Di film ini pun ia
juga berperan sebagai orang Jepang.
Kedua, film ini pun jadi kontroversi karena naskahnya berbahasa Inggris alih-alih
berbahasa Jepang seperti seting lokasi yang terjadi pada film ini. Lima menit
pertama saat nonton film ini pun saya langsung browsing Google, takutnya saya
salah nonton film karena dialognya memakai bahasa Inggris. Gak tahunya memang
udah dari sononya mereka pakai bahasa Inggris. Padahal film ini akan lebih
sempurna kalau dialog yang dipakainya dengan menggunakan bahasa Jepang asli.
Aneh aja rasanya melihat orang Jepang full selama 145 menit berdialog dengan
bahasa Inggris berlogat Jepang.
Ketiga, film ini pun jadi kontroversi karena dianggap merepresentasikan Geisha
dengan salah. Film ini adaptasi dari novel dengan judul sama karya Arthur
Golden, bukan dari sudut pandang orang Jepang. Film ini seolah-olah
representasi fantasi pria Barat tentang wanita Jepang yang memakai dengan
kimono. Untuk yang satu ini, saya gak banyak komentar karena saya tidak
mengerti bahasa dan kebudayaan Jepang sama sekali.
Untuk orang luar Jepang seperti saya ya
jelas film ini sangat menghibur, tapi untuk orang Tiongkok atau orang Jepang,
pastinya film ini tidak bisa diterima, sebagus apapun sinematografi, jalan
cerita, atau akting para aktris dan aktor di dalamnya.
KESIMPULAN
Memoirs Of A Geisha adalah film yang saya rekomendasikan untuk ditonton karena jalan ceritanya sangat bagus. Menurut saya, kisah cinta yang terkandung di dalamnya lebih mengharukan daripada kisah cinta dalam film Titanic maupun Twilight. Visual film ini pun enak banget buat dilihat, seolah-olah saya berada di Jepang. Cantik banget pencahayaannya, rumah-rumahnya, dan kostum-kostumnya. Satu hal yang mengganggu yaitu dialognya yang sepenuhnya pakai bahasa Inggris. Coba kalau dialognya sepenuhnya pakai basaha Jepang, pastinya film ini bakalan jauh lebih bagus.
0 Comments