IMDb: 7,6/10 | Rating Saya : 8,5/10
Rated : R | Genre: Biography, Drama
Sutradara Riri Riza | Produser Mira Lesmana
Penulis Riri Riza
Didasarkan dari Catatan Seorang Demonstran oleh Sok Hok Gie
Pemeran Nicholas Saputra, Wulan Guritno, Indra Birowo, Lukman
Sardi, Sita Nursanti, Thomas Nawilis, Jonathan Mulia, Christian Audy, Donny
Alamsyah, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Gino Korompis, Surya Saputra, Happy Salma
Penata Musik Thoersi Argeswara | Sinematografer Yudi Datau
Penyunting Sastha Sunu
Distributor SinemArt Pictures
Tanggal rilis 14 Juli 2005 | Durasi 147 menit
Negara Indonesia
| Bahasa Indonesia
Anggaran IDR 7-10
miliar (perkiraan)
Beberapa waktu
yang lalu saya pernah menulis artikel yang berjudul “Mari
Berandai-andai jika Soe Hok Gie Hidup di Zaman Sekarang” di Terminal
Mojok. Nah, kali ini saya akan membahas filmnya secara lebih spesifik.
Salah satu film
Indonesia terbaik yang pernah saya tonton tentu saja adalah Gie (2005) karya Riri
Riza dan Mira Lesmana. Salah satu buku Indonesia terbaik yang pernah saya baca
juga adalah Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie. Keduanya
merupakan inspirasi saya untuk kuliah jurnalistik, menjadi penulis, dan masuk
himpinan pencinta alam saat saya kuliah dulu.
Film ini keluaran
tahun 2005, dan saat itu belum banyak film biopik seperti Gie karena film
Indonesia saat itu masih didominasi film drama, film cinta-cintaan, maupun film
horror. Saya pertama kali nonton film ini tahun 2006 atau 2007, saat masih
duduk di bangku SMP. Tentu, saat itu saya tidak mengerti sama sekali dengan apa
maksud film ini. Saya baru mulai mengerti akan maksud film ini ketika
menontonnya kembali saat saya SMA dan saat saya duduk di bangku kuliah.
Kalau gak ada
film Gie, pastinya saya gak akan kenal dengan sosok Soe Hok Gie karena saya gak
pernah mendengar nama Soe Hok Gie sama sekali sebelum nonton film ini. Mungkin,
kalau saya gak nonton film ini, saya baru tahu sosok Soe Hok Gie saat membaca catatan
hariannya atau saat saya browsing-browsing di internet. Simak ulasan saya berikut
ini.
STORYLINE
Gie adalah film
keluaran tahun 2005 buatan Indonesia yang menceritakan kehidupan Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie muda (diperankan Jonathan Mulia) adalah seorang pemuda keturunan
Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Jakarta. Sejak kecil, Soe Hok Gie sangat rajin
membaca berbagai macam buku, terutama buku-buku biografi tokoh-tokoh besar
dunia yang tentu saja jarang disentuh bahkan oleh orang dewasa sekalipun.
![]() |
Soe Hok Gie saat duduk di bangku sekolah |
Soe Hok Gie tidak
saja mengagumi perjalanan hidup biografi tokoh-tokoh dunia tersebut, tapi juga
terinspirasi akan jalan pemikiran para tokoh-tokoh dunia tersebut. Tokoh-tokoh
dunia yang biografinya sering dibaca oleh Soe Hok Gie adalah Kartini, Sukarno,
hingga Mahatma Gandhi. Soe Hok Gie menggabungkan pemikiran-pemikiran para tokoh
dunia tersebut yangn membentuk pola pikirnya sampai ia dewasa nanti.
Kalau kalian
berpikir bahwa Soe Hok Gie mulai berpikiran kritis saat jadi mahasiswa, kalian
salah, karena Soe Hok Gie sudah mulai berpikiran kritis saat masih duduk di
bangku sekolah. Saat itu ia mulai melawan gurunya yang menurutnya tidak cakap
dan tidak bisa menerima kritik darinya dengan berkata, “Guru yang tak tahan
kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan
murid bukan kerbau.”
Saya pikir, ini
keren banget! Saya gak nyangka di tahun 1950an sudah ada seorang siswa
sekolahan yang mampu berpikir seperti ini. Bahkan di tahun 2000an saja saat
saya sekolah saya tidak berpikir seperti Soe Hok Gie sama sekali. Saya juga
kagum karena Riri Riza berani mengangkat perilaku Soe Hok Gie ini menjadi
sebuah film spektakuler pada tahun 2005. Saat itu kan pemikiran masyarakat
Indonesia belum seperti sekarang yang jauh lebih terbuka.
Pemikiran Soe Hok
Gie saat itu pun memicu pertanyaan dari semua orang, termasuk teman masa kecil
Gie, Tan Tjin Han (diperankan Christian Audi) yang bertanya-tanya, “Untuk
apa kamu melawan guru?”
Soe Hok Gie pun
menjawab pertanyaan Tan Tjin Han dengan berkata yang intinya, “Kalau tidak
melawan kita tidak akan merdeka. Sukarno, Hatta, Sjahrir itu melawan
penjajahan, makanya kita bisa merdeka.”
Tentu saja,
lagi-lagi saya dibuat kagum oleh Soe Hok Gie yang bisa berpikiran seperti itu
saat duduk di bangku sekolah. Kalau saat duduk di bangku kuliah sih, saya pikir
itu sangat wajar karena banyak mahasiswa yang sudah berpikiran kritis. Tapi Soe
Hok Gie bisa berpikiran seperti itu saat duduk di bangku sekolah. Luar biasa!
Soe Hok Gie bisa
berpikiran seperti itu karena ia banyak membaca buku dari kecil. Ayahnya, Soe
Lie Piet (diperankan Robby Tumewu) adalah penulis yang sudah menulis berbagai
macam buku. Makanya Soe Hok Gie minat bacanya sangat besar karena ia tumbuh di
rumah seorang penulis yang pastinya banyak buku-buku yang bisa ia baca. Bakat
menulis Soe Hok Gie pun pastinya ia dapatkan dari ayahnya.
![]() |
Soe Hok Gie yang sudah dewasa |
Setelah lulus
SMA, Soe Hok Gie dewasa (diperankan Nicholas Saputra) melanjutkan pendidikannya
dengan masuk Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Tentu saja,
Soe Hok Gie aktif menjadi aktivis di Universitas Indonesia dengan
mahasiswa-mahasiswa lainnya. Saat itu, pergolakan politik terjadi antara PKI, ABRI,
dan Sukarno. Soe Hok Gie berusaha jadi sosok yang tidak berpihak pada siapapun.
Ia berusaha menjalankan perannya sebagai seorang kaum intelektual sebagaimana
mestinya.
Soe Hok Gie
banyak menulis artikel-artikel terkait opininya tentang pergolakan politik yang
terjadi saat itu melalui surat kabar. Ia berusaha menjalankan perannya sebagai
mahasiswa lewat tulisan-tulisannya. Ia berharap bahwa masyarakat luas bisa
membaca tulisan-tulisannya supaya rakyat tidak diam melawan penguasa.
Melalui
tulisan-tulisan dan diskusi-diskusinya selama kuliah, Soe Hok Gie menyatakan
bahwa ia sangat menghormati Sukarno sebagai founding father Indonesia.
Namun Soe Hok Gie merasa bahwa Sukarno telah mengkhianati apa yang ia
perjuangkan saat masa penjajahan dengan berbagai tindakan kontroversialnya
seperti pengangkatan presiden seumur hidup, hidup bermewah-mewahan sedangkan
banyak rakyat kelaparan, serta pemerintahannya yang banyak diisi orang-orang yang
korup dan tidak berkompeten dalam bidangnya.
![]() |
Soe Hok Gie saat bertandang ke Istana Merdeka |
Dalam suatu
kesempatan, Soe Hok Gie sempat diundang ke Istana Merdeka mewakili perwakilan mahasiswa
dan ia sangat membenci tindakan Sukarno tersebut. Hal ini diutarakan Soe Hok
Gie melalui buku dan filmnya. Tentu saja hal ini membuat saya kagum karena
orang-orang yang menghadap Sukarno kebanyakan adalah seorang penjilat. Tapi alih-alih
menjilat Sukarno supaya diberi kekuasaan atau diberi jabatan, Soe Hok Gie malah
menyapa Sukarno seperlunya saja.
![]() |
Soe Hok Gie dan sahabat-sahabatnya saat kuliah |
Saat kuliah, Soe
Hok Gie bersahabat dengan Herman Lantang (diperankan Lukman Sardi), Ira
(diperankan Sita Nursanti), dan Denny (diperankan Indra Birowo). Mereka
sama-sama mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala UI) yang menginspirasi ribuan
kampus lainnya di Indonesia untuk turut mendirikan perhimpunan pencinta alam
juga.
Tujuan Soe Hok
Gie naik gunung pun tidak seperti saya dan jutaan mahasiswa zaman sekarang yang
naik gunung untuk eksistensi feeds Instagram semata, tapi untuk perjuangannya.
Soe Hok Gie berkata, “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan
bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya
dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
![]() |
Soe Hok Gie dan Jaka |
Saat masih
kuliah, sosok Soe Hok Gie memang sangat dikagumi oleh teman-teman terdekatnya.
Namun seperti para tokoh dunia lainnya, sosok Soe Hok Gie pun banyak dimusuhi
oleh banyak orang. Salah satunya adalah Jaka (diperankan Donny Alamsyah) yang
kecewa dengan Soe Hok Gie karena tidak mau ikut Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia.
Soe Hok Gie
merasa, seharusnya mahasiswa berjuang bukan atas nama agama seperti yang Jaka
lakukan atau seperti yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Islam. Soe Hok Gie ingin
mahasiswa berjuang atas nama kebenaran, bukan atas nama golongan, baik itu
golongan ras, agama, maupun ras. Supaya tidak bias.
![]() |
Soe Hok Gie dan Tan Tjin Han |
Suatu ketika, Soe
Hok Gie tidak sengaja bertemu dengan Tan Tjin Han yang sudah dewasa. Tan Tjin
Han dewasa (diperankan Thomas Nawilis) bergabung jadi salah satu kader Partai
Komunis Indonesia. Tan Tjin Han punya semangat perjuangan yang sama seperti Soe
Hok Gie, hanya saja ia memilih PKI sebagai kendaraannya untuk berjuang. Soe Hok
Gie pun berusaha memperingatkan Tan Tjin Han untuk tidak terlibat lebih jauh
dengan PKI karena ia yakin jika pergolakan politik terus-terusan terjadi, PKI
bisa dikambinghitamkan oleh pihak-pihak yang berseberangan jalan dengan PKI.
Namun, Tan Tjin Han bersikukuh dengan pilihan politiknya tersebut meski sudah
diperingatkan oleh Soe Hok Gie.
Selain aktif naik
gunung, Soe Hok Gie pun rajin nonton film di kampus bersama teman-teman
mahasiswa lainnya. Gak cuma sekadar nonton film, ia pun berdiskusi soal
film-film tersebut bareng teman-temannya. Diskusinya tentang jalan cerita film
tersebut, sinematografinya, hingga nilai-nilai yang bisa ia petik dari film
tersebut. Tentu saja ini istimewa banget karena di tahun 60an, untuk bisa
nonton film itu agak repot, tidak seperti sekarang yang bisa nonton bareng via
Netflix atau download film bajakannya (tidak untuk ditiru) buat ditonton
bareng-bareng di kampus. Kalau hidup di zaman sekarang, Soe Hok Gie pasti jadi
sinefil deh!
![]() |
Demonstrasi mahasiswa 66 |
Soe Hok Gie pun
digambarkan kerap kali melakukan demonstrasi dengan mahasiswa Universitas Indonesia
lainnya karena saat itu mahasiswa betul-betul dianggap mewakili berbagai
keresahan masyarakat sebagai kaum intelektual hingga akhirnya mahasiswa
angkatan 66 berhasil menggulingkan Pemerintahan Orde Lama Sukarno menjadi
Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto.
Namun, Soe Hok
Gie dibuat kecewa karena banyak teman-teman seperjuangannya yang dulu ikut demonstrasi
bersamanya telah mengkhianati apa yang mereka perjuangkan dulu. Salah satunya
adalah Jaka yang setelah menjabat sebagai orang pemerintahan malah hidup
bermewah-mewahan seperti yang dilakukan Sukarno saat menjabat sebagai seorang
presiden.
![]() |
Soe Hok Gie dan Sinta |
Perbuatan Soe Hok
Gie yang kerap kali menulis kritikan tajam pada pemerintah pun membuatnya jadi
punya banyak musuh. Ia kerap kali dibuntuti oleh orang-orang tidak jelas yang
tidak suka dengan tulisan-tulisannya di surat kabar. Bahkan ia sampai-sampai terpaksa
harus putus dengan kekasihnya, Sinta (diperankan Wulan Guritno) untuk
keselamatannya.
Pada akhirnya,
Soe Hok Gie terpaksa harus wafat di pangkuan sahabatnya, Herman Lantang saat
mendaki Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Meskipun
begitu, segala buah pemikirannya tetap abadi karena catatan hariannya sudah
dibuat buku, skripsinya diabadikan dengan dibuat jadi buku, dan perjalanan
hidupnya sudah diabadikan dengan dibuat jadi film.
AKURASI
FILM
Hampir seluruh
film biopik tidak ada yang 100% akurat, termasuk film biopik Soe Hok Gie.
Banyak hal yang ditambahkan atau dikurangi untuk kepentingan sinematografi
film, tentu saja.
Salah satu hal
paling menonjol dari film ini adalah kehadiran Tan Tjin Han yang ternyata
merupakan tokoh tambahan pada film ini. Pasalnya, di buku Catatan Seorang
Demonstran karya Soe Hok Gie, nama Tan Tjin Han tidak pernah disebut sama
sekali. Namun, sosok Tan Tjin Han memang terinspirasi oleh dua orang sahabat
Soe Hok Gie bernama Djin Hok dan Effendi yang pernah disebut dalam catatan
harian Soe Hok Gie yang pernah menjadi korban kekerasan tantenya saat kecil
sebagaimana Tan Tjin Han. Effendi pun pernah menjadi korban razia ABRI. Makanya
mereka berdua jadi inspirasi untuk tokoh tambahan bernama Tan Tjin Han.
Demikian juga
dengan Ira dan Sinta, dua gadis yang menjadi gadis yang paling dekat dengan
sosok Soe Hok Gie dalam film ini. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya
Soe Hok Gie, Soe Hok Gie memang pernah menyebutkan beberapa nama gadis yang
pernah menjadi pacarnya, tapi tidak ada nama Ira dan Sinta.
Tokoh tambahan
lainny adalah Jaka, pentolan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
yang kerap kali bersinggungan dengan Soe Hok Gie saat kuliah. Memang, ada tokoh
lain yang disebutkan dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok
Gie ketika ia menolak politik identitas saat kuliah, namun namanya bukan Jaka
seperti yang digambarkan dalam film ini.
KEKURANGAN
FILM GIE
Meskipun saya
sudah menyebut bahwa film ini merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang
pernah saya tonton, namun film ini pun punya beberapa kekurangan lainnya yang
sayang banget dilewatkan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana.
![]() |
Soe Hok Gie saat ke Amerika (Sumber : https://www.merdeka.com/peristiwa/gie-kisah-para-pejabat-indonesia-hobi-sewa-pelacur-bule-di-as.html) |
Pertama, dalam buku Catatan
Seorang Demonstran yang saya baca pun, Soe Hok Gie sempat melakukan
pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Saya pikir, ini harusnya diikutsertakan
juga meskipun tentu akan menambah biaya produksi dan menambah durasi film ini.
Kedua, Soe Hok Gie
wafat saat mendaki Gunung Semeru. Kalau pingin lebih dramatis ya seharusnya
adegan Soe Hok Gie yang wafat saat mendaki Gunung Semeru diikutsertakan,
meskipun akan menambah biaya produksi dan tentu saja durasi film ini. Tapi akan
jauh lebih dramatis jika adegan terakhirnya betul-betul menampilkan Soe Hok Gie
mendaki Gunung Semeru sebagaimana film 5 cm (2012).
SOUNDTRACK
Selain jalan cerita, sinematografi dan akting yang memukau, film ini pun menampilkan soundtrack yang gak kalah ciamiknya. Soundtrack film ini pun turut menjiwai film ini dengan sempurna karena dibawakan musisi terbaik tanah air seperti Eross Chandra dan Okta, Speaker First, Andy /rif hingga Titiek Puspa yang turut mewarnai film ini yang berseting pada tahun 50-60an.
KESIMPULAN
Di balik segala
kekurangannya, film ini tetap sempurna! Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
Riri Riza dan Mira Lesmana bisa bikin setting film tahun 50-60an di film ini.
Bagaimana mereka bisa menemukan mobil-mobil tahun 50-60an dan rumah-rumah jadul
film ini, saya betul-betul terkagum-kagum!
Adegan demonstrasi di film ini pun terlihat sangat nyata. Gak kebayang gimana menata adegan yang melibatkan ribuan orang untuk ikut demonstrasi. Kostumnya pun keren banget! Proses shootingnya kayak gimana dan ngaturnya gimana saya juga gak paham. Yang pasti ini hasil kejeniusan Riri Riza dan Mira Lesmana sebagai sutradara dan produser film ini yang sangat jenius. Kerasa banget aura jadulnya tuh!
![]() |
Nicholas Saputra saat memenangkan Piala Citra atas perannya sebagai Soe Hok Gie |
Saking bagusnya, film ini pun sampai mendapatkan Piala Citra untuk kategori Film Terbaik dan Tata Sinematografi Terbaik. Film ini pun membuat Nicholas Saputra memenangkan Piala Citra untuk kategori Aktor Terbaik atas aktingnya yang luar biasa sebagai Soe Hok Gie. Film ini pun mendapat 8 nominasi Piala Citra lainnya, sayangnya gak memang. Tapi biar begitu, film ini sudah memenangkan 3 Piala Citra dari 11 nominasi Piala Citra yang disematkan padanya. Sebuah prestasi yang luar biasa!
0 Comments