IMDb: 6,5/10 | Rating Saya : 7,5/10

Rated : R | Genre: Drama, Horror, Mystery

Sutradara Joko Anwar

Produser Gope T. Samtani

            Didsaarkan dari Pengabdi Setan oleh Sisworo Gautama Putra

Pemeran Tara Basro, Bront Palarae, Endy Arfian, Adhiyat, Ayu Laksmi, Dimas Aditya

Penata musik Aghi Narottama, Bemby Gusti, Tony Merle

Sinematografer Ical Tanjung

Penyunting Arifin Cuunk

Perusahaan produksi Rapi Films, CJ Entertainment

Distributor RLJE Films

Tanggal rilis 28 September 2017 (Indonesia), 23 November 2017 (Malaysia), 18 Januari 2018 (Singapura), 8 Maret 2018 (Thailand), 9 Maret 2018 (Taiwan), 24 Mei 2018 (Spanyol)

Running time 107 minutes | Country Indonesia

Language Indonesia | Budget IDR 2 miliar

 

Beberapa waktu yang lalu, salah satu sutradara terbaik Indonesia, Joko Anwar merilis teaser Pengabdi Setan 2 di laman media sosialnya, makanya saya kepikiran untuk menonton ulang Pengabdi Setan (2017) karya Joko Anwar untuk sedikit flashback meskipun 5 tahun yang lalu saya sudah menonton film tersebut secara langsung di bioskop. Saya juga sudah menonton Pengabdi Setan (1980) sebanyak beberapa kali sejak saya kecil. Simak ulasan saya berikut ini.

 

STORYLINE

Pengabdi Setan adalah film keluaran tahun 2017 buatan Indonesia yang merupakan film remake Pengabdi Setan yang keluar tahun 1980 yang lalu. Pengabdi Setan (1980) adalah salah satu film horror Indonesia terbaik sepanjang masa, makanya ketika Joko Anwar memutuskan untuk bikin remakenya, saya betul-betul antusias. Joko Anwar adalah salah satu sutradara film terbaik di Indonesia soalnya. Film-film Joko Anwar gak ada yang gak bagus.

Foto keluarga Pengabdi Setan (2017)

Pengabdi Setan bercerita tentang Rini dan keluarganya yang lagi ditimpa musibah setelah ibunya jatuh sakit. Rini (diperankan Tara basro) terpaksa tinggal di sebuah rumah besar milik neneknya di daerah pegunungan yang jauh dari kota setelah ibunya jatuh sakit. Ayahnya (diperankan Bront Palarae) terpaksa menggadaikan rumahnya di kota karena uangnya sudah habis untuk membiayai biaya pengobatan  istrinya  (diperankan Ayu Laksmi) yang sudah beberapa tahun ini sakit. Tidak dijelaskan apa penyakit yang diderita oleh Sang Ibu, namun dari gambaran yang saya lihat lewat film ini, mungkin Sang Ibu sakit stroke atau kanker? Tidak jelas juga.

Yang jelas, kesehatan adalah yang utama karena di sini Joko Anwar menggambarkan, ketika orang tua sakit keras seperti Sang Ibu, suaminya terpaksa menghabiskan seluruh harta benda yang ia kumpulkan selama puluhan tahun hanya untuk membiayai pengobatan Sang Istri. Rini pun terpaksa berhenti kuliah sejak ibunya sakit keras. Maklum, tahun 1980 belum ada BPJS Kesehatan seperti saat ini. Belum banyak juga orang yang ikut asuransi swasta, jadi jika ada anggota keluarga yang sakit seperti Sang Ibu, siap-siap bangkrut.

Rini pun berusaha mencari uang dengan mendatangi label rekaman tempat Sang Ibu rekaman saat masih aktif sebagai musisi ketika masih muda, namun nihil. Salah satu karyawan label rekaman tersebut (diperankan sutradaranya sendiri, Joko Anwar) berkata bahwa saat ini penjualan album milik ibunya tidak seramai saat ia masih muda sehingga label rekaman tidak bisa memberikan royalti apa-apa untuk Rini dan Sang Ibu. Rini terpaksa pulang dengan tangan kosong.

Sekembalinya di rumah neneknya, kesedihan yang dialami keluarga Rini tidak berhenti sampai di situ karena adiknya, Tony (diperankan Endy Arfian), terpaksa menjual sepeda motor miliknya untuk membantu biaya pengobatan ibu kandungnya. Sang Ayah sampai harus meminta maaf pada anaknya tersebut karena ia terpaksa harus menjual sepeda motor miliknya. Untungnya, Tony ikhlas menjual sepeda motornya sambil tersenyum demi pengobatan sang ibu. Adegan ini sungguh membuat saya sakit karena bisa dibilang saya mengerti dengan apa yang Tony alami. Meskipun masih duduk di bangku SMA, Tony terpaksa harus menjual sepeda motornya dan pergi ke sekolah dengan naik kendaraan umum. It really hurts me, a lot.

Rini secara tidak langsung menyalahkan ayahnya yang berani menggadaikan rumahnya. Namun ayahnya berkilah bahwa ia terpaksa melakukan hal tersebut karena terpaksa. Tidak mudah menjual rumah dalam waktu yang cepat sehingga ayahnya terpaksa menggadaikan rumahnya dan sampai film ini dimulai, mereka belum mampu menebusnya. It really hurts me, a lot.

Sang Ibu

Tony yang ikhlas merawat ibunya

Untungya, masih ada kehangatan pada keluarga tersebut. Rini dan Tony masih punya dua adik laki-laki bernama Bondi (diperankan Nasar Annuz) dan Ian (diperankan Muhammad Adhiyat serta seorang nenek bernama Rahma Saidah (diperankan Elly D. Luthan). Mereka bahu membahu merawat sang ibu yang lagi sakit. Setiap harinya, Sang Ayah, Rini, dan Tony bergantian untuk memberi ibu mereka makan, memandikanya, serta menyisirnya sembari mengurus nenek dan dua adiknya yang masih kecil. Belum bekerja sudah jadi sandwich generation!

Sang Ibu adalah seorang penyanyi yang terkenal pada masanya. Sayangnya, sudah bertahun-tahun ia tidak menelurkan karyanya lagi, makanya namanya sudah tidak dikenal oleh masyarakat, terutama generasi-generasi muda. Selain itu karena sistem pembagian royalti tahun 1980an masih belum bagus, jadinya Sang Ibu tidak mendapat royalti sepeserpun dari stasiun radio yang masih sering memutar lagunya. Jika saja sistem royalti tahun 1980a sudah bagus, ia tidak harus mengalami kesulitan seperti ini ketika ia sakit.

Lagu yang dibawakan Sang Ibu, Kelam Malam ini jadi iconic banget seperti lagu Lingsir Wengi yang jadi populer setelah diputar sebagai soundtrack pada film Kuntilanak (2006) karya Rizal Mantovani dan dibintangi oleh Julie Estele. Menurut saya lagu Kelam Malam ini sangat merdu dan syahdu. Lagu ini pun membuat saya nostalgia banget, seolah-olah saya pernah hidup di tahun 1980 seperti yang digambarkan pada film ini. Selain itu elemen lain yang membuat saya nostalgia adalah rumah jadul, barang-barang jadul dan pop culture jadul di film ini yang membuat saya nostalgia.  Istilahnya disebut dengan alias Anemoia.

Rini dan ibunya

Usaha yang dijalankan demi kesembuhan Sang Ibu seolah percuma karena Sang Ibu meninggal dunia tidak lama setelah film ini dimulai setelah Sang Ibu tiba-tiba terjatuh di kamarnya. Tidak jelas apa kematian Sang Ibu, apa karena penyebab medis atau penyebab spiritual? Mengingat film ini merupakan film horror. Sebelum meninggal dunia, Rini sempat mengalami kejadian aneh dimana ia sempat bermimpi bertemu dengan sosok hantu yang menyerupai Sang Ibu sebelum terbangun dan menemui Sang Ibu yang jatuh dan meninggal dunia. Waktu nonton di bioskop, adegan ini membuat satu bioskop teriak kencang, sensas berbeda dengan yang saya alami ketika nonton film ini di rumah.

Pemakaman Sang Ibu

Saat berada di upacara pemakaman ibunya, Rini bertemu dengan seorang ustadz setempat (diperankan Arswendi Nasution) dan putranya, Hendra (diperankan Dimas aditya) yang banyak membantu mereka ketika memakamkan ibunya. Sang Ustadz sadar bahwa Sang ayah tidak pernah terlihat di Masjid sama sekali dan Sang Ayah pun berkata bahwa mereka tidak shalat. Sang Ustadz hanya berkata, “Oh”, dan tidak menghakimi mereka sama sekali. Benar-benar tipikal Ustadz yang tidak mau ribet sama sekali. Panutan banget!

Sang Ayah terpaksa harus pergi ke kota begitu pemakaman istinya selesai untuk urusan penting  karena ia sudah lama meninggalkan rumah mereka di kota yang telah ia gadaikan. Saat itu belum ada handphone seperti sekarang. Keluarga mereka pun tidak punya telepon rumah sama sekali karena telepon rumah mereka telah diputus sehingga mereka khawatir tidak bisa mengontak ayahnya jika terjadi apa-apa. Namun Sang Ayah berusaha menenangkan anak-anaknya dan berjanji akan segera kembali jika urusannya sudah selesai.

Kepergian Sang Ayah menjadi petaka bagi keluarga Rini karena mereka kerap kali diganggu oleh sosok misterius yang wujudnya menyerupai Sang Ibu yang telah meninggal. Gak cuma itu, Sang Nenek pun ditemukan meninggal dunia setelah tercebur ke dalam sumur sehingga lagi-lagi mereka harus meminta bantuan Sang Ustadz dan anaknya, Hendra. Pastinya kejadian tersebut membuat mereka sangat terpukul. Harus kehilangan Sang Ibu dan Sang nenek sekaligus tanpa dihadiri Sang Ayah yang sedang pergi ke luar kota.

Di kamar Sang Nenek, Rini menemukan sepucuk surat yang ditujukan pada Budiman Syailendra (diperankan Egy Fedly). Rini pun meminta Hendra untuk mengantarkan surat tersebut ke kediaman Budiman. Hendra yang dari awal memang punya perasan pada Rini dengan tulus mengantarkan Rini ke alamat yang mereka tuju.

Sesampainya di sana, Rini dan Hendra mendapati bahwa Budiman adalah sahabat Sang Nenek sejak masa sekolah. Ia bercerita bahwa Sang Nenek tidak setuju dengan Sang ayah yang menikah dengan Sang Nenek karena Sang Ibu merupakan seorang seniman yang penghasilannya tidak besar, tidak seperti sekarang. Selain itu, sebelum kelahiran Rini, Sang Ibu adalah tipikal ibu-ibu yang sulit dikaruniai keturunan.

Budiman yang merupakan seorang penulis majalah misteri menceritakan bahwa Sang Ibu terlibat dalam sebuah sekte pemuja setan biar ia bisa memiliki keturunan. Ia pun memberikan satu eksemplar majalah yang ia tulis supaya dibaca oleh Rini. Namun Rini yang tidak percaya takhayul memutuskan untuk tidak mempercayai apa yang Budiman katakan.

Setelah kematian Sang Nenek, Bondi mulai berubah. Ini wajar, karena Bondilah yang pertama kali menemukan menemukan jenazah sang Nenek. Bondi tidak saja mengalami demam parah, namun ia kerap kali memiliki pandangan kosong. Dari segi medis dan psikologis, Bondi berlaku seperti itu karena ia trauma dengan kejadian Sang Nenek yang ia temukan meninggal dunia di dalam sumur setelah Sang Ibu meninggal dalam selang waktu selama beberapa hari. Namun karena film ini film horror, mari kita tambahkan faktor spiritual yang bisa kita simpulkan bahwa Bondo berlaku seperti itu karena diganggu makhluk halus.

Tony yang terlebih dahulu membaca majalah yang diberikan Budiman pada Rini pun mengajaknya berdiskusi. Ia tidak menutup kemungkinan bahwa Sang Ibu memang benar-benar anggota sekte pemuja setan karena keluarga mereka tidak ada yang relijius sama sekali. Istilahnya, Islam KTP gitu loh. Selain itu, keempat adik kakak tersebut tidak punya wajah yang mirip sama sekali sehingga ada kemungkinan mereka lahir dari rahim Sang Ibu, tapi dari ayah yang berbeda-beda ataupun mereka diadopsi, ataupun lahir dengan cara yang tidak normal sama sekali.

Terlebih, majalah yang Budiman tulis mengatakan bahwa Ian, sebagai anak terakhir akan diambil setelah berumur 7 tahun. Kebetulan, tiga hari yang akan datang, Ian memang akan berulang tahun yang ketujuh, makanya Tony menyimpulkan bahwa tidak mungkin yang Budiman tulis dalam majalahnya hanyalah kebetulan semata. Apalagi mereka sering diganggu setelah kematian Sang Ibu.

Sang Ustadz menyarankan mereka untuk lebih banyak beribadah di rumah karena keluarga Rini adalah keluarga ‘Islam KTP’ yang jarang beribadah. Sang Utadz terpaksa menyarankan merkea untuk beribadah karena mereka kerap kali diganggu oleh sesosok mahkluk yang menyerupai Sang Ibu. Ia yakin bahwa makhluk tersebut adalah sosok jin atau makhluk halus yang menyerupai Sang Ibu biar mereka semakin lalai beribadah pada Tuhan.

Malam itu, Rini pun memutuskan untuk menjalankan shalat, namun alih-alih merasa tenang, ia diganggu oleh sosok Sang Ibu sejak ia berwudhu. Gak cuma diganggu saat berwudhu, Rini pun diganggu saat ia sudah selesai shalat dengan sosok Sang Ibu yang menggerayangi mukenanya. Selama ini saya didoktrin bahwa setan takut dengan penggalan ayat suci yang kita ucapkan secara verbal, namun dalam film ini, Joko Anwar berusaha meyakinkan penontonnya bahwa hal tersebut tidak berpengaruh sama sekali karena setan jauh lebih menguasai ayat-ayat suci yang diucapkan oleh manusia. Mereka jauh lebih hafal karena mereka telah hidup lebih lama dari manusia, yakni jauh sebelum manusia turun ke Bumi dan jauh sebelum manusia diciptakan oleh Tuhan.

Hendra dan Budiman

Keesokan harinya, Hendra ditelpon oleh Budiman setelah Budiman meneleponnya. Ia pun memberikan koreksi atas artikel yang ia tulis sebelumnya. Namun entah kebetulan atau  tidak, pada perjalanan pulang, Hendra malah meninggal dunia setelah ia mengalami kecelakaan lalu lintas. Sang Ustadz pun terpaksa berkabung setelah melihat anak semata wayangnya meninggal dunia.

Adegan salat

Malamnya, Rini diganggu oleh penampakan sesosok makhluk yang menyerupai Hendra. Sang Ustadz melihat kejadian tersebut tapi karena ia masih berduka atas kematian Hendra, ia memutuskan untuk tidak menolong Rini dan keluarganya. Hal yang tidak bisa kalian temukan dalam film-film horror zaman Orde Baru karena di film-film horror zaman Orde Baru, Ustadz selalu shaleh dan menang ketika berkonfrontasi dengan setan. Coba saja lihat film-film kaya Mendiang Suzana.

Tidak lama setelah diganggu oleh sosok Hendra, Sang Ayah pun pulang dan ia langsung kembali terpukul setelah mengetahui bahwa ibu kandungnya telah meninggal dunia setelah ditemukan tenggelam di dalam sumur. Kehilangan Sang Istri dan ibu kandung dalam waktu yang sangat berdekatan tentu membuat siapa saja terpukul banget!

Eh, tidak lama setelah sampai di rumah, Sang Ayah dibuat repot dengan Ian yang ditarik oleh sosok misterius yang menariknya ke dalam sumur tempat Sang Nenek ditemukan tenggelam. Sebagai ayah yang baik, Sang Ayah berusaha menyelamatkan Ian dengan lompat ke dalam sumur. Keren sumpah!

Setelah menyelamatkan Ian, Rini sekeluarga sadar bahwa rumahnya telah dikepung oleh puluhan orang yang bisa kita simpulkan sebagai anggota sekte pemuja setan yang diikuti oleh Sang Ibu demi memperoleh keturunan. Tidak jelas mereka ini siapa, namun mereka bersosok serba hitam dan menggunakan payung hitam, seperti Black Organizaton dalam anime dan manga Detektif Conan.

Keesokan harinya, Sang Ayah memutuskan untuk segera pindah ke rumah susun (apartemen( di kota dan meninggalkan rumah peninggalan nenek mereka supaya tidak lagi diganggu. Selain itu, nampaknya Sang Ayah pun sudah memiliki pekerjaan baru di kota makanya ia memutuskan untuk membawa keluarganya ke sana. Namun mobil jemputan yang harusnya mereka tumpangi pada pukul 4 sore tidak kunjung datang sampai Sang Ustadz mendatangi rumah mereka untuk silaturahmi.

Sang Ustadz dengan santun meminta maaf pada Rini dan keluarganya bahwa ia tidak bisa membantu banyak karena baru kehilangan anak semata wayangnya. Namun, tepat pada tengah malam, atau hari ulang thaun Ian yang ke-tujuh, Rini dan keluarganya kembali diganggu. Ian bahkan sampai bisa berbicara verbal dalam bahasa asing padahal selama ini ian merupakan seseorang yang tidak bisa berbicara sama sekali alias tuna rungu.

Rini, Tony, Bondi, dan Sang Ayah bersembunyi di kamar nenek dan menemukan bahwa rumah mereka dikepung oleh puluhan mayat hidup yang sosoknya mirip seperti zombie dalam game Resident Evil atau serial The walking Dead. Gak cuma itu, mereka menemukan bahwa Sang Ustadz sudah tidak bernyawa setelah dibunuh oleh mayat hidup yang mengepung rumah mereka. Tidak lama, Budiman pun tiba-tiba datang dan membawa Rini dan keluarganya pergi dengan meninggalkan Ian. Budiman berkata bahwa Ian sejak awal bukan anak mereka sehingga ia memang pantas untuk diambil oleh ‘mereka’ yang tidak jelas apakah sosok manusia atau sosok setan?

Fachri Albar dan Asmara Abigail

Film ini pun ditutup dengan Rini dan keluarganya yang telah pindah ke sebuah rumah susun. Di sana, mereka didatangi oleh tetangga mereka, mbak-mbak baik hati (diperankan Asmara Abigail) yang memberikan mereka makanan. Mbak-mbak tersebut kembali ke kamarnya dan berbincang dengan pasangannya (diperankan Fachri Albar) yang merupakan Darminah, antagonis di film Pengabdi Setan (1980) dan mereka pun menari bersama.

 

KESIMPULAN

Ayu Laksmi

Meskipun ending film ini tidak jelas dan endingnya banyak diperdebatkan orang di dunia maya, film ini memang sangat seru! Joko Anwar telah membuktikan bahwa ia merupakan salah satu sutradara terbaik Indonesia lewat karyanya ini. Ia pun tidak merusak Pengabdi setan (1980), tapi memberikan warna baru bagi film horror Indonesia lewat karyanya. Akting para aktor dan aktris di dalamnya pun juara banget! Terutama Ayu Laksmi sebagai Sang Ibu!

Joko Anwar seolah membuktikan, bahwa Indonesia bisa membuat film yang bagus asalkan dikerjakan oleh orang-orang yang tepat, antara lain, sutradara yang tepat, produser yang tepat, aktor dan aktris yang tepat, dan ratusan kru film lainnya yang mendukung film tersebut di balik layar. Saya senang dengan pencapaian yang dilakukan oleh Joko Anwar dan ratusan  kru film ini di balik layar karena saya jadi yakin bahwa film Indonesia suatu saat bisa sangat maju! Kita hanya kalah start dan kalah modal saja jika dibandingkan dengan industri film Thailand, film Jepang, dan juga film Hollywood!

Minimal, 10 tahun ke depan film Indonesia kualitasnya mendekati film Thailand dan Jepang deh. Sekarang saja sudah ada beberapa sutradara, aktor, dan aktris Indonesia yang berkarir di Hollywood seperti Iko Uwais, Yayan Ruhian, Cecep Arif Rahman dan juga Joe Taslim yang sempat bermain di dua film The Raid, franchise Fast and Furious, bahkan Star Wars!

Saya juga jadi menantika sekuel Pengabdi Setan 2 karena trailer yang disajikannya sungguh membuat saya penasaran dengan sekte pengabdi setan yang akan diceritakan oleh Joko Anwar lewat sekuel filmnya tersebut. Jarang banget film Indonesia yang mengangkat hal-hal seperti ini soalnya. Yang pasti saya usahakan untuk nonton sekuelnya di bioskop terlebih dahulu sebelum saya tonton lewat Netflix atau layanan streaming lainnya.