Ilustrasi hampers


Beberapa hari yang lalu, akhirnya saya mendapatkan bingkisan berisikan hampers. Bagi yang belum tahu, hampers adalah bingkisan yang diberikan oleh seseorang pada orang lain pada Hari Raya Idul Fitri, Hari raya Idul Adha, Hari Raya Natal, Hari Raya Paskah, Hari Raya Imlek, hingga Peringatan Tahun Baru Masehi dan hari raya umat keagamaan lainnya. Hampers diberikan oleh seseorang pada orang lain untuk terus menjalin hubungan silaturahmi dengan teman, keluarga, hingga rekan bisnis.

Hampers biasa diisi oleh kue basah, kue kering, minuman ringan, alat shalat, hingga pajangan lainnya yang dihias sedemikian rupa sehingga memiliki kesan estetik. Budaya saling kirim hampers ini seingat saya sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Tahun 90an, saya masih anak-anak, banyak orang yang saling kirim hampers. Hanya saja, dulu istilahnya bukan hampers tapi parsel. Entah sejak kapan istilahnya berganti nama jadi hampers.

Seingat saya sih, istilah hampers ini marak terjadi sejak pandemi Covid-19 menyerang tanah air. Saat itu, belum ada vaksin Covid-19 sehingga banyak orang yang terpaksa sekolah dari rumah, kuliah dari rumah, hingga bekerja dari rumah. Banyak yang saling merindukan satu sama lain tapi tidak mau saling berkunjung biar tidak tertular virus corona sehingga mereka saling kirim hampers sebagai gantinya. Ada juga yang kirim hampers untuk dukungan moril mereka-mereka yang lagi melakukan isolasi mandiri di rumahnya masing-masing.

Hampers sebagai simbol strata sosial tertentu di tahun 90 s/d 2000an

Menurut saya, dari sudut pandang saya sendiri, orang yang menerima hampers adalah orang yang cukup beruntung. Kenapa? Sekali lagi, dari sudut pandang saya, mereka-mereka yang mendapatkan hampers adalah pekerja kantoran, pengusaha, public figure, hingga pejabat pemerintahan. Setidaknya, mereka dianggap penting karena bisa mendapatkan hampers dari rekan kerja, teman-teman terdekatnya, hingga anggota keluarganya yang lain pada hari raya maupun hari-hari biasa secara random.

Sejak kecil, saya hanya melihat mereka-mereka, yakni teman dan saudara saya yang orang tuanya pekerja kantoran dengan jabatan cukup tinggi, pengusaha, public figure, hingga pejabat pemerintahan sajalah yang rutin mendapatkan parsel pada hari raya atau hari-hari biasa secara random. Orang tua saya pun begitu. Itu pun, saat masih menjabat sebagai salah satu karyawan salah satu BUMN. Saat sudah pensiun dan tidak berhubungan langsung dengan rekan bisnisnya, kami tidak lagi mendapatkan parsel.

Beberapa diantara pekerja kantoran, pengusaha, public figure, hingga pejabat pemerintahan bahkan mendapatkan parsel yang tidak biasa. Salah satu teman saya yang ayahnya pejabat BUMN bahkan mendapatkan parsel yang isinya sebuah handphone Nokia termutakhir pada zamannya. Nominal handphone tersebut lebih dari IDR 2.000.000 saat itu.

Bahkan sempat ada larangan saling kirim parsel untuk mereka-mereka yang merupakan PNS, pegawai BUMN, pejabat TNI/Polri atau pengusaha karena dikhawatirkan hal tersebut merupakan bentuk gratifikasi dari pihak-pihak yang punya kepentingan tertentu. Itulah mengapa sampai sekarang saya menganggap mereka-mereka yang mendapat hampers atau parsel adalah orang-orang yang cukup penting dalam bidangnya masing-masing.

Hampers sebagai validasi strata sosial di era sosial media

Di era sosial media seperti sekarang, hampers masih saya anggap sebagai simbol strata sosial tertentu karena lagi-lagi, hanya kalangan tertentu saja yang saling kirim hampers. Memang saat ini yang saling kirim hampers tidak saja pekerja kantoran, pengusaha, public figure dan pejabat pemerintahan saja, tapi dilakukan oleh orang-orang biasa karena saat ini banyak pekerja kreatif yang tidak dibatasi oleh belenggu struktural seperti yang terjadi puluhan tahun lalu. Namun tetap saja, hanya strata sosial tertentu yang saling kirim hampers.

Mengapa? Jadi begini, lagi-lagi, menurut sudut pandang saya, yang bisa saling kirim hampers adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia sudah melunasi berbagai macam kebutuhan dasar dalam hidup seperti biaya sandang, papan, dan pangan. Ia sudah melunasi berbagai tagihan seperti tagihan listrik, tagihan PDAM, tagihan BPJS, pajak kendaraan bermotor, hingga pajak bumi dan bangunan.

Karena satu paket hampers saja harganya cukup mahal bagi saya yang belum punya kemerdekaan finansial dari berbagai tagihan-tagihan hidup yang saya sebutkan di atas. Jadi hanya mereka yang punya uang lebih sajalah yang bisa saling kirim hampers. Setidaknya, ini dari sudut pandang saya. Entah dari sudut pandang mereka-mereka yang punya privilege lebih.

Selain itu, di era sosial media, saling kirim hampers menunjukan validasi strata sosial tertentu karena setiap kali mereka mendapatkan hampers, mereka akan memposting ucapan terimakasih pada mereka yang telah mengirimkan hampers tersebut di lama sosial media mereka, utamanya di Instagram Story dengan menyebutkan siapa yang sudah mengirimkannya.

Selain sebagai bentuk ucapan terimakasih, postingan Instagram Story tersebut pun sebagai validasi sosial tertentu dari para sosialita kota-kota besar untuk menunjukan kedekatan mereka dengan mereka-mereka yang saling mengirimkan hampers tersebut. Apalagi jika circle mereka adalah sesama selebgram tertentu yang punya basis followers yang cukup banyak.

Kira-kira, seperti itulah pikiran saya tentang hampers. Seperti itulah sudut pandang saya yang bukan merupakan pekerja kantoran, pengusaha, public figure maupun pejabat pemerintahan yang tidak pernah mendapatkan hampers sama sekali.

Pengalaman pertama dapat hampers

Hampers pertama yang pernah saya terima dalam hidup

Idul Fitri 2022 ini, akhirnya saya mendapatkan hampers dari salah satu kolega saya di kampus. Bukan tanpa sebab, namun karena saya pernah membantu salah satu kolega saya di kampus dengan membantu tesisnya. Saya membantu dia sebagai salah satu narasumber untuk penelitiannya yang mengharuskan saya hadir di kampus untuk beberapa kali sesi wawancara. Makanya saya dikirimi hampers olehnya.

Tentu saya sangat bertermakasih padanya karena untuk pertama kalinya dalam hidup, saya akhirnya bisa mendapatkan hampers setelah selama bertahun-tahun hanya melihat unggahan Instagram Story dari orang-orang yang saya follow di sosial media tentang mereka yang mendapatkan hampers dari orang-orang terdekatnya karena mereka adalah orang penting dengan strata sosial yang lebih tinggi dari saya.

Bagi saya yang tidak pernah menerima hampers, paket hampers yang saya terima ini tentu sangatlah penting. Jelas istimewa, jika dibandingkan dengan orang yang strata sosialnya di atas saya yang dalam satu bulan bisa memperoleh puluhan hampers dari puluhan orang yang berbeda di hari raya. Belum lagi kiriman hampers ketika ada momen tertententu seperti hari ulang taun yang bersangkutan, lahirnya momongan mereka, hingga ucapan turut berduka cita.

Dari sudut pandang saya sendiri, hampers saat ada seseorang terdekat kita yang meninggal dunia adalah simbol strata sosial juga karena hanya mereka-mereka yang dianggap penting sajalah yang memperoleh hampers (dalam hal ini, karangan bunga ucapan turut berduka cita) ketika orang tua atau anggota keluarga kita meninggal dunia.

Pasalnya, karena saya dan ayah saya bukan orang penting, saat ayah saya meninggal tidak ada satu pun karangan bunga yang dikirimkan ke rumah saya, tidak seperti teman saya yang orang tuanya atau dirinya merupakan orang penting sehingga ia memperoleh puluhan bahkan ratusan karangan bunga dari teman, sahabat, anggota keluarga, hingga pejabat pemerintahan yang mengirimkan karangan bunganya untuk menghiburnya.

Kira-kira, seperti itulah sudut pandang saya.