IMDb: 7,7/10 | Rating
Saya: 7/10
Rated: R | Genre: Action, Drama,
History
Directed by Ridley Scott
Screenplay by Ken Nolan
Based on Black Hawk Down: A Story of Modern
War by Mark Bowden
Produced by Jerry
Bruckheimer, Ridley Scott
Starring Josh Hartnett, Eric Bana, Ewan McGregor,
Tom Sizemore, William Fichtner, Jason Isaacs, Sam Shepard
Cinematography Sławomir Idziak
Edited by Pietro Scalia
Music by Hans Zimmer
Production companies Columbia Pictures, Revolution Studios,
Jerry Bruckheimer Films, Scott Free Productions
Distributed by Sony Pictures Releasing
Release date 28 December 2001 (limited
release), 18 January 2002 (wide release)
Running time 144 minutes | Country United
States, United Kingdom
Language English | Budget $92 million
Bisa dibilang, saya adalah salah satu
orang yang menggemari film perang. Sebut saja Saving Private Ryan (1998), Pearl
Harbor (2001), Dunkirk (2017), Hacksaw
Ridge (2016), dan juga 1917 (2019). Fokus
saya bukan pada actionnya semata, tapi biar saya bisa melihat sudut pandang
dari para prajurit yang diceritakan lewat film-film tersebut. Bagaimana kengerian
perang dari sudut pandang prajurit yang berperang alih-alih dari sudut pandang
jenderal yang berada di ruang markas besar.
Nah, suatu ketika, saya membaca artikel
yang membahas berbagai film yang dibintangi oleh Ewan McGregor di Kincir.com
dengan judul “Suka Penampilan Ewan McGregor Sebagai Obi-Wan Kenobi? Tonton 9 Film
Terbaiknya!”, makanya saya langsung nonton ulang film Black
Hawk Down. Film ini dulu sering diputar di televisi swasta, namun saya tidak
pernah menontonnya sampai selesai karena film ini terlampau panjang. Pasalnya,
film baru diputar pukul 21.00 dan saya harus sekolah pada keesokan paginya,
makanya gak pernah saya tonton sampai selesai. Simak ulasannya berikut ini.
STORYLINE
Black Hawk Down adalah film keluaran
tahun 2001 buatan Amerika Serikat dan Inggris yang terinspirasi dari kisah
nyata. Seperti judulnya, film ini menceritakan tragedi jatuhnya helikopter
Amerika Serikat bernama Black Hawk di Somalia. Film yang berseting pada tahun
1993 menceritakan bagaimana chaosnya perang saudara Somalia saat itu. Dewan
Keamanan PBB pun tidak bisa berbuat banyak karena operasi militer PBB disana
tidak boleh melakukan intervensi apapun atas segala sesuatu yang terjadi
disana.
Ilustrasi chaosnya Somalia (Foto: CNN) |
Adegan pembuka film ini pun benar-benar
chaos. Konfrontasi antara Cebong dan Kampret yang terjadi pada Pilpres 2014 dan
Pilpres 2019 mah gak ada apa-apanya karena pihak yang berperang disini memegang
senjata laras panjang semua. Bahkan tidak sedikit anak-anak di bawah umur yang
kedapatan membawa senjata laras panjang seperti AK-47. Dibandingkan dengan yang
terjadi di Somalia, Tragedi 1966 dan Tragedi 1998 yang kita alami juga seolah
gak ada artinya.
Nah, ketika sebagian besar pasukan
perdamaian PBB mundur, milisi yang dipimpin oleh Mohamed Farrah Aidid
menyatakan perang terhadap pasukan perdamaian PBB yang tersisa. Di lain pihak,
Presiden Amerika Serikat saat itu, Bill Clinton mengerahkan pasukan miliknya
untuk menangkap Aidid karena Amerika menganggap, jika Aidid ditangkap, perang
saudara di Somalia bisa berakhir.
Bisa dibilang, milisi pimpinan Aidid
memang biang kerok dari perang saudara di Somalia. Setidaknya, dari yang saya
lihat dari film ini. Saya sendiri tidak tahu penyebab perang saudara disana
karena apa.
Lantas, kenapa saya bisa menganggap
Aidid yang bersalah? Pasalnya, milisi pimpinan Aidid berani menyita makanan
kiriman Palang Merah yang seharusnya didistribusikan pada masyarakat miskin
Somalia. Udah gitu, pasukan perdamaian PBB pun cuma bisa melongo melihat milisi
pimpinan Aidid ngambil makanan tersebut karena mereka dilarang melakukan
intervensi apapun. Benar-benar menyebalkan!
Tapi disisi lain, Amerika Serikat juga sama brengseknya. Lihat saja, selama puluhan tahun, sejak kemenangan mereka pada Perang Dunia II, mereka otomatis seorang diri jadi “polisi dunia” dengan menginvasi banyak negara mulai dari Afhganistan, Irak, dan juga Vietnam hanya karena mereka menyandang status sebagai negara adidaya dan adikuasa.
Dalam film ini, pasukan Amerika Serikat
yang terdiri dari pasukan elit Rangers dan Delta Force (semacam Kopassus
Indonesia) diisi oleh anggota-anggota baru yang baru saja lulus dari pendidikan
militer. Mereka masih idealis, semberono dan belum punya pengalaman secara
langsung di lapangan. Sersan Matthew Eversmann (diperankan Josh Hartnett)
adalah salah satu diantaranya.
Matthew Eversmann |
Matthew Eversmann malah mempertanyakan,
“Apa tujuan kita ada di Somalia?” pada teman-temannya. Pertanyaan
tersebut bukan tanpa alasan. Dari sudut pandangnya sebagai prajurit yang baru
saja lulus pendidikan, ia melihat bahwa orang Somalia adalah orang-orang yang
sangar ramah. Saat naik helikopter pun ia melihat alam Somalia, terutama
pantainya sangatlah indah. Kenapa harus ada perang saudara dan kenapa kita harus
berada disini?
Tentu, ini akibat para pemimpin Amerika
yang duduk santai di White House. Sejak era Perang Dunia II sampai Perang
Vietnam, jutaan tentara Amerika dikirim untuk menginvasi negara lain atas nama
perdamaian tanpa tahu maksud dan tujuan politis para pemimpin Amerika tersebut.
Yang jadi korban tentu tentara Amerika yang terpaksa gugur demi negaranya. Alhasil,
banyak keluarga yang merasa kehilangan. Kalaupun hidup, tidak sedikit yang
mengalami luka maupun cacat seumur hidup akibat perang. Kalaupun tidak
mengalami luka atau kecacatan, banyak yang mengalami post-traumatic stress
disorder berkepanjangan.
Di negara yang mereka invasi, korbannya
lebih banyak lagi. Jutaan warganya terpaksa meninggal dunia akibat terjangan
langsung peluru maupun serangan bom. Kalaupun tidak mati karena terjangan
peluru atau bom, mereka akhirnya meninggal dunia akibat kelaparan. Jutaan
anak-anak kehilangan orang tuanya. Jutaan anak-anak terpaksa putus sekolah dan
akhirnya hidup serabutan dan juga tidak layak karena infrastruktur negaranya
hancur lebur akibat perang.
Namun, sebagai prajurit Delta Force,
mereka tidak diperkenankan untuk mengeluh. Mereka hanya disuruh untuk menerima
perintah langsung dari atasan mereka. Prajurit harus patuh pada Kopral. Kopral
harus patuh pada Sersan. Sersan harus patuh pada Letnan. Letnan harus patuh
pada Kapten. Kapten harus patuh pada Mayor. Mayor harus patuh pada Kolonel.
Kolonel harus patuh pada Jenderal. Jenderal harus patuh pada para politisi di White
House. Kurang lebih, itulah rantai komandonya.
Operasi Delta Force pun dimulai. Mereka
punya satu tujuan, yakni menangkap para penasihat Aidid supaya mereka bisa
lebih dimudahkan untuk menangkap Aidid. Dengan segala alutsista militer yang
dimilikinya, seharusnya pasukan Amerika Serikat bisa dengan mudah menangkap
targetnya.
Tapi tidak di Somalia. Pasalnya, milisi
Somalia yang dipimpin Aidid punya begitu banyak bala bantuan mulai dari rakyat sipil
hingga anak-anak yang selalu melaporkan pergerakan tentara Amerika lewat
sambungan radio maupun pesawat telepon. Sudah gitu, banyak juga rakyat sipil
hingga anak-anak yang melawan pasukan Amerika terang-terangan dengan
menggunakan senjata api sehingga hal tersebut akan mempersulit operasi militer
yang dijalankan Amerika.
Jatuhnya Helikopter Black Hawk |
Sesuai judul film ini, dalam upaya
menangkap penasihat Aidid tersebut, helikopter kepunyaan pasukan Amerika, Black
Hawk pun dibuat mendarat di tanah Somalia oleh pasukan milisi Aidid. Bukan,
bukan mendarat secara sukarela, tapi benar-benar hancur karena terkena serangan
RPG pasukan milisi Somalia. Gila! Bukan sekadar AK-47, tapi juga RPG!
Film ini pun baru mulai ramai setelah
dua helikopter tersebut jatuh karena banyak pasukan yang tercerai berai. Yang
di lapangan sibuk bertahan hidup dari gempuran pasukan milisi Somalia yang
jumlahnya banyak, sedangkan para perwira yang ada di markas militer pusing
memutar otak bagaimana caranya mengatur strategi biar mereka bisa mundur dari
gempuran lawan dengan meminimalisir jumlah korban yang terpaksa gugur.
Kengerian perang benar-benar
digambarkan dengan sempurna oleh film ini. Baik prajurit Amerika maupun
prajurit Somalia sama-sama jadi korban keberingasan perang. Banyak diantara
mereka yang gugur dalam pertempuran. Bahkan, dengan cara yang sangat
menyakitkan karena tidak sedikit organ dalam mereka benar-benar keluar akibat
ledakan atau terjangan peluru. Pokoknya film ini sangat tidak cocok ditonton
oleh anak-anak!
Pokoknya, kengerian perang dalam film
ini tidak bisa saya deskripsikan dalam blog saya. Kalian harus tonton sendiri
karena berbeda dengan film perang lainnya, film ini gak ada “tokoh” utamanya
yang difokuskan untuk diceritakan meskipun film ini memuat sejumlah aktor papan
atas seperti Josh Hartnett, Ewan McGregor, Orlando Bloom dan juga Nikolaj
Coster-Waldau.
Film ini pun diakhiri dengan Kolonel
Joe Cribbs (diperankan Steven Ford) yang meminta bantuan pasukan perdamaian PBB
biar ia bisa menyelamatkan seluruh pasukannya yang tersisa. Film ini pun
ditutup dengan segelintir fakta sesungguhnya yang terjadi di lapangan seperti Mohamed
Farah Aidid yang akhirnya gugur pada tahun 1996 dan 19 pasukan Delta Force yang
gugur pada pertempuran ini.
KESIMPULAN
Bisa dibilang, sepanjang saya hidup,
Black Hawk Down adalah salah satu film perang terbaik yang pernah saya tonton
karena film ini tidak saja punya unsur audio visual yang canggih, tapi
dibintangi oleh aktor papan atas seperti Josh Hartnett, Ewan McGregor, Orlando
Bloom, Nikolaj Coster-Waldau. Film ini juga menunjukkan bagaimana chaosnya Somalia
sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Dibandingkan Somalia, Indonesia
masih jauh lebih makmur dan saya sangat bersyukur bisa lahir di Indonesia.
Sebab, jika saya lahir di Somalia, mungkin saya juga akan mengalami apa yang
dialami oleh para rakyat Somalia. Antara mati kelaparan, atau mati karena
terjangan peluru.
Bukan saya saja yang mengamini bahwa
film ini adalah film yang bagus. Pasalnya, film ini berhasil memperoleh dua Oscar
untuk kategori Best Film Editing dan Best Sound dari empat nominasi yang diperolehnya.
Nominasi yang tidak film ini menangkan adalah kategori Best Cinematography dan
juga Best Director. Jarang banget kan film perang gini dapat Oscar? Artinya
film ini bagus!
Kekurangan film ini hanyalah terdapat
pada durasinya yang terlampau panjang. Keakuratan film ini pun sempat diprotes
oleh warga Somalia karena dianggap terlalu menggambarkan Somalia sebagai orang
yang sangat brutal. Yah, namanya juga film Amerika. Sama kayak film-film Rambo
yang dibintangi Sylvester Stallone dimana film tersebut memutarbalikan fakta
bahwa Amerika kalah dalam Perang Vietnam. Selain itu, fokusnya yang terpecah
belah karena tidak adanya “tokoh utama” dalam film ini seperti pada film perang
lainnya seperti Saving Private Ryan (1998), Pearl Harbor (2001), Dunkirk
(2017), Hacksaw
Ridge (2016), dan juga 1917 (2019).
0 Comments