IMDb: 6,2/10 | Rating
Saya: 7/10
Rated: R | Genre: Action, Drama
Directed by Noam Murro
Screenplay by Zack Snyder, Kurt Johnstad
Based on Xerxes by Frank Miller
Produced by Gianni Nunnari, Mark Canton, Zack
Snyder, Deborah Snyder, Bernie Goldmann
Starring Sullivan Stapleton, Eva Green, Lena
Headey, Hans Matheson, Rodrigo Santoro
Cinematography Simon Duggan
Edited by Wyatt Smith, David Brenner
Music by Junkie XL
Production companies Legendary Pictures, Cruel and Unusual
Films, Atmosphere Pictures, Hollywood Gang Productions
Distributed by Warner Bros.
Release date 4 March 2014 (TCL Chinese Theatre), 7 March 2014 (United States)
Running time 102 minutes | Country United
States
Language English | Budget $110 million
Film-film kolosal seperti Braveheart
(1995), Gladiator (2000), hingga Troy (2004) mewarnai kehidupan
saya hingga saat ini. Gak cuma menanamkan jiwa patriotisme, tapi film tersebut
juga cukup menghibur meskipun dari ketepatan sejarahnya, gak terlalu
akurat-akurat banget.
Setelah nonton 300 (2006), saya langsung tertarik untuk nontin spin-offnya, yakni 300: Rise of an
Empire (2014). Jujur, telat banget kalau dipikir-pikir, baru nonton tahun 2022
padahal film ini tayang pada tahun 2014. Tahun 2014 yang lalu saya sempat
kepikiran nonton film ini di bioskop tapi saat itu saya berpikir, “Ah ini
mah spin-off doang! Akal-akalan biar cari untung aja ini mah!”, makanya
saya memilih untuk nontonnya nanti-nanti aja. Simak ulasannya berikut ini.
STORYLINE
![]() |
Themistocles |
300: Rise of an Empire adalah film keluaran tahun 2014 buatan Amerika Serikat yang merupakan spin-off dari film 300 (2006) yang lalu. Sebagai spin-off 300, film ini diawali dengan Ratu Gorgo (diperankan Lena Headey) yang menceritakan cerita tentang Jenderal Themistocles (diperankan Sullivan Stapleton) yang telah membunuh Raja Darius (diperankan Igal Naor) dari Persia sepuluh tahun sebelum film 300. Menyaksikan ayahnya terbunuh, membuat Xerxes (diperankan Rodrigo Santoro) galau bukan main. Ia kembali ke Persia dan berniat balas dendam pada bangsa Yunani untuk membalaskan dendam ayahnya. Themistocles “agak” menyesal telah membunuh Raja Darius, karena lebih berfaedah jika saat itu ia membunuh Xerxes dalam pertempuran tersebut.
Soalnya, Xerxes berubah jadi Raja
Persia yang bengis dan tak kenal ampun setelah menyaksikan ayahnya dibunuh oleh
Themistocles. Kalau Xerxes yang dibunuh, Raja Leonidas juga gak akan mati
melawan pasukan Persia deh. Kira-kira seperti itulah kenapa Themistocles
menyesal membunuh Raja Darius alih-alih Xerxes.
Setelah narator yang dibacakan Ratu
Gorgo selesai, film ini langsung menjelaskan hubungan spin-off film ini dengan film
300. Rupanya sebelum Raja Leonidas berperang dengan bangsa Persia, Themistocles
sempat berkunjung ke Sparta untuk meminta bantuannya. Sayangnya Raja Leonidas
sudah pergi duluan, jadinya gak ketemu deh. Themistocles juga sempat berbincang
dengan Ratu Gorgo yang intinya ia ingin semua bangsa Yunani bersatu melawan
Persia.
![]() |
Artemisia |
Di film ini ada satu lagi lawan berat
bagi bangsa Yunani selain Xerses, yakni sekutu Xerxes bernama Artemisia (diperankan
Eva Green). Artemisia ini singkat cerita sangat jago main pedang, jago baku
hantam juga dan gak segan untuk membunuh siapapun yang menghalangi jalannya. Artemisia
adalah orang Yunani yang punya dendam pada bangsa Yunani karena seluruh anggota
keluarganya dibunuh, bahkan (maaf) diperkosa bangsa Yunani saat ia masih
anak-anak. Ia lalu diadopsi oleh bangsa Persia sehingga memilih untuk setia
pada bangsa Persia alih-alih tanah kelahirannya. Ya jelas Artemisia lebih memilih setia pada
bangsa Persia, saya juga kalau jadi Artemisia bakalan milih setia pada bangsa
Persia kalau dikhianati seperti itu.
Berbeda dengan film sebelumnya yang
menampilkan pertempuran di darat, spin-off 300 ini lebih banyak menampilkan
pertempuran di atas kapal. Efek visual dan slow motionnya masih sama seperti
film sebelumnya, hanya saja diimprove dengan menampilkan muncratan darah yang
menurut saya sangat lebay karena diulang berkali-kali selama film ini
berlangsung.
Baik film 300 maupun 300: Rise of an Empire,
kesannya seperti film kurang budget karena gelap banget. Literally gelap
padahal siang-siang! Berbeda dengan film kolosal macam Braveheart
(1995), Gladiator (2000), hingga Troy (2004) yang “masih
ada cahaya mataharinya”.
Ending film ini pun seolah gampang
ditebak karena Themistocles bisa mengalahkan Artemisia di akhir cerita setelah
seluruh bangsa Yunani bersatu. Di film sebelumnya, Raja Leonidas dan 300
prajurit pilihannya gugur karena kalah jumlah. Literally hanya orang-orang
Sparta saja yang berjuang melawan tirani dari Persia. Di akhir film ini, Delphi,
Thebes, Olympia, Arcadia, dan Sparta, semuanya bersatu melawan Persia sehingga
mereka bisa menang.
KESIMPULAN
Dari segi visual, tampilan darah dan
slow motionnya memang berlebihan tapi stylenya tetap saya suka meskipun terjadi
penurunan kualitas yang sangat tajam dibandingkan film sebelumnya. Mungkin
karena tidak digarap Zack Snyder secara langsung. Di film ini Zack Snyder hanya
berperan sebagai produser, bukan sutradaranya, jadi ya gak sebagus filmnya yang
pertama.
Selain hal-hal teknis di filmnya,
storyline film ini pun tidak sebagus film yang pertama. Leadership dan kharisma
Themistocles tidak sebagus leadership dan kharisma Raja Leonidas. Gak berkesan
sama sekali jadinya. Tapi tetap enak untuk ditonton kok!
![]() |
Themistocles dan pasukannya yang atletis |
Apalagi Themistocles dan seluruh anak
buahnya sama seperti Raja Leonidas dan anak buahnya yang punya tubuh atletis
dan punya semangat juang luar biasa. Bikin saya jadi semakin termotivasi untuk
pergi ke gym dan bikin saya enggan untuk mengkonsumsi junk food karena ingin
punya tubuh atletis dan maskulin seperti mereka. Saya butuh asupan film-film
seperti ini biar termovitasi untuk olahraga!
Kekurangan film ini hanya satu. Film
ini seolah jualan tubuh Eva Green doang karena menampilkan adegan ranjang Eva Green
yang selama ini suka ditampilkan supaya menarik perhatian penonton. Jadinya bakal
banyak orang yang nonton film ini karena ingin lihat adegan ranjang Eva Green
alih-alih penasaran dengan jalan cerita filmnya. Padahal peran Eva Green
sebagai Artemisia cukup bagus. Bagaimana ia menusuk orang lain dengan pedangnya
tanpa berpikir panjang itu bagus banget! Jarang-jarang ada film yang
menampilkan jagoan wanita tanpa dibumbui unsur woke culture yang terlihat jelas.
Di film ini gak terlihat unsur woke culturenya seperti film-film yang
menampilkan jagoan wanita seperti Star Wars Episode VII maupun film-film besutan
Marvel Studios setelah End Game.
Anyway, sebagai penutup, di balik
segala kekuarangannya, film ini pun cukup menghibur banget dan saya
rekomendasikan untuk kalian-kalian pencinta film. Ending film ini pun sengaja
dibikin menggantung begitu saja sama seperti film pertamanya, dan seolah-olah
bilang, “Kalau rame gue bikinin film ketiganya nih!”
0 Comments