Bisa
dikatakan, Toy Story adalah sebuah film animasi terbaik yang pernah ada. Film
animasi karya Pixar Animation Studios gak cuma berhasil bikin film animasi yang
memanjakan mata penonton lewat sajian visualnya saja, namun berhasil bikin film
animasi yang berhasil menyampaikan pesan perdamaian, nilai-nilai kekeluargaan,
dan arti cinta pada penontonnya.
Toy Story 2 pada console PlayStation |
Saya
ingat betul, pertama kali saya nonton Toy Story, saya langsung jatuh cinta pada
setiap elemen yang ada pada film animasi tersebut. Saat itu pun saya membeli
sejumlah action figure Toy Story yang dijual oleh salah satu gerai fast
food di Indonesia dan rajin memainkan gim Toy Story 2 pada console PlayStation.
Diam-diam,
saya juga suka berkata pada action figure maupun mainan saya yang lain, “Aku
tahu kalian bisa bicara dan bergerak kayak di Toy Story, nah, ayo jangan
malu-malu, aku janji tidak akan memberi tahu orang lain”, sampai akhirnya
saya sadar, bahwa perbuatan tersebut sia-sia.
Hari
berganti hari, hingga akhirnya saya berusia 30 tahun. Toy Story pun menjelma
jadi salah satu franchise film animasi yang punya basis penggemar yang sangat
banyak sampai dibuat tiga sekuel segala. Saya pun rutin menonton ulang keempat
film Toy Story beserta spin off-spin offnya hingga akhirnya saya menyadari,
nonton Toy Story pada usia 30 tahun, sangatlah berat. Beda banget sensasinya
dari 25 tahun yang lalu.
“When
somebody loved me
Everything
was beautiful
Every
hour spent together
Lives within my heart”
Penggemar
Toy Story pasti tidak asing dengan penggalan lirik di atas. Penggalan lirik
tersebut adalah soundtrack Toy Story 2 yang dibawakan dengan sempurna
oleh Sarah McLachlan. Lagu yang membuat jutaan penontonnya meneteskan air mata.
Lagu ini secara sempurna menggambarkan rasa trauma Jessie, mainan koboi wanita yang ‘dibuang’ oleh pemiliknya
setelah ia tumbuh dewasa.
Waktu
itu saya nonton adegan ini saat kelas 2 SD. Waktu itu saya berpikir, “Kok
bisa ada orang kayak gitu? Membuang mainannya?”
Waktu
itu, saya hanya menafsirkan adegan membuang mainan tersebut secara harfiah,
yang membuat saya lebih hati-hati dalam merawat mainan yang saya miliki. Saat
sudah dewasa dan mengalami banyak hal dalam hidup, saya akhirnya paham bahwa
adegan tersebut bukan adengan membuang mainan semata. Tidak sesepele itu.
Adegan
Jessie yang dibuang mewakili banyak hal, salah satunya mewakili masa anak-anak
kita yang hilang seiring bertambahnya usia kita. Seiring bertambahnya usia,
kita kehilangan banyak hal, bukan cuma mainan kesayangan kita saja. Kita
kehilangan orang-orang yang paling dekat dengan kita saat masih anak-anak, kita
juga kehilangan orang-orang yang paling kita sayangi saat masih anak-anak, dan
itu sangatlah menyakitkan.
Bukan
karena mereka pergi ke luar negeri yang jauh atau sudah meninggal dunia, tetapi
kita sama-sama tumbuh dan berkembang, makanya kita kehilangan mereka. Kita
tidak lagi menghabiskan waktu bersama mereka. Ketika bertemu, entah bagaimana
caranya, kita sama-sama jadi sosok yang asing satu sama lain padahal ketika
masih anak-anak, kita menghabiskan waktu bersama dari pagi ke pagi setiap harinya.
Waktu
masih anak-anak, saya bertekad untuk merawat mainan yang saya miliki sampai
saya dewasa. Saya tidak mau mainan saya mengalami nasib yang sama seperti
Jessie, dibuang begitu saja. Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya, saya
kehilangan mainan yang telah menemani masa kecil saya. Entah karena rusak, lupa
ditaruh di mana, hingga mungkin ada yang mencurinya. Lagipula, seiring
bertambahnya usia, saya gak sempat lagi buat mikirin mainan tersebut karena
lebih sering mikirin hal-hal yang lebih penting, seperti tagihan listrik.
Anehnya,
Toy Story jadi lebih bermakna saat saya tonton ketika dewasa. Jadi lebih relate
buat saya tonton ketika saya sudah dewasa. Di mana, mainan yang menemani saya
saat kecil akhirnya pergi entah ke mana, sama seperti Jessie. Pada akhirnya,
saya sama seperti pemilik Jessie, yang akhirnya menjadi sosok manusia
menyebalkan yang berhenti mencintai mainannya. Selain itu, satu persatu orang-orang
terdekat saya saat kecil pun akhirnya meninggalkan saya dan punya kehidupan sendiri-sendiri.
Saya
tahu, Toy Story adalah film animasi yang ditujukan untuk anak-anak. Tapi semua
adegan yang ada pada film ini lebih menguras emosi saya saat saya tonton ketika
berusia 30 tahun alih-alih ketika saya tonton ketika saya berusia 7 tahun,
seolah-olah Pixar dan Walt Disney tahu bahwa suatu saat, kita semua anak berada
pada suatu titik terendah dalam hidup kita, sama seperti yang dirasakan oleh
Jessie.
Entah
kenapa, Toy Story jadi relate banget dengan kehidupan saya saat ini
dibandingkan film animasi keluaran Pixar atau Walt Disney lainnya. Jelas, film
animasi lainnya mana relate dengan kehidupan saya sekarang seperti Tarzan,
Cinderella, atau Putri Salju. Cerita yang disuguhkan Toy Story jauh lebih
realistis untuk saya saat ini.
Pada
akhirnya pun, kita harus jadi manusia yang legowo seperti yang Andy lakukan
pada mainannya. Seperti yang Andy lakukan pada kenangan masa kecilnya. Move on
dalam hidup, meninggalkan semua mainan yang menemani masa kecil kita, seperti
yang dilakukan Andy ketika memutuskan untuk memberikan semua mainan masa
kecilnya pada Bonnie. Tidak saja mainan, kita pun harus jadi manusia yang
legowo karena semua orang yang menemani masa kecil kita, suatu saat akan
meninggalkan kita semua.
0 Comments