Ketika masih kanak-kanak, sebagian besar dari kita pasti mengidolakan sosok Aladdin, seorang pencuri baik hati di Kota Agrabah yang akhirnya berhasil meminang Putri Jasmine, anak semata wayang Sultan setelah mengalami petualangan seru bersama Jin yang ia bebaskan.

Saya juga turut mengutuk tindakan yang dilakukan oleh Jafar, Perdana Menteri Agrabah yang merupakan orang kepercayaan Sultan. Pasalnya, dari awal film diceritakan bahwa Jafar adalah tokoh antagonis yang akan memanfaatkan kekuatan Jin biar bisa jadi penguasa Agrabah menggantikan Sultan.

Padahal sesungguhnya, Jafar merupakan figur penguasa yang patut diacungi jempol karena Sultan sebagai penguasa tertinggi Agrabah tidak menjalankan tugasnya dengan becus setelah ditinggal mati oleh istrinya dan terus-terusan mengutamakan kepentingan pribadinya (mengurusi Putri Jasmine yang tak kunjung menikah) alih-alih mikirin kesejahteraan rakyat Agrabah.

Sultan malah fokus mencari jodoh untuk Putri Jasmine karena meskipun Putri Jasmine adalah pewaris tunggal Sultan, ia tidak berhak melanjutkan pemerintahan monarki ayahnya dengan menjadi Ratu Agrabah kecuali ia menerima pinangan dari pangeran kerajaan lain. Putri Jasmine adalah korban sistem patriarki Agrabah yang mengatur bagaimana perempuan harus bersikap dan bertindak, sekalipun ia putri Sultan.

Agrabah bisa dikatakan sebagai sebuah kota fiksi yang terinspirasi dari Kota Bagdad di masa keemasannya saat Bagdad menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di dunia. Tidak saja jadi pusat perdagangan terbesar di dunia, saat itu pun Bagdad menjadi pusat perekonomian, pendidikan, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca tulisan saya yang lain : Sisi Kelam Aladdin dan Agrabah

Agrabah boleh bangga dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, megahnya istana Sultan serta sejumlah indikator perekonomiannya yang sangat cemerlang. Tapi, kesenjangan sosial yang terjadi di Agrabah betul-betul membuat saya geleng-geleng kepala Ketika Sultan, Putri Jasmine dan Jafar bisa hidup bermewah-mewah di Istana, banyak warga Agrabah yang terpaksa harus mencuri biar bisa bertahan hidup seperti yang dilakukan oleh Aladdin.

Waktu kecil saya gak kepikiran sama sekali akan hal ini karena Jafar digambarkan sebagaimana tokoh antagonis lainnya yang gak good looking dan berwajah ‘kriminal’. Tidak seperti Aladdin yang digambarkan sebagaimana tokoh protagonis lainnya yang good looking dan berwajah ‘pahlawan’. Ketika sudah dewasa, saya jadi berpikir bahwa Jafar itu gak jahat sama sekali! Ia ingin jadi penguasa Agrabah karena Sultan gak becus jadi pemimpin!

Pastinya, Jafar bukanlah orang yang bodoh karena sejak semula ia dipercaya oleh Sultan untuk menduduki posisi Perdana Menteri. Jafar barangkali adalah salah satu orang terpintar di Agrabah yang pendidikannya cukup tinggi dan wawasannya sangat luas. Makanya ia bisa melihat kepemimpinan Sultan yang jadi amburadul setelah ditinggal mati istrinya, dan Jafar jadi gregetan dengan Sultan yang tidak mendengarkan nasihatnya sama sekali.

Sultan yang lebih mentingin urus Putri Jasmine alih-alih Agrabah

Barangkali Sultan sudah gak lagi mendengarkan nasihat Jafar karena ia lebih memprioritaskan putri semata wayangnya setelah istrinya meninggal sampai-sampai Putri Jasmine ia larang keluar dari Istana. Jangankan Putri Jasmine, Sultan saja barangkali sudah lama tidak keluar istana untuk melihat rakyatnya sehingga pemerintahannya jadi ‘Autopilot’ karena ia sibuk dengan urusan pribadinya.

Jafar berpikir, satu-satunya cara untuk menyelamatkan Agrabah adalah ia harus jadi pemimpin Agrabah menggantikan Sultan. Hanya saja, caranya salah. Alih-alih dengan menggunakan cara diplomatis, ia malah meminta bantuan Jin. Sayangnya, rencana Jafar digagalkan Aladdin sehingga ia jadi terlihat jahat di mata para penonton. Padahal mah orangnya baik. Sungguh, Jafar ini orang yang sangat malang!