Gak usah menyangkal, saya jamin, Titanic adalah salah satu film yang sudah kita saksikan berulang kali bukan? Pasalnya, sejak saya anak-anak, film ini selalu ditayangkan oleh televisi swasta dalam momen-momen tertentu seperti Hari Valentine, hari libur sekolah, hingga ditayangkan secara random pada malam minggu. Tak terhitung sudah berapa kali saya nonton film ini, hingga saya sadar, ada perbedaan besar saat nonton Titanic ketika saya masih anak-anak dan sudah dewasa kini.

Cinta segitiga di film Titanic

Sekitar 25 tahun yang lalu, saya hanya fokus pada kisah cinta segitiga antara Rose DeWitt (diperankan Kate Winslet), Jack Dawson (diperankan Leonardo DiCaprio) dan Caledon Hockley (diperankan Billy Zane). Saya termasuk orang yang nge-ship hubungan antara Rose dan Jack. Saya nge-ship hubungan mereka bukan karena mereka tokoh utamanya saja, tapi karena mereka saling jatuh cinta satu sama lain tanpa memandang status sosial yang jadi jarak bagi mereka. Bagi saya yang masih bocah ingusan, hal tersebut keren banget! Waktu itu, saya dan banyak cewek-cewek yang satu sekolah dengan saya juga mikirnya gitu. Semuanya berubah ketika saya nonton ulang film ini di tahun 2022.

Setelah 25 tahun berlalu, saya benar-benar sedih ketika nonton film ini. Bukan karena Jack yang harus mati biar Rose bisa hidup, tapi saya sedih karena lebih dari 1.000 nyawa manusia terpaksa meninggal dalam dekapan dingin Samudera Atlantik hanya karena faktor human error yang seharusnya bisa dihindari sedari awal. Thomas Andrews, sang pembuat kapal Titanic bahkan dengan sombongnya mengklaim, “Kapal ini tak akan tenggelam! Bahkan Tuhan pun tak bisa menenggelamkannya

Saat masih anak-anak, ayah saya, yang merupakan seorang kapten kapal kargo salah satu BUMN sering misuh-misuh karena Titanic tidak menyediakan sekoci yang cukup untuk menanggkut seluruh penumpang dan awak kapal yang ada pada kapal tersebut. Titanic hanya menyediakan sekoci yang cuma sanggup menangkut sepertiga dari keseluruhan penumpang dan awak kapalnya. Bahkan, blio berkata, jumlah sekoci yang harusnya disediakan Titanic jumlahnya dua kali lipat dari keseluruhan penumpang yang ia angkut.

Dulu saya cuma manggut-manggut doang ketika ayah saya misuh-misuh saat nonton Titanic. Sekarang, saya jadi lebih paham, terlebih setelah saya punya pengalaman bekerja di kantor konsultan lingkungan hidup dan kantor manajemen konstruksi beberapa tahun yang lalu. Segala sesuatu yang gak sesuai Standard Operating Procedure atau SOP pasti bikin celaka. Aturan yang dibuat itu gak sembarangan, bos! Aturan dibuat biar semua aman, semua senang!

Memang, Titanic tenggelam bukan karena jumlah sekoci yang kurang. Ia tenggelam karena menabrak gunung es. Tapi bayangkan, kalau saat itu Titanic punya jumlah sekoci yang cukup? Saya jamin jumlah orang yang selamat akan jauh lebih banyak!

Selain dari hal-hal teknis seperti yang saya sebutkan di atas, film Titanic juga cukup bikin saya sakit hati karena sebagian besar orang yang meninggal adalah para penumpang kelas tiga, yang notabene adalah orang miskin. Coba perhatikan, penumpang kelas satu malah didahulukan untuk naik ke dalam sekoci, hanya karena mereka membayar tiket lebih mahal dibandingkan penumpang kelas dua dan kelas tiga! Nyawa seseorang benar-benar dihargai dari seberapa mampu mereka membayar tiket sebuah kapal. Nyesek gak tuh?

Yang bikin nyesek lagi adalah, para penumpang kelas tiga adalah orang-orang asal Eropa yang semula berniat mencari kehidupan yang lebih baik di Benua Amerika dengan merantau disana. Alih-alih mendapat kehidupan yang lebih baik, mereka malah berpulang ke Yang Maha Kuasa.

Selain hal-hal di atas, yang bikin saya nyesek sekaligus kagum adalah Edward Smith (Bernard Hill). Edward Smith adalah kapten kapal Titanic yang memilih untuk tetap berdiri di ruang kemudi Titanic alih-alih menyelamatkan diri sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai seorang kapten kapal. Ayah saya yang merupakan seorang kapten kapal kerap kali berkata, jika kapal tenggelam, kapten adalah orang terakhir yang harus menyelamatkan diri karena ia harus mendahulukan awak kapal dan penumpangnya terlebih dahulu. Tanggungjawab seorang kapten begitu berat!

25 tahun yang lalu saya hanya fokus pada cinta segitiga antara Rose, Jack, dan Caledon karena wawasan saya tidaklah seluas saat ini. Namun, setelah dewasa, saya menyadari bahwa tenggelamnya Titanic bukanlah tragedi biasa.

Ribuan orang dari benua Eropa berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di Benua Amerika, namun alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mereka malah mati di tengah Samudera Atlantik. Apalagi, sebagian besar dari mereka yang meninggal adalah penumpang kelas tiga. Rasanya benar-benar nyesek banget!

Nonton ulang Titanic saat dewasa benar-benar membuat saya frustasi dan overthinking memikirkan hidup. Ini berbeda dengan 25 tahun yang lau saat saya bisa menikmati film ini tanpa dibuat frustasi dan overthinking karena saya fokus dengan kisah cinta di dalamnya. Sungguh, nonton Titanic saat anak-anak dan dewasa itu sensasinya beda banget!

“They said it was the ship of dream. And it really was.”