IMDb: 7,9/10 | Rating Saya: 9/10

Rated: SU | Genre: Drama, Family

Sutradara Hanung Bramantyo

Produser Frederica

Penulis Alim Sudio

Penulis skenario Alim Sudio

Didasarkan dari Miracle in Cell No. 7 oleh Lee Hwan-kyung

Pemeran Vino G. Bastian, Graciella Abigail, Indro Warkop, Tora Sudiro, Rigen Rakelna, Indra Jegel, Bryan Domani, Denny Sumargo, Mawar de Jongh 

Penata musik Purwacaraka

Sinematografer Yunus Pasolang

Penyunting Sentot Sahid

Perusahaan produksi Falcon Pictures

Tanggal rilis 8 September 2022

Running time 145 minutes | Country Indonesia

Language Indonesia

 

Saya adalah tipikal penggemar film yang lebih berkiblat ke film-film Hollywood alih-alih film Korea Selatan. Bukan karena film Korea Selatan tidak bagus, bukan. Saya suka dengan beberapa film Korea Selatan macam Hello Ghost (2010), Train to Busan (2016) dan Parasite (2022). Namun karena saya tumbuh dengan film dan serial televisi asal Hollywood, saya jadi lebih familiar dengan film dan serial televisi asal Hollywood karena film Korea Selatan kurang relate dengan saya.

Pun ketika Miracle in Cell No. 7 (2013) booming di tanah air, saya tidak menontonnya sama sekali. Saya baru tertarik dengan adaptasi versi Indonesinya, Miracle in Cell No. 7 (2022) setelah menyaksikan trailernya yang ternyata dibintangi oleh salah satu aktor terbaik Indonesia yang saya hormati, Vino G. Bastian.

Film-film Vino G. Bastian telah mengisi masa remaja saya, sebut saja 30 Hari Mencari Cinta (2004), Catatan Akhir Sekolah (2005), Realita, Cinta dan Rock'n Roll (2006), hingga Radit dan Jani (2008). Selain karena faktor kehadiran Vino G. Bastian, saya tertarik nonton film ini karena film ini disutradari Hanung Bramantyo yang hampir seluruh karyanya sudah saya tonton seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008), The Tarix Jabrix (2008), Doa yang Mengancam (2008), hingga Perahu Kertas (2012). Makanya saya gak ragu untuk nonton film tersebut. Simak ulasan saya berikut ini.

 

STORYLINE

Miracle in Cell No. 7 adalah film keluaran tahun 2022 buatan Indonesia yang diadaptasi dari film berjudul sama karya Lee Hwan-kyung. Film ini bercerita tentang seorang penjual balon difabel bernama Dodo Rozak (diperankan Vino G. Bastian) dan putrinya yang bernama Ika Kartika Rozak (diperankan Graciella Abigail). Dodo terpaksa membesarkan putrinya seorang diri karena istrinya, Juwita Rozak (diperankan Marsha Timothy) meninggal dunia tak lama setelah melahirkan Kartika.

Dodo dan Kartika

Dodo Rozak adalah tipikal ayah baik hati yang sangat sayang pada putrinya. Namun dunia ini berjalan tidak sebagaimana mestinya karena Dodo Rozak terpaksa harus menjalani hukuman mati setelah difitnah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan pada seorang gadis bernama Melati Bibisono (diperankan Makayla Rose).

Tentu saja Dodo bersikukuh bahwa ia tidak bersalah, namun posisi Dodo tidak menguntungkan sama sekali. Selain miskin, posisi Dodo tidak diuntungkan karena tidak ada bukti yang dapat menguntungkan posisi Dodo. Saksi mata yang pertama melihat jenazah Melati mendapati Dodo bertelanjang dada sertamemegang tongkat di sebelah jenazah Melati. Sudah begitu, Dodo tidak mampu merangkai kalimat secara sistematis sehingga ia tidak bisa menjelaskan kronologis kejadian sesungguhnya pada pihak berwajib.

Premis utama film ini mengingatkan saya pada film The Shawshank Redemption (1994), The Green Mile (1999) serta serial Prison Break (2005) dimana para tokoh utamanya difitnah telah melakukan tindakan pidana yang tidak dilakukannya sama sekali.

Di dalam penjara, Dodo ditempatkan pada sel nomor 7 dan seketika diperlakukan dengan sangat kasar oleh petugas lapas serta narapidana yang berada disana karena Dodo dianggap sebagai pelaku pemerkosaan yang menempati kasta terendah oleh narapiada penjara. Lebih rendah dan hina dibandingkan narapidana yang melakukan kasus perampokan maupun pembunuhan.

Di sel nomor 7, Dodo ditempatkan bersama Japra "Forman" Effendi (diperankan Indro Warkop), Zaki (diperankan Tora Sudiro), Yunus "Bewok" (diperankan Rigen Rakelna), Atmo "Gepeng" (diperankan Indra Jegel), dan Asrul "Bule" (diperankan Bryan Domani). Awalnya, Dodo hanya bisa menangis sepanjang waktu karena ia bersikukuh tidak bersalah dan sangat rindu dengan anaknya, namun akhirnya seluruh penghuni sel nomor 7 yang mulanya tidak suka dengan Dodo malah berbalik menaruh hormat padanya setelah Dodo menyelamatkan Japra dari upaya pembunuhan yang akan dilakukan Okto (diperankan Rifnu Wikana) pada Japra.

Sebagai balas budi, Japra langsung menyediakan makanan enak untuk Dodo dan berjanji akan mengabulkan apapun permintaan Dodo. Permintaan Dodo hanya satu, ia ingin bertemu dengan putrinya. Nah, Dodo ini persis seperti tokoh Ellis “Red” Redding (diperankan Morgan Freeman) pada film The Shawshank Redemption (1994) yang bisa menyediakan apa saja di penjara pada narapidana manapun dengan imbalan yang pantas. Japra dibantu narapidana lainnya berhasil menyelundupkan Kartika ke sel nomor 7 supaya mereka berdua bisa bertemu.

“Kok bisa?”

Ya jelas bisa! Gayus Tambunan dan Setya Novanto aja bisa keluar dari sel, apalagi cuma anak kecil?

Pertemuan antara Dodo dan Kartika tentu saja mengundang haru, termasuk oleh narapidana penghuni sel nomor 7. Zaki pun turut menangis karena ia menjalani hukuman penjara dengan meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua. Japra yang terkesan sangar pun luluh dengan keberadaan seorang gadis kecil seperti Kartika.

Sayangnya, penyelundupan Kartika ke sel nomor 7 ketahuan oleh Kepala Lapas yang bernama Hendro (diperankan Denny Sumargo). Kartika dikembalikan ke panti asuhan, sedangkan Dodo dihukum pada sel isolasi.

Hendro bukanlah tipikal Kepala Lapas yang korup. Ia merupakan tipikal Kepala Lapas jujur seperti Paul Edgecomb (diperankan Tom Hanks) pada film The Green Mile (1999). Terlebih, ia pernah merasakan bagaimana sakitnya kehilangan seorang putri karena putrinya telah wafat beberapa waktu.

Pada saat yang bersamaan, Okto nekad membakar dapur penjara karena ia dendam pada Hendro setelah ia tidak diizinkan keluar dari penjara untuk menjenguk ayahnya yang tengah sakit keras. Ia merasa diperlakukan tidak adil karena ia melihat Kartika diperbolehkan mengunjungi Dodo di selnya. Baku hantam pun tidak dapat dihindari dan berakhir dengan Henro yang pingsan. Seperti yang sudah bisa diduga, Hendro pun diselamatkan oleh Dodo.

Sama seperti Japra, Hendro pun bertekad balas budi pada Dodo dengan turut menyelundupkan Kartika secara berkala ke sel nomor 7 supaya mereka bisa bertemu satu sama lain. Tentunya dengan diam-diam. Hendro bahkan mengadopsi Kartika supaya ia dan istrinya bisa mengisi lubang yang ditinggalkan setelah putri mereka meninggal dunia.

Hendro bahkan berupaya membantu Dodo dengan mengajukan banding supaya Dodo tidak dijatuhi hukuman mati. Namun hal ini sulit untuk dilakukan karena ayah mendiang Melati, William Wibisono (diperankan Iedil Dzuhrie Alaudin) adalah seorang petinggi partai yang sangat dendam pada Dodo sehingga jalan Hendro untuk mengajukan banding sulit dilakukan sekalipun Hendro punya bukti yang bisa meringankan Dodo.

Ok, review storylinenya cukup sampai disini biar gak spoiler ya.

 

KESIMPULAN

Ketika nonton film ini, puluhan orang di bioskop pada menangis. Tidak sekadar menangis, bahkan sampai menangis dengan sesenggukan. Pertama kalinya dalam hidup, saya menyaksikan puluhan penonton bioskop secara serentak menangis sesenggukan. Pemandangan yang hanya saya saksikan pada upacara pemakaman seseorang saja, tidak di dalam bioskop.

Vino, Graciella dan Mawar de Jongh (Foto: Instagram Vino G. Bastian)

Akting Vino G. Bastian pada film ini pun sangatlah keren! Ia bisa memerankan peran sebagai seorang pria difabel yang posturnya agak bungkuk serta cara berbicaranya yang tidak seperti manusia normal pada umumnya. Vino membuktikan bahwa ia adalah aktor serba bisa, bukan spesialis peran-peran alpha male tampan seperti perannya pada film Catatan Akhir Sekolah (2005), Realita, Cinta dan Rock'n Roll (2006), hingga Radit dan Jani (2008).

Kartika dewasa di persidangan

Akting Graciella Abigail sebagai Kartika kecil juga keren banget sih. Masih sekecil itu aktingnya bagus banget, saya rasa kalau sudah dewasa bisa jadi peenerus Dian Sastro atau Pevita Pearce saking jagonya. Akting Mawar Eva de Jongh di persidangan sebagai Kartika dewasa juga keren banget sih, kayak pidato Al Pacino di film Scent of a Woman (1991). Demikian juga akting Tora Sudiro, Indro Warkop, Rigen dan Denny Sumargo juga keren. Tadinya agak skeptis karena mereka kan spesialisasinya di film komedi saja

MeskiPun begitu, ada kekurangan film ini yang menurut saya cukup mengganggu, seperti kesan penjara yang gak ada dark-darknya, tidak seperti The Shawshank Redemption (1991) maupun The Green Mile (1999). Seharusnya lebih banyak adegan kekerasan ala penjara seperti dua film tersebut. Namun mengingat film ini ditujukan untuk anak-anak, jadi ya dibuat dengan lebih ceria. Gak ada dark-darknya sama sekali. Malah humornya banyak banget yang membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Selain itu, adegan balon udara di akhir film ini pun agak tidak masuk akal.

Kesimpulan film ini intinya satu: Ada lebih banyak penjahat di balik jeruji besi alih-alih di dalam jeruji besi karena banyak dari mereka yang masuk penjara. Ah, tidak lupa, tweet saya pun dinotice langsung oleh Vino G. Bastian! Bangga!