IMDb: 7,3/10 | Rating
Saya: 8/10
Rated: R | Genre: Action,
Adventure, Drama
Directed by Clint Eastwood
Screenplay by Iris Yamashita
Story by Iris Yamashita, Paul Haggis
Based on Letters from Commander in Chief by Tadamichi Kuribayashi
Produced by Clint Eastwood, Robert Lorenz, Steven
Spielberg
Starring Ken Watanabe, Kazunari Ninomiya, Tsuyoshi
Ihara, Ryō Kase, Shidō Nakamura
Cinematography Tom Stern
Edited by Joel Cox, Gary D. Roach
Music by Kyle Eastwood, Michael Stevens
Production companies DreamWorks Pictures, Malpaso
Productions, Amblin Entertainment
Distributed by Warner Bros. Pictures
Release date 9 December 2006 (Japan), 20 December 2006
(United States)
Running time 140 minutes | Country United
States
Language English | Budget $19 million | Box Office $68,7
million
Film-film yang berseting pada Perang
Dunia I dan Perang Dunia II dari dulu memang tidak pernah ada habisnya. Sebut
saja Saving Private Ryan (1998), Pearl Harbor (2001), Hacksaw Ridge
(2016), Dunkirk (2017), dan 1917 (2019) tidak
pernah bikin saya kecewa sebagai penonton.
Tapi kan bosan kalau hanya melihat
sudut pandang sebuah peperangan dari kelompok yang menang? Dalam hal ini,
Amerika Serikat dan Sekutu. Nah, kalau mau lihat sudut pandang kelompok yang
kalah, dalam hal ini Jepang, maka harus coba nonton film ini. Simak ulasannya
berikut ini.
STORYLINE
Letters from Iwo Jima adalah film keluaran tahun 2006 buatan Amerika Serikat yang bercerita tentang Pertempuran Iwo Jima. Sesuai namanya, Pertempuran Iwo Jima terjadi di sebuah pulau bernama Iwo Jima. Pulau Iwo Jima adalah salah satu pulau terluar Jepang. Pada Perang Dunia II, Amerika Serikat berusaha menaklukkan pulau ini supaya mereka bisa masuk ke dataran utama Jepang. Tentu saja Jepang berusaha mempertahankan pulau ini mati-matian.
Sama seperti film Titanic (1997), film
ini diawali dengan para arkeolog Jepang pada masa kini yang sedang menggali
terowongan di Pulau Iwo Jima. Di sana, mereka menemukan kumpulan surat yang
ditulis oleh para tentara Jepang yang belum sempat terkirimkan untuk keluarga
mereka, dan seketika film langsung melesat pada tahun 1944.
Kalau kamu berharap film ini seperti
film Perang Dunia II lainnya seperti Pearl Harbor (2001), Hacksaw Ridge
(2016), Dunkirk (2017), dan 1917 (2019), kamu
pasti akan kecewa. Pasalnya, di film ini tidak begitu banyak adegan
tembak-tembakan jegar-jegernya. Film ini fokus pada sisi humanis dari
tentara Jepang yang sedang berperang.
Saigo |
Dari prajurit level rendah hingga
tingkatan Jenderal, punya kisahnya sendiri-sendiri yang serupa, mereka rindu
pada keluarganya di rumah! Ini diperlihatkan oleh salah satu prajurit bernama
Saigo (diperankan Kazunari Ninomiya), seorang tukang roti yang terpaksa ikut
Perang Dunia II karena negaranya telah menyuruhnya untuk berperang. Ia meninggalkan
istrinya yang saat itu masih hamil. Hingga Perang Dunia II usai, ia tidak
sempat bertemu dengan putrinya sama sekali.
Jenderal Tadamichi Kurabayashi |
Ada juga kisah Jenderal Tadamichi
Kuribayashi (diperankan Ken Watanabe) yang sengaja dikirimkan Pemerintah Jepang
untuk mengambil alih pimpinan di Pulau Iwo Jima. Seperti film-film Ken Watanabe
yang sudah saya tonton, perannya sebagai Jenderal Kuribayashi ini memang
seperti Ken Watanabe yang biasanya, yakni bapak-bapak Jepang baik hati, ramah,
dan tidak sombong. Sama seperti perannya di Memoirs of
Geisha (2005) atau Godzilla (2014).
Di film ini, Jenderal Kuribayashi telah
menyelamatkan Saigo yang tengah dihukum atasannya karena berperilaku tidak
patriotik setelah kedapatan mengeluh sepanjang waktu. Jenderal Kuribayashi
memperlihatkan sikap kesatria lainnya dengan selalu berada di depan alih-alih
berada di belakang layar dalam Pertempuran Iwo Jima. Sejak awal, Jenderal Kuribayashi
tidak banyak bacot patriotik pada pasukannya. Ia berkata jujur sedari awal
bahwa mereka harus mempertahankan Pulau Iwo Jima meskipun seluruh tentara
Jepang yang berada di sana harus mati, baik karena serangan tentara Amerika
maupun karena serangan penyakit atau kelaparan sekalipun.
Sejak dulu, Jepang dikenal dengan jiwa
budo dan bushidonya yang telah terpatri dalam sanubari bangsa Jepang selama
berabad-abad. Saya sendiri telah merasakannya saat berlatih beladiri karate dengan
orang Jepang secara langsung. Alih-alih mengajari saya tentang cara memukul dan
menendang lawan dengan baik dan benar, beliau malah mengajari saya caranya
menyapu dan mengepel dengan baik dan benar supaya jiwa budo dan bushido
terpatri di sanubari saya dan para praktisi karate yang beliau ajarkan. Jepang
memang beda!
Film ini memperlihatkan semangat juang
orang Jepang yang sangat luar biasa. Sekalipun kalah, mereka memilih untuk
bunuh diri untuk menebus rasa malu. Pada era modern, pejabat Jepang yang
kedapatan korupsi atau tidak amanah memang tidak bunuh diri, tapi meminta maaf
sembari mengundurkan diri dari jabatannya. Jepang memang beda!
Yang bikin film ini istimewa adalah
film ini betul-betul menunjukkan sisi humanis dari tentara Jepang yang terkenal
sangat kejam. Sebagai negara yang dijajah oleh Jepang semasa Perang Dunia II,
saya diajarkan guru sejarah saya sedari SD bahwa Jepang itu sangatlah tidak
berprikemanusiaan ketika menjajah Indonesia. Banyak gadis Indonesia dilecehkan
Jepang serta banyak orang Indonesia dibunuh ketika tidak menuruti perintah
Jepang. Tapi film ini beda.
Kita bisa melihat bahwa ada sejumlah
tentara Jepang yang sebetulnya tidak mau ikut perang sama sekali seperti Saigo.
Ia hanyalah seorang tukang roti yang terpaksa ikut perang. Ia terpaksa
meninggalkan istrinya yang lagi hamil hanya karena negaranya menyuruhnya untuk
ikut perang. Ia bahkan tidak cakap untuk menggunakan senjata api karena ia memang
terpaksa jadi tentara Jepang. Clint Eastwood sebagai sutradara film ini telah
berhasil mengangkat sisi humanis tentara Jepang yang selama ini digambarkan
sangat buruk oleh Amerika hanya karena mereka keluar sebagai pemenang Perang
Dunia II.
Selain mengangkat sisi humanis tentara
Jepang, film ini pun menyampaikan pesan bahwa perang adalah tindakan sia-sia.
Siapapun yang menang, tetap rugi juga. Amerika dan Sekutu memang memenangkan
Perang Dunia II, tapi dengan mengorbankan uang yang tidak sedikit. Ada jutaan
prajurit yang gugur dalam peperangan tersebut. Ada jutaan istri kehilangan
suami. Ada jutaan anak kehilangan ayah. Ada jutaan orang tua kehilangan
anaknya.
Jenderal Kuribayashi pun sempat berpikiran
seperti itu. Sebagai orang yang sempat mengenyam pendidikan di Amerika Serikat
sebelum pecahnya Perang Dunia II ia sempat ditanyai oleh temannya di Amerika. “Jika
suatu saat kita perang gimana?”
Jenderal Kuribayashi dengan latang
menjawab: “Jika kedua negara berperang, ia tidak akan segan-segan membunuh
temannya sendiri karena ia harus berjuang demi negaranya sendiri alih-alih
memikirkan hubungan pertemannnya.”
Clint Eastwood disini telah
menggambarkan sisi kelam dari dunia militer. Bahwa setiap prajurit, mulai dari
prajurit paling rendah sampai tingkat jenderal harus mengesampaingkan emosi
pribadinya dan harus berjuang demi negaranya sampai titik darah penghabisan.
Sebaliknya, mereka didoktrin untuk tunduk pada atasan dan pada negara di atas
segalanya.
Padahal, baik tentara Amerika maupun
Jepang, sama-sama punya sisi emosional yang gak bisa dihilangkan. Di film ini
terdapat salah satu adegan dimana tentara Jepang menangkap salah satu tentara
Amerika dan terdapat surat dari ibu kandungnya yang sangat indah. Tentara
Jepang yang membaca surat itu sadar bahwa pada dasarnya manusia bukanlah makhluk
yang bisa menghilangkan emosinya begitu saja demi bangsa dan negaranya. Manusia
bukanlah robot.
REVIEW
Meskipun film ini buatan Amerika
Serikat, tapi hampir seluruh adegan film ini menggunakan bahasa Jepang sebagai
dialog utamanya. Film ini pun sama seperti film Jepang yang sering saya tonton,
punya alur lambat banget. Beda dengan film Hollywood yang alurnya cepat dan
mengandalkan adegan tembak-tembakan serta ledakan-ledakan yang memanjakan mata.
Bagi yang tidak terbiasa nonton film Jepang pasti ngantuk. Saya saja butuh
waktu dua hari untuk nonton film ini karena alurnya lambat dan saya punya
banyak kesibukan selain nonton film.
Kualitas akting Ken Watanabe disini pun
memang gak kaleng-kaleng. Film ini memang fokusnya pada Jenderal Kuribayashi
karena tokoh-tokoh lainnya tidak ditampilkan sesering dirinya. Memang, kisah
keluarga Saigo banyak ditampilkan, tapi jujur saja, sebagai penonton fokus saya
lebih pada Ken Wanabe karena ia adalah aktor Jepang paling populer yang saya
sukai. Pasalnya ia sering berperan sebagai orang Jepang baik hati dalam
film-film Hollywood maupun film-film Jepang yang telah saya tonton sejak saya
anak-anak.
Overall, film ini sangat mudah
dinikmati oleh siapapun yang menontonnya karena ceritanya mudah dicerna dengan
ending yang bisa bikin sedih. Film ini pun dianugerai Oscar untuk kategori Best
Achievement in Sound Editing. Film ini pun sempat dapat nominasi Oscar untuk
kategori lain seperti Best Motion Picture of the Year, Best Achievement in
Directing, serta Best Writing, Original Screenplay, tapi film ini hanya
memenangkan satu kategori saja, yakni Best Achievement in Sound Editing.
0 Comments