Secara resmi, pandemi Covid-19 telah ditetapkan World Health Organization (WHO) pada bulan Maret 2020. Sejak saat itu, keributan terjadi di tengah masyarakat global. Ada yang panik, ada yang menganggapnya sebagai virus biasa dan tak berbahaya, hingga menganggap Covid-19 tak lebih sebagai konspirasi elite global untuk menjalankan agenda The Great Reset 2030.

Yang panik, langsung memborong habis masker, hand sanitizer, suplemen multivitamin, buru-buru vaksin, hingga parno untuk berinteraksi dengan orang lain. Yang menganggapnya sebagai virus biasa dan tak berbahaya, tetap menjalankan aktivitas seperti biasanya. Bedanya hanya pakai masker saja dan melaksanakan program vaksinasi. Yang menganggap Covid-19 sebagai konspirasi elite global, tentu akan mengabaikan protokol kesehatan bahkan menolak vaksinasi.

Baca tulisan saya berikut tentang Covid-19 di Kumparan: Pengalaman Saya Bekerja di Rumah Sakit saat Pandemi COVID-19

Selama dua tahun pandemi, saya adalah salah satu orang yang punya privilege untuk tidak terkena Covid-19 sama sekali karena sejak SMP, saya aktif menggeluti cabang olahraga karate, bersepeda, berlari, hingga angkat beban gym. Saya juga cukup menjaga asupan makanan dengan tidak mengkonsumsi junk food secara berlebihan. Saya juga sudah melakukan vaksinasi sebanyak dua kali dan satu kali vaksinasi booster. Mungkin itu salah satu alasan kenapa saya tidak terkena Covid-19 sama sekali.

Disclaimer: Mungkin saya memang sudah pernah kena namun masuk pada kategori orang tanpa gejala (OTG), tapi tidak ketahuan sama sekali karena saya belum pernah melakukan yang namanya rapid test, swab antigen, hingga swab PCR sama sekali.

Akhirnya terkena Covid-19 juga

Pada hari Minggu, 6 November 2022 saya merasa tenggorokan saya agak kurang enak. Asumsi saya, karena saya terlalu banyak minyak goreng yang saya gunakan untuk menggoreng tempe. Saya sendiri tidak ambil pusing karena hal sepele semacam itu cukup sering terjadi sekalipun pada orang paling sehat seperti Ade Rai sekalipun. Saya jamin.

Sialnya, pada Senin pagi, saya mengalami demam, nyeri otot, dan sakit kepala. Bisa dikatakan, seharian itu saya tidur seharian layaknya bayi. Terlebih, cuaca saat itu hujan deras seharian, sehingga saya memutuskan untuk tidur.

Keesokan harinya, saya menguhubungi Puskesmas terdekat dari rumah saya. Kebetulan, dokter yang berjaga di sana adalah teman satu kelas saya saat SMA, sehingga saya langsung menghubungi beliau dan saya dijadwalkan untuk melakukan Swab PCR keesokan harinya.

Pengalaman pertama Swab PCR terasa sangat aneh. Tenaga kesehatan yang melakukan Swab PCR pada saya melakukan Swab PCR lewat lubang hidung dan mulut saya. Kalau bisa memilih, saya lebih suka disuntik menggunakan jarum suntik atau jarum donor darah dibandingkan Swab PCR karena sensasinya sungguh tidak nyaman sama sekali. Sensasinya mirip seperti hidung atau mulut yang kemasukan air saat berenang di kolam renang. Sama sekali tidak enak.

Setelah melakukan Swab PCR, saya tidak tenang karena khawatir positif Covid-19. Saya yakin jikalau benar-benar positif, saya tidak akan meninggal sama sekali karena saya tidak punya penyakit bawaan atau komorbid, saya aktif berolahraga dan jaga pola makan serta sudah melakukan vaksinasi booster. Saya lebih khawatir karena harus isolasi mandiri selama 10 hari dan terancam tidak ada pemasukan sama sekali karena saat ini saya adalah pekerja harian yang upahnya dibayar secara harian. Terlebih, Swab PCR yang dilakukan di Puskesmas hasilnya jauh lebih lama dibandingkan Swab PCR atau Swab antigen yang dilakukan di laboratorium berbayar, makanya selama dua hari hampir setiap jam saya melakukan pengecekan Aplikasi PeduliLindungi.

Notifikasi dari PeduliLindungi

Kabar burukpun akhirnya datang karena pada hari Kamis pagi, muncul notifikasi dari Aplikasi PeduliLindungi yang menyatakan bahwa saya terkonfirmasi positif Covid-19. Dokter Puskesmas yang bertugas pun chat WhatsApp pada saya pada malam harinya dan menyatakan bahwa saya terkonfirmasi positif Covid-19. Saya disarankan untuk isolasi mandiri selama sepuluh hari.

Obat dan vitamin yang diberikan Puskesmas

Keesokan harinya, salah satu tenaga kesehatan Puskesmas pun menghubungi saya. Saya diberikan satu paket multivitamin, vitamin D3, serta obat batuk yang harus saya konsumsi. Batuk yang saya alami tidaklah parah sama sekali, hanya membuat gatal tenggorokan, tapi ya karena dokter yang bertugas memberikan obat tersebut, saya konsumsi obat dan seluruh vitamin yang diberikan sampai habis.

Selama isolasi mandiri, saya melakukan banyak kegiatan bermanfaat seperti bermain gim, menonton film, hingga tetap berolahraga di rumah dengan peralatan olahraga yang saya miliki. Kenapa tetap berolaharaga? Tentu saja alasannya untuk menjaga massa otot saya tidak hilang selama 10 hari isolasi mandiri. Selain itu, demam yang saya alami pun hanya terjadi pada hari pertama, satu hari sebelum melakukan Swab PCR. Sejauhnya sudah tidak ada gejala sama sekali. Saya juga tetap pergi ke warteg terdekat dengan menggunakan masker untuk membeli makanan karena stok makanan di rumah saya tidak ada sama sekali.

Sejujurnya, saya merasa gagal menjaga kesehatan karena terkonfirmasi positif Covid-19. Pasalnya, selama pandemi saya aktif melakukan olahraga seperti bersepeda, berlari, hingga angkat beban di gym supaya tidak terkena Covid-19. Saya juga menjaga asupan makanan saya sebersih mungkin serta menggunakan masker kemanapun saya pergi, termasuk saat bekerja di kantor, tapi akhirnya saya terkena Covid-19 juga.

Tapi di sisi lain, saya yakin gejala ringan yang saya alami adalah buat manis dari perilaku saya yang tetap aktif berolahraga, menjaga asupan makanan serta vaksinasi yang saya lakukan karena saya hanya mengalami demam selama satu hari saja. Saya juga tidak mengalami yang namanya long covid, setidaknya ini dilihat dari kemampuan saya berlari 10 kilometer dengan waktu tempuh di bawah satu jam tepat satu hari setelah selesai isolasi mandiri.

Sebagai penutup, izinkan saya berkata kasar, “COVID ANJING!