Ilustrasi Malin Kundang (Sumber gambar: resourceful-parenting.com)

Siapa yang belum pernah mendengar cerita Malin Kundang? Kayaknya sih hampir semua orang sudah pernah mengengar kisah Malin Kundang. Iya kan?

Malin Kundang adalah salah satu cerita rakyat paling legendaris Indonesia yang bercerita tentang seorang anak durhaka yang kemudian dikutuk oleh ibunya menjadi batu. Cerita Malin Kundang banyak dikisahkan pada saya oleh kedua orang tua saya, sanak saudara, hingga guru-guru saya di sekolah. Industri hiburan tanah air pun gak mau ketinggalan mengadaptasi kisah tersebut jadi sinetron.

Saya tahu maksud generasi tua yang menceritakan kisah Malin Kundang pada generasi muda seperti saya, yakni supaya generasi muda tidak melupakan jasa kedua orang tua mereka, terutama ibu mereka yang telah mengandung dan membersarkan mereka. Tapi bagi saya, cerita Malin Kundang nggak relate lagi di zaman sekarang. Kenapa? Simak ulasan saya berikut ini.

Pertama, sangat wajar jika Malin Kundang mengacuhkan ibu-ibu random yang tiba-tiba mengklaim sebagai ibu kandungnya. Kalaupun benar ibu-ibu tersebut adalah ibu kandungnya, pasti sosoknya sudah berubah drastis sampai Malin Kundang tidak mengenalinya lagi. Makanya Malin Kundang gak mengakui ibu-ibu tersebut sebagai ibu kandungnya. Logis kan?

Perlu diingat, kisah Malin Kundang terjadi jauh sebelum adanya teknologi fotografi dan tes DNA seperti sekarang. Kalau terjadi di zaman sekarang, ibu-ibu tersebut bisa menunjukkan fotonya bersama Malin Kundang saat kecil sebagai barang bukti. Malin Kundang juga bisa ngajakin ibu-ibu tersebut untuk tes DNA supaya gak terjadi kegaduhan.

Selain itu, bisa saja ibu-ibu tersebut adalah ibu-ibu random yang berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan dengan mengklaim sebagai ibu kandung Malin Kundang supaya bisa menikmati harta Malin Kundang bukan? Makanya Malin Kundang bersikap hati-hati.

Kedua, di zaman sekarang menurut saya jauh lebih banyak orang tua yang tidak mengakui keberadaan anak kandungnya dibandingkan anak kandung yang tidak mengakui keberadaan orang tuanya. Ada banyak kisah orang tua yang meninggalkan anaknya begitu saja karena gak mau direpotkan atau anak tersebut merupakan anak hasil hubungan gelap, atau karena alasan lainnya. Coba aja Googling, banyak kasus orang tua gak mengakui anaknya sebagai anak kandungnya dengan berbagai macam alasan. ~wqwqwq

Di zaman modern seperti sekarang, jumlah orang tua durhaka lebih banyak dibandingkan jumlah orang tua  durhaka pada zaman dahulu. Coba hitung, ada berapa banyak anak yang karir serta kehidupan pribadinya tak bisa berkembang karena ada orang tua yang memaksa anaknya untuk mengorbankan kehidupannya sendiri dengan dalih “berbakti” atau “sayang orang tua”? Contohnya, anak yang masih dalam usia produktif terpaksa tak bisa bekerja atau tak bisa merantau karena orang tua minta didampingi terus menerus oleh sang anak.

Baca tulisan saya di Mojok: Menyelisik Kebiasaan Orang Indonesia yang Masih Tinggal dengan Orang Tua ketika Dewasa

Ketiga, mengutuk seseorang jadi batu itu gak masuk akal bosque! Kalau pakai alasan “Doa orang yang dizalami dikabulkan Tuhan” atau “Doa ibu menembus langit”, bagi saya justru itu gak logis sama sekali. Kalau benar bisa kejadian, saat dizalimi bangsa Eropa pada era Kolonial harusnya bangsa ini tinggal berdoa saja kan biar bebas dari kolonialisme? Kalau benar bisa seperti itu, harusnya anak muda korban PHK bisa cepat dapat kerja lagi hanya karena didoakan ibunya kan? Mohon maaf bukannya saya gak percaya kekuatan doa, tapi saya memang skeptis untuk hal-hal seperti itu.

Baca tulisan saya di Mojok: Alasan Saya Skeptis dengan Ilmu Hitam

Di zaman sekarang ilmu psikologi berkembang dengan sangat pesat dibandingkan ratusan tahun yang lalu. Saya pun sadar pola parenting orang tua di zaman Kolonial bisa dikatakan sangat toxic dibandingkan pola parenting orang tua zaman sekarang yang sudah dibekali ilmu parenting. Bisa saja ibu kandung Malin Kundang ini termasuk dalam orang tua toxic sehingga Malin Kundang gak mau mengakui ibu-ibu tersebut sebagai ibu kandungnya.

Sebelum memutuskan untuk merantau dari tanah kelahirannya, Malin Kundang sempat berselisih dengan ibu kandungnya. Ibu kandungnya gak mau Malin Kundang merantau karena gak mau ditinggalkan sendirian begitu saja. Tapi Malin Kundang gak mau ambil pusing dan memutuskan untuk merantau karena kalau menetap di tanah kelahirannya, ia gak akan bisa berkembang. Eh begitu sukses merantau tiba-tiba diakui sebagai anaknya. ~wqwqwq

Jadi ya, untuk orang tua, para guru maupun para psikolog, saya harap kalian berhenti untuk menceritakan kisah Malin Kundang pada generasi muda meskipun niatnya baik, supaya mereka tidak durhaka pada orang tuanya.

Kalau mau, coba modifikasi kisah Malin Kundang supaya relate dengan kehidupan generasi muda zaman sekarang yang punya pengetahuan lebih banyak dibandingkan kedua orang tuanya seiring perkembangan teknologi informasi yang kian hari kian canggih. Bukannya apa-apa, saya yakin ada banyak generasi muda yang mempertanyakan kelogisan kisah Malin Kundang karena gak adaptif dengan perkembangan zaman. Tahu sendiri generasi muda sekarang lebih kritis?

Kisah fiksi macam superhero Marvel dan DC aja terus mengikuti perkembangan zaman kok biar bisa relate dengan generasi muda, mulai dari latar belakang kisahnya yang dibuat pada zaman sekarang, hingga permasalahan sosio ekonomi yang mengikuti dunia nyata saat ini. Demikian juga James Bond. Storylinenya mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga teknologi yang digunakannya pada storylinenya. Masa kisah Malin Kundang gak bisa adaptif seperti itu?