Sejak
satu minggu yang lalu saya menonton ulang franchise film Fast and Furious dari
awal hingga film terakhir, termasuk spin-offnya, Fast & Furious: Hobbs
& Shaw (2019) untuk mengisi waktu luang sekaligus mempersiapkan diri
sebelum nonton film Faxt X (2023) entah itu di bioskop atau nanti ketika sudah
muncul di platform streaming.
Film
ini mengisahkan lika-liku anak muda Amerika yang pada mulanya demen balapan
liar pakai mobil bertransformasi melawan hukum dan akhirnya malah diminta untuk
menyelamatkan dunia menggunakan kemampuan mengemudinya yang sungguh di luar
nalar.
Setelah
nonton ulang seluruh film Fast and Furious, ada sejumlah hal yang bikin saya
cemas. Padahal waktu saya pertama kali nonton film ini 20 tahun yang lalu, saya
enjoy-enjoy aja tanpa overthinking sama sekali. Berikut ini sejumlah hal yang
bikin saya overthinking.
Saya
gak ngerti otomotif sama sekali!
Kalau
ada yang tanya apa ciri khas franchise film Fast and Furious, tentu saja adalah
otomotif. Seluruh tokoh di dalamnya, baik pria maupun wanita semuanya pada
ngerti otomotif. Ketika ditanya mesin mobil apa yang cocok untuk balapan di
trek lurus, mereka pada bisa jawab. Ketika ditanya merk ban apa yang cocok
untuk dipakai ngedrift, mereka juga pada bisa jawab.
Gak
cuma pintar teori doang, para tokoh di dalamnya pun piawai mempraktikkan ilmunya,
lho. Ketika mobil yang mereka gunakan ada masalah, mereka akan memperbaiki
mobil mereka seorang diri tanpa bantuan mekanik sama sekali.
Beda
jauh dengan saya yang gak ngerti otomotif sama sekali, baik teori maupun
praktiknya. Sampai sekarang saja, sekadar ganti oli sepeda motor saja saya
belum bisa melakukannya seorang diri. Saya harus minta bantuan bengkel
terdekat! ~wqwqwqwq
Skill
mengemudi saya ternyata biasa saja
Saya
pertama kali nonton franchise Fast and Furious saat saya masih duduk di bangku
SD. Saat itu, ekspektasi saya, “Kalau udah punya SIM, pasti bisa nih ngebut
kayak Dominic Toretto. Gak usah kebut-kebuta kabur dari polisi atau penjahat
deh, minimal di jalan tol bisa ngebut sat set sat set dari Bandung sampai
Jakarta!”
Ketika
film ketiga franchise ini muncul, yakni The Fast and the Furious: Tokyo Drift, saya
juga kepikiran, “Nanti belajar ngedrift ah! Di film ini aja anak SMA bisa
belajar ngedrift. Saya juga harus bisa kayak gitu!”
Kenyataannya,
setelah punya SIM, saya gak berani mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas 80
km/jam di jalan tol karena berbagai alasan, mulai dari takut nabrak pengendara
lain, takut ban tiba-tiba overheat dan bikin celaka, hingga takut kena tilang elektronik kalau
ngebut di atas 80 km/jam! ~wqwqwq
Saat
saya mau belajar drift pun, saya terpaksa harus mengurungkan niat saya karena
ternyata, biaya kursus drifting yang saya temui sangatlah mahal! Biaya
kursusnya bisa menyentuh angka UMR Kota Bandung untuk sekali datang! Jadinya
saya cuma bisa planga- plongo gigit jari aja nontonin mereka yang punya biaya
untuk belajar drifting. ~wqwqwq
Belum
ada satu mobil pun yang mampu saya beli
Sebagai
orang yang tumbuh dengan menonton franchise film Fast and Furious, dari kecil
saya ngecengin mobil-mobil di dalamnya, mulai dari Toyota Supra, Nissan Skyline,
dan Mitsubishi Lancer Evo yang dipakai Brian O'Conner, Dodge Charger yang
dipakai Dominic Toretto, Ford Mustang yang dipakai Sean Boswell, hingga Maserati
Ghibli yang dipakai Decker Shaw.
Saat
itu saya mikir, “Nanti kalau lulus kuliah dan sudah bekerja, beli salah satu
mobil-mobil tersebut, ah! Kalau gak kebeli, minimal punya mobil dulu deh meski
beli sekon!”
Kenyataannya,
setelah lulus kuliah dan bekerja, mobil-mobil tersebut belum mampu saya beli.
Mobil city car sekon yang semula ingin saya miliki pun masih jauh untuk saya
miliki. Alih-alih Toyota Supra, saat ini saya baru punya Honda Supra X 100
doang! ~wqwqwq
Doakan
saya bisa punya penghasilan besar ya, Jamaah Mojokiyah, biar saya bisa segera beli
mobil-mobil yang saya sebutkan di atas! Tolong banget ini mah, ya!
Belum
punya keluarga seperti Dominic Toretto
Selain
dibuat kagum dengan aksi kebut-kebutannya, saya juga dibuat kagum dengan nilai
kekeluargaan yang dimiliki Dominic Toretto sejak film pertama Fast and Furious.
Sesibuk apun, Toretto selalu meluangkan waktu bersama keluarganya. Yang
dimaksud keluarga di sini bukan keluarga satu darah doang, tapi teman-teman
terdekat Toretto yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri sampai-sampai
blio bilang, “Money will come and go. We all know that. The most important
thing in life will always be the people in this room. Right here, right now”
Jujur
saja, saya iri dengan orang-orang yang Toretto sebut sebagai keluarga di film
Fast and Furious. Blio begitu loyal pada orang yang ia sebut sebagai keluarga
dalam film ini. Gak cuma sekadar rutin traktir makan doang, Toretto bahkan
berani mempertaruhkan nyawanya demi mereka semua.
Nah,
itulah isi kepala saya setelah nonton franchise Fast and Furious. Saya harus
sadar bahwa yang saya tonton hanyalah film, dan saya harus menerima kenyataan
bahwa segala sesuatunya tidak seindah apa yang saya tonton. Tapi gak ada
salahnya bermimpi dan berharap bukan? Kita ambil hal-hal positif dari para
tokoh fiksi tersebut biar kita bisa punya hidup yang lebih baik di dunia nyata?
0 Comments