Trilogy
Spider-Man Sam Raimi adalah film yang mengisi masa kecil saya. Saya ingat
ketika saya kelas 4 SD ketika Spider-Man (2002) dan trilogy tersebut tamat saat
saya duduk di kelas 3 SMP. Trilogy tersebut sangatlah ikonik meskipun karakter Spider-Man
selanjutnya diperankan oleh Andrew Garfield dalam dua film The Amazing Spider-Man
garapan Marc Web dan Tom Holland dalam film-film Marvel Cinematic Universe.
Saya bahkan gak bosan untuk menonton ulang trilogy tersebut hingga saat ini.
Baca
tulisan saya di Mojok: Tobey
Maguire Berperan Epik di Film Spider-Man Terbaik. No Debat, No Kecot!
Salah
satu villain yang muncul dalam Trilogy Spider-Man Raimi adalah Flint Marko
alias Sandman. Flint Marko (Thomas Haden Church) sebenarnya adalah manusia
biasa. Ia berubah jadi Sandman setelah tidak sengaja jatuh ke sebuah pasir yang
lagi digunakan sejumlah ilmuwan untuk percobaan gitu, sama seperti Spider-Man.
Nah,
berbeda dengan villain lainnya yang ada di semesta Spider-Man Raimi, Flint
Marko saya nilai bukanlah orang yang jahat. Ia justru adalah orang baik. Ia punya
seorang putri yang lagi sakit. Saya tak tahu putrinya sakit apa, tapi dari
ciri-ciri fisik dan penampakannya, saya duga ia sakit kanker. Sehingga mau gak
mau, Flint Marko terpaksa melakukan pekerjaan haram supaya anaknya bisa sembuh.
Sayangnya,
dalam pekerjaan haram yang ia lakukan, Flint gak sengaja membunuh Ben Parker (Cliff
Robertson) karena partnernya, Dennis Carradine (Michael Papajohn) menepuk
bahunya sehingga senjata api yang dipegang Flint langsung membunuh Ben begitu
saja. Dalam adegan flashback Flint pun, wajahnya sangat memperlihatkan rasa
bersalah Flint atas keteledorannya tersebut.
Saya
memang bukanlah seorang bapak-bapak beranak satu kayak Flint, tapi entah kenapa,
saya paham dengan apa yang dirasakan Flint. Cari kerja itu susah. Sekadar hidup
sederhana untuk makan, minum, dan memenuhi kebutuhan hidup saja susahnya bukan
main. Apalagi ketika punya anak yang sakit kanker kayak Flint.
Di semesta
manapun, Keluarga Parker saja mengalami kesulitan keuangan sehingga Peter
Parker digambarkan sebagai remaja miskin yang struggling dengan hidupnya, bahkan
ketika Ben Parker masih hidup. Apalagi Flint Marko?
Entah
kenapa, saya malah jadi bersimpati pada Flint Marko. Saat pertama kali menonton
film ini di bioskop pada tahun 2007, saya gak relate karena saat itu saya masih
duduk di bangku SMP. Setelah sadar bahwa cari uang itu susahnya bukan main,
saya jadi sungguh bersimpati pada Flint.
Flint cari
uang haram bukan karena ia pingin hidup enak seperti para koruptor di Senayan,
tapi karena ia ingin anaknya tidak menderita. Memang, uang yang dicari Flint
adalah uang haram, seluruh agama di manapun juga melarang manusia untuk cari
uang haram.
Tapi kalau
nggak begitu, gimana caranya Flint bisa menyelamatkan anaknya coba? Apalagi,
tidak semua orang punya asuransi yang mengcover seluruh biaya pengobatan
seseorang. Sekalipun biaya rumah sakit dan pengobatannya dicover asuransi,
masih ada tetek bengek lainnya macam obat dan alat-alat lainnya yang harganya
tidak murah.
Jujur
saja, jika saya ada pada posisi Flint, saya juga akan melakukan pekerjaan haram
tersebut. Sama seperti Walter White (Bryan Cranston) yang terpaksa memanfaatkan
ilmu kimia yang dimilikinya untuk membuat sabu-sabu supaya ketika ia meninggal
nanti, ia bisa mewariskan sejumlah uang supaya istri dan anak-anaknya gak hidup
menderita.
Baca
tulisan saya di Mojok: Mari
Bersepakat bahwa Breaking Bad Adalah Sebaik-baiknya Serial Televisi
Dalam
skala yang lebih jauh, bahkan saya bisa memaklumi orang-orang yang terpaksa
melakukan pekerjaan haram untuk bertahan hidup seperti wanita yang melakukan praktik
prostitusi. Dengan catatan, ia melakukan itu untuk bertahan hidup, bukan untuk
hidup mewah-mewahan.
Flint
Marko pun hidup dalam penyesalan setiap harinya karena ia telah tidak sengaja
membunuh Ben Parker sehingga kehidupan Peter Parker berubah 180 derajat. Namun pada
akhirnya, Peter Parker pun memaafkan perbuatan Flint karena tidak ada satu
orang pun manusia di dunia ini yang tidak pernah melakukan kesalahan.
0 Comments