Dewasa
ini ada begitu banyak film maupun serial fantasi yang merupakan adaptasi dari
novel fantasi dengan judul yang sama seperti Harry Potter yang ditulis oleh JK
Rowling, Narnia yang ditulis oleh C.S. Lewis, Eragon yang ditulis Christopher
Paolini, dan A Song of Ice and Fire (diadaptasi jadi Game of Thrones oleh HBO)
yang ditulis oleh George R. R. Martin. Namun saya kira, ada satu nama yang
menjadi induk dari judul-judul yang saya sebutkan di atas yakni J.R.R. Tolkien
yang menulis The Hobbit dan Lord of the Rings.
Mengapa
saya sebutkan demikian? Lebih dari 10 tahun yang lalu, ketika membaca majalah
Cinemags, saya membaca artikel yang berkata bahwa cerita-cerita fantasi seperti
Harry Potter, Narnia, dan Eragon jelas-jelas terinspirasi oleh tulisan fantasi
karya Tolkien. Dengan format serupa, dimana ada templatenya tersendiri.
Template yang digunakan adalah orang baik melawan tokoh jahat, dibalut dengan
makhluk-makhluk fantasi seperti naga dan goblin, hewan yang dapat berbicara
layaknya manusia, dan senjata-senjata keramat seperti pedang pusaka dan tongkat
elder, serta tokoh jahat yang ingin menguasai dunia. Meskipun para penulis
tersebut disebut-sebut terinsprirasi dari Tolkien, kerumitan cerita, kisah
kepahlawanan, dan kekayaan semestanya, tidak ada yang seciamik dan seindah
semesta Middle Earth yang telah dibuat oleh Tolkien.
Baca tulisan saya di Mojok berikut ini: Mengenang
Majalah Film, Barang Wajib Pencinta Film pada Masanya
Lord
of the Rings memang beruntung karena disutradari oleh Peter Jackson yang telah
membaca buku karya Tolkien tersebut sejak muda dan memang bertekad keras untuk
membuat filmnya suatu saat nanti dari fantasinya ketika membaca karya Tolkien
tersebut. Peter Jackson seolah-olah membuat film untuk dirinya sendiri yang
masih muda tersebut. Lord of the Rings juga beruntung karena telah didukung
oleh aktor dan aktris yang sangat piawai dalam memerankan perannya
masing-masing di film tersebut.
Tidak
hanya itu, aransemen musik, kostum, dan grafiknya juga bukan kaleng-kaleng. Terbukti,
di filmnya yang ketiga, The Lord of the Rings : The Return of the King telah
meraih 11 Oscar dari 11 nominasi Oscar yang diperolehnya. Bahkan film pertama meraih
4 Oscar dari 9 nominasi yang diperolehnya. Film keduanya meraih 2 Oscar dari 4
nominasi yang diperolehnya, sehingga total keseluruhan trilogy ini telah meraih
17 Oscar.
Lord
of the Rings dan seluruh pihak di dalamnya juga beruntung karena tidak ada
intervensi dari New Line Cinema, dengan durasi film selama 3 jam untuk kategori
film bioskop. Bahkan versi extendednya sampai 4 jam. Sedangkan Harry Potter
harus dipotong disana sini untuk keperluan durasi, dan disutradari oleh oleh 4
sutradara yang berbeda dari kedelapan filmnya. Apalagi Eragon yang dianggap
gagal total sehingga tidak dibuatkan sekuelnya karena betul-betul berbeda dari
novelnya, padahal novelnya sangat bagus. Saking bagusnya, Lord of the Rings
Trilogy versi extended adalah film yang secara rutin saya tonton setidaknya
satu tahun sekali tanpa rasa bosan, meskipun total keseluruhan durasinya adalah
12 jam.
Karakter
dalam cerita ini juga adalah karakter yang sangat kuat. Boromir, sebagai anak
sulung dari Denethor II, Pejaga Gondor
ketika tahta kerajaan tidak diduduki oleh pewaris yang sah, begitu berambisi
untuk menjaga Gondor dengan sepenuh jiwanya, ketika pewaris yang sah, Aragorn,
tidak mau mengklaim haknya sejak lahir karena khawatir akan mengulangi
kesalahan leluhurnya ribuan tahun yang lalu, Isildur. Adegan kematian Boromir
pun sanggup membuat laki-laki untuk menangis ketika kalimat terakhirnya kepada
Aragorn berbunyi, “I would follow you, my brother. My captain. My king”,
ketika akhirnya Boromir mengakui Aragorn sebagai pewaris yang sah dari Gondor.
Dan
juga, Lord of the Rings mengajarkan arti persahabatan sejati ketika Frodo
Baggins, sang pembawa cincin jatuh ke dalam lubang yang terdalam ketika
diperdaya oleh Gollum di Mordor. Dia tetap berada di samping Frodo sampai
akhir. Masing-masing dari kita sebetulnya tidak usah memiliki banyak teman.
Cukup satu teman yang setia seperti Samwise Gamgee.
Adegan
lainnya yang sanggup membuat laki-laki untuk menangis adalah pidato Raja
Théoden sebelum perang kepada pasukannya yang berjumlah ribuan. “Arise,
arise, Riders of Théoden! Spears shall be shaken, shields shall be splintered.
Death!”, yang merupakan pidato seorang pemimpin, seorang jenderal, seorang
raja sejati dari Rohan yang membuat ribuan pasukan di belakangnya rela untuk
mati demi sang raja. Seluruh pasukannya tahu, bahwa pertarungan ini akan
berakhir dengan kekalahan karena mereka kalah jumlah, tapi mereka rela
bertarung dan rela mati demi sang raja. Seorang raja sejati, yang memimpin
ribuan pasukannya saat perang dengan berada di garda terdepan dan membuat
pasukannya rela mati deminya karena Théoden bukan raja yang duduk dengan santai
di belakang layar. Saya pikir ini adalah adegan pidato paling menakjubkan dalam
sejarah perfilman umat manusia yang tidak akan ada penggantinya sampai
kapanpun. Adegan ini selalu membuat saya menangis dan merinding setiap saat.
Tidak heran film ini (The Return of the King) mendapat 11 Oscar.
Lord
of the Rings juga membuktikan, ketika seluruh pihak yang telah bertikai sejak
lama, yakni umat manusia, Elf (peri), Dwarf (kurcaci) yang telah saling
membenci selama lebih dari 3.000 tahun, pada akhirnya mau bekerjasama untuk melawan
satu musuh yang sama, yakni Sauron. Mudah-mudahan, dengan adanya pandmei Covid-19,
umat manusia di seluruh dunia bisa bersatu, saling melupakan perbedaan yang ada
selama berabad-abad ini.
Lord
of the Rings adalah bukti bahwa di bawah sutradara yang tepat, studio yang
percaya dan mendukung sepenuhnya, kombinasi aktor dan aktris yang pas,
aransemen musik yang ciamik, desain kostum yang realistis, dan grafik yang
memanjakan mata betul-betul menghasilkan mahakarya terbaik sepanjang sejarah
perfilman umat manusia yang tidak perlu dibuatkan remakenya sampai kapanpun
saking jeleknya. Dibandingkan cerita fantasi lainnya yang sudah diadaptasi
menjadi film, Lord of the Rings tidak ada lawannya sama sekali.
0 Comments