Anak
90an mana yang gak pernah nonton Si Doel?
Si
Doel adalah “Godfathernya sinetron Indonesia” karena karakter,
storyline, dialog, dan segala tetek bengek sinetron ini masih seru dan relate
banget meski ditonton pada tahun 2023. Sinetron ini bercerita tentang lika-liku
Doel dan keluarganya yang berusaha mempertahankan filosofi hidup tradisional
ala Betawi di tengah arus moderisasi Jakarta.
Lebih
dari 20 tahun yang lalu, saya menganggap Doel seperti jagoan dalam film
Hollywood macam Clark Kent atau Peter Parker. Mereka punya kesamaan latar
belakang seperti lahir dari keluarga miskin, dibesarkan oleh sosok Ayah yang
memegang teguh prinsip hidup tradisional, serta kerja serabutan di sela-sela
kesibukan kuliah supaya bisa survive dalam menghadapi segala lika-liku kehidupan.
Pokoknya,
Doel itu paket komplit! Baik hati, jujur, pintar, rajin sembahyang, berbakti
pada orang tua, serta jadi idaman gadis cantik seperti Sarah dan Zaenab. “Doel
adalah role model yang harus ditiru oleh generasi muda”, begitulah kalimat
yang kira-kira dikatakan banyak orang tua dan guru pada tahun 90an.
Namun,
setelah dewasa, pandangan saya terhadap Doel berubah 180 derajat. Doel yang
saya kagumi ini ternyata orangnya sangat problematik. Plin-plan, gak tegas, dan
juga lemot. Kok bisa pria problematik kayak Doel diperebutkan oleh gadis cantik
macam Sarah dan Zaenab?
Babe
Sabeni yang saya kagumi saat saya dewasa
Selain
pandangan pada sosok Doel yang berubah, pandangan saya terhadap Babe Sabeni
(Almarhum Benyamin Sueb) pun berubah. Sewaktu kecil, saya menganggap Babe
Sabeni sebagai sosok orang tua ketinggalan zaman yang bisanya cuma marah-marah
doang. Bisanya cuma ngungkit-ngungkit zaman dulu doang.
Setelah
dewasa, saya akhirnya sadar bahwa apa yang dikeluhkan Babe Sabeni benar adanya.
Orang asli Betawi banyak yang bernasib seperti Babe Sabeni. Diusir secara
perlahan dari tanah kelahirannya oleh kapitalisme. Terpaksa tinggal di
pinggiran Kota Jakarta karena tanahnya dibeli negara atau para pengusaha atas
nama pembangunan, namun alih-alih sejahtera, nasib mereka malah semakin
terpuruk.
Sewaktu
kecil, saya menganggap reaksi Babe Sabeni yang gak terima Doel kerja sebagai
sopir sangat berlebihan. Setelah dewasa, saya mengerti kenapa Babe Sabeni
kecewa dengan Doel. Blio rela jual tanah dan membatalkan rencananya naik haji
dengan istrinya supaya Doel bisa sekolah setinggi-tingginya, eh cuma jadi
sopir. Gimana gak kecewa?
Sewaktu
kecil, saya menganggap Doel “kurang berusaha” cari kerja. Setelah
dewasa, saya akhirnya paham kenapa Doel susah dapat kerja meski sudah punya
jadi sarjana. Modal ijazah sarjana saja tidak cukup. Harus punya soft skill
lain dan networking yang luas biar bisa kerja di tengah persaingan yang semakin
lama semakin ketat. Cari kerja di tahun 90an aja susah, apalagi sekarang coba?
Pandangan
saya terhadap tokoh lainnya yang telah berubah
Pandangan
saya terhadap Mandra pun berubah. Sewaktu kecil, saya tertawa terbahak-bahak
melihat sosok Mandra yang mirip banget dengan Squidward. Kerjaannya marah-marah
melulu! Setelah dewasa, saya akhirnya sadar kenapa Mandra kerjaannya
marah-marah melulu.
Gimana
gak marah-marah, Mandra bukanlah sekadar sosok pria Betawi biasa. Blio tidak
saja berstatus sebagai seorang pengangguran, tapi seorang penangguran yang buta
huruf! Doel yang punya ijazah S-1 aja susah cari kerja, apalagi Mandra yang
buta huruf? Kisah cintanya dengan Munaroh pun berakhir tragis. Terlebih,
orang-orang di sekitar Mandra selalu memperlakukannya dengan tidak adil.
Mungkin,
karakter dalam semesta Si Doel yang paling relate bagi kita semua adalah
Mandra. Memang berapa banyak dari kita yang diperebutkan sosok gadis cantik
macam Sarah dan Zaenab? Kebanyakan dari kita punya kisah cinta yang tragis
macam Mandra dan Munaroh. Kebanyakan dari kita pun selalu dikecewakan takdir.
Memang berapa banyak impian kita semua yang terwujud begitu saja? Kalau semua
impian kita terwujud tentu semua orang yang ada di dunia ini akan selalu
bahagia selama hidupnya.
Nonton
Si Doel saat dewasa malah bikin saya overthinking. Ternyata sosok Doel yang
dulu dijadikan role model bagi anak muda oleh orang tua dan guru adalah sosok
yang problematik. Ternyata, ada pesan tersirat akan permasalahan ekonomi,
sosial dan politik yang kompleks dari ucapan Babe Sabeni yang baru saya sadari
sekarang. Ternyata, gak semua orang punya nasib yang mujur seperti Si Doel
karena kebanyakan dari kita punya hidup yang ngenes seperti Mandra.
Memang,
gak ada perubahan jalan cerita dari nonton Si Doel di tahun 90an atau di tahun
2023. Tapi perspektif kita berubah bukan? Itulah magisnya Si Doel, “The
Godfathernya sinetron Indonesia” karena karakter, storyline, dialog, dan
segala tetek bengek sinetron ini masih seru dan relate untuk dibahas meski
ditonton pada tahun 2023.
Ada
begitu banyak adegan yang begitu melekat pada ingatan saya seperti Mandra yang
kerjaannya marah-marah melulu, hingga Atun yang tubuhnya nyangkut di tanjidor.
Rasa-rasanya, belum ada atau bahkan tidak akan ada sinetron yang seikonik Si
Doel, yang tetap menarik untuk dibahas meski sudah lewat tiga dekade dari
episode terakhir penayangannya di layar kaca.
Terakhir,
izinkan saya untuk mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada seluruh
pihak yang terlibat pada pembuatan sinetron ini karena sinetron ini telah
mengisi masa kecil saya dan jutaan Generasi 90an lainnya. Terutama pada
Almarhum Benyamin Sueb yang ucapannya baru saya mengerti setelah saya dewasa.
0 Comments