Beberapa
minggu yang lalu, teman kuliah saya, sebut saja Rara (bukan nama sebenarnya), bercerita
bahwa ia akan berlibur ke Jepang bersama suaminya. Sebagai manusia yang baik (meski
gak baik-baik amat sih), saya sih akan support apapun yang akan ia lakukan
selama tidak melanggar hukum. Uang-uang dia juga kan?
Sebelum
memutuskan untuk berlibur, Rara dan suaminya, Nono (bukan nama sebenarnya),
sempat galau. Mereka harus memilih, antara membeli mobil bekas, atau berlibur
ke Jepang? Pasangan suami istri ini akhirnya memutuskan untuk berlibur ke Jepang.
Alasan
pertama, sejak menikah beberapa tahun yang lalu, mereka belum pernah
menghabiskan momen untuk bulan madu seperti orang lain karena setelah menkah, prioritas
mereka adalah untuk membeli segala jenis perabotan rumah tangga. Maklum, kecuali
anak konglomerat, Generasi Mileneal mana sih yang punya uang berlimpah untuk
bulan madu?
Alasan
kedua, Nono berpikir, “Mobil bisa dibeli kapan saja begitu uangnya siap. Tapi
momen liburan ke luar negeri bersama istri, kapan lagi?”
Anggap
saja mereka berlibur ke Jepang lima tahun lagi dengan keadaan punya anak
balita. Mereka gak bisa fokus liburan. Mereka gak bisa fokus bersenang-senang.
Selama di Jepang, mereka pasti fokus menidurkan anak, ganti popok anak, atau
berusaha membuatnya berhenti menangis. Repot banget pasti.
Saya pikir,
ada benarnya juga. Banyak orang yang bilang, “Travelinglah sewaktu muda. Karena
jika sudah tua, traveling akan beda. Energinya gak sebanyak sewaktu muda”
Namun,
bagi Mileneal seperti saya yang masih kerja serabutan, hal tersebut masih sulit
untuk saya wujudkan. Kalaupun terwujud, pasti terasa “ripuh” dibandingkan “nyaman”,
sebagaimana ketika saya mendaki berbagai gunung di Pulau Jawa saat di bangku
kuliah. Saking “ripuhnya”, gak banyak foto-foto di gunung karena saat itu saya
belum punya kamera digital. Kamera handphone pun belum secanggih saat ini.
Sepulang
dari Jepang, Rara bercerita panjang lebar tentang perjalanannya di Jepang.
Mulai dari ke Patung Hachiko, Wahana Harry Potter, hingga ke Robot Gundam
Raksasa yang ada di sana. Ia menceritakan semua pengalamannya pada saya. Tentang
bagaimana orang Jepang yang hobi jalan kaki, orang Jepang yang sangat
menghargai waktu, hingga tentang tertatanya kota-kota di Jepang itu seperti apa.
Ia
merasa jauh lebih mengenal suaminya dibandingkan sebelum-sebelumnya dengan perjalanan
selama kurang lebih dua belas hari di Jepang meski sudah menikah selama beberapa
tahun. Saya pun hanya bisa ngangguk-ngangguk setuju.
Saya akhirnya
mengerti, kenapa di tahun 90an, banyak orang tua mengajak anak-anaknya berlibur
ke gunung atau ke pantai alih-alih membelikan mereka console Sega atau
PlayStation karena seperti yang dikatakan Nono, “Console bisa dibeli kapan
saja begitu uangnya siap. Tapi momen liburan bersama anak-anak, kapan lagi?”
Memasuki
umur 30an seperti yang saya alami saat ini pun, banyak teman maupun sanak
saudara seumuran saya yang mengutamakan untuk membawa anak-anaknya berlibur ke
gunung, ke pantai, atau bahkan ke luar negeri dengan prinsip yang dikatakan
Nono di atas, yakni untuk menciptakan momen spesial dengan anak yang akan ia
kenang seumur hidupnya kelak.
Sayangnya,
saya bukan tipikal family man seperti mereka. Saya lebih suka solo travelling.
Sejak kuliah, saya kerap kali solo travelling ke Yogya, Jakarta, Surabaya dan lainnya
karena saya punya ritual-ritual tertentu yang mungkin orang lain tidak mengerti
atau bahkan tidak membuat mereka nyaman, seperti ritual saya yang kerap kali
olahraga di mana pun dan kapanpun, atau pola makan saya yang bagi orang lain
dianggap anaeh, maupun saya yang tak bisa tidur bersama orang lain, apalagi
kalau dalam kondisi lampu menyala atau terlalu berisik. Saya hanya bisa tidur
di tempat sepi, dan kalau bisa, sendirian.
Tapi
ya, saya tetap setuju, bahwa, sebisa mungkin, kalau ada uang dan waktu,
utamakan traveling sewaktu muda. Nabung. Karena jika sudah tua, sebanyak apapun
uangnya, energinya keburu habis duluan. KEcuali saya sih. Saya yakin, di usia
80 tahun, jika masih dikasih jatah hidup oleh Tuhan, saya masih kuat traveling
karena saya akan tetap aktif gym dan lari sampai usia 80 tahun. Di usia 30an
aja saya masih tergolong fit dibandingkan orang lain yang bahkan olahraga satu kali
dalam seminggu juga nggak.
0 Comments