Beberapa waktu yang lalu, saya melihat video perjuangan pelari asal Kamboja, Bou Samnang yang tetap berjuang berlari di tengah guyuran huja deras menuju garis finis dalam ajang SEA games meski ia ada pada urutan terakhir. Bou Samnang berada di urutan terakhir karena ia menderita anemia parah. Namun demi negaranya, ia berusaha berjuang sampai titik darah penghabisan untuk negaranya. Alih-alih dihujat, Bou Samnang mendapat tepuk tangan meriah dari penonton yang menyaksikannya. Alih-alih dihujat, Bou Samnang dipuji banyak netizen. 

Sama seperti Derek Redmond, sprinter asal Inggris yang tiba-tiba mengalami cedera hamstring saat semifinal Olimpiade 1992 Barcelona. Derek tentu gagal memperoleh gelar juara, tapi ia jadi juara di hati siapa saja yang menyaksikan Derek bertanding karena di satu putaran akhir, ia didampingi ayah kandungnya. Dua kisah tersebut tentu menginspirasi banyak orang tentang arti sportivitas. Sayangnya, di sepak bola, kisah semacam itu jarang saya lihat. Di sepak bola, mereka-mereka yang sudah berusaha keras tapi berujung kekalahan, malah kena hujat penonton.

Terpelesetnya Gerrard

Contohnya, dalam laga Premier League musim 2013/14 antara Liverpool dan Chelsea, Steven Gerrard terpeleset saat menerima operan sehingga momen tersebut dimanfaatkan Demba Ba untuk mencetak gol untuk Chelsea. Terpelesetnya Gerrard tentu menjadi bahan olok-olokan fans sepak bola manapun, terutama dari fans sepak bola rival Liverpool.

Dalam pertandingan lain, ketika Lionel Messi berhasil membawa Argentina sebagai juara dunia pada ajang World Cup 2022, otomatis Lionel Messi pantas diberi predikat pesepak bola tersukses sepanjang masa karena ia berhasil memenangkan seluruh gelar prestisius sepak bola baik pada level klub maupun pada level timnas. Tebak apa yang terjadi? Fans sepak bola langsung menghujat Ronaldo karena Ronaldo yang selama ini jadi rival berat Lionel Messi dianggap selevel lebih tinggi dengan torehan gelar World Cup tersebut.

Baca tulisan saya di Mojok: Ronaldo vs Messi: Fanatisme Paling Toxic dalam Dunia Olahraga

Baca tulisan saya di Mojok: Hanya Atlet yang Juara yang Abadi dalam Ingatan, Lainnya Hanyalah Pesakitan

Olok-olokan antar fans sepak bola yang saya sebutkan di atas bahkan bisa lebih ekstrim lagi. Banyak perkelahian antar fans sepak bola, mulai dari fans Persib Bandung dan Persija Jakarta hingga fans Manchester United dan fans Manchester City. Bahkan banyak tragedi berdarah yang menewaskan ratusan nyawa hanya gara-gara sepak bola. Mulai dari Tragedi Hillsborough hingga Tragedi Kanjuruhan.

Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya, “Kenapa sih fans sepak bola, gak di Indonesia gak di Eropa bisa barbar gitu? Tak seperti fans basket, fans badminton, maupun fans baseball yang tingkat agresinya tak seagresif fans sepak bola?

Tentu, pertanyaan saya di atas hanyalah retorika. Fans sepak bola menganggap tim kesayangannya adalah identitas yang harus ia bela habis-habisan sampai titik darah penghabisan. Fanatismenya melebisi fans basket, fans badminton, maupun fans baseball. Lihat saja menjamurnya hooliganisme di Amerika Latin atau di tanah Inggris sana. Untuk menjawabnya diperlukan kajian budaya, kajian antropologi, atau kajian sosiologis. Bukan ranah saya untuk menuliskannya.

Hingga saat ini saya masih bertanya-tanya, “Kenapa sih di sepak bola, orang yang berusaha tapi gagal, entah itu pelatih atau pesepak bola selalu diolok-olok? Mulai dari David Moyes hingga Erik ten Haag. Mulai dari Harry Maguire, Steven Gerrard, hingga Cristiano Ronaldo

Memang, David Moyes dan Erik ten Haag gagal mempersembahkan gelar juara untuk tim yang ia asuh. memang, Harry Maguire, Steven Gerrard, hingga Cristiano Ronaldo pernah gagal menampilkan performa terbaik untuk timnya sehingga timnya kalah. Tapi, bukankah mereka sudah berusaha? Kenapa fans sepak bola tak bisa seperti fans cabang olahraga lain yang mengapresiasi perjuangan Bou Samnang dan Derek Redmond?

Di balik blunder-blunder Harry Maguire, Maguire saya yakini menjalani latihan dengan keras dan disiplin. Sedangkan mereka yang mengejek Maguire jogging satu minggu sekali saja bisa dibilang, hampir gak pernah.  Di balik kegagalan Erik ten Haag, ia sudah menempuh pendidikan olahraga yang meliputi ilmu faal olahraga, ilmu gizi, hingga ilmu psikologi olahraga. Sedangkan mereka yang mengejek Maguire menempuh S-1 pendidikan olahraga saja nggak. Mengkritik Maguire atau Ten Haag tentu boleh, tapi kan bisa dengan cara yang santun?

Dalam sepak bola, memang ada momen tertentu di mana fans sepak bola empatinya tinggi banget. Seperti saat Christian Eriksen yang tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri, di mana seluruh pemain, official dan penonton memberikan dukungan moril padanya. Seperti saat seluruh fans sepak bola mengadakan seremonial untuk mengenang Tragedi Munich setiap tahunnya.

Baca tulisan saya di Fandom.ID: Jun Misugi, Christian Eriksen, dan Asa yang Terus Berdetak

Tapi yang saya lihat, lebih banyak fans sepak bola sibuk menghujat satu sama lainnya di internet. Misalnya, ketika tim A kalah melawan tim B, fans tim B mengolok-ngolok tim B. Bahkan, fans dari tim C dan tim D ikut mengolok-ngolok tim B tersebut. Padahal fans dari tim C dan tim D berada di negara yang berbeda.

Baca tulisan saya di PanditFootball: Glory Hunter adalah Kita

Tak bisakah fans sepak bola seperti fans cabang olahraga lainnya yang tidak menghujat para pelatih dan pemain yang sudah berusaha sekeras tenaga namun sayangnya, gagal untuk menang? Atau, minimal seperti tim sepak bola Jepang dan fansnya, yang meskipun mereka kalah, tetap santun, membungkuk, mengakui kekalahan, dan membersihkan stadion untuk menghormati lawan?