Sejak kanak-kanak, saya selalu mengkonsumsi cerita fiksi yang bercerita bahwa mereka-mereka yang kerjaannya nge-bully orang lain saat sekolah hidupnya berakhir dengan tragis. Entah tiba-tiba jatuh sakit atau tiba-tiba jatuh miskin.

Karma is real”, katanya. Tapi hal tersebut hanya terjadi di cerita fiksi macam komik, novel, anime, serial televisi, dan film saja. Di mana, tokoh utama yang kerap kali di-bully berhasil jadi orang sukses, sedangkan tokoh antagonis yang kerap kali nge-bully tokoh utama hidupnya berakhir dengan tragis. Lalu tokoh utama yang di-bully tersebut dengan sempurna menutup kisah fiksi tersebut dengan merangkul sang tokoh antagonis dan bersahabat dengan mereka sembari melupakan masa lalu.

Di dunia nyata, yang ada malah sebaliknya. Mereka-mereka yang kerjaannya nge-bully orang saat sekolah hidupnya justru sangat enak, sedangkan mereka-mereka yang di-bully hidupnya menderita. Setidaknya ini yang pandangan saya setelah beberapa kali ikut reuni sekolah dan baca-baca pengalaman netizen di internet.

Kenapa bisa begitu? Sebab pada umumnya, pelaku bully adalah mereka-mereka yang punya kuasa. Mereka berani melakukan bullying karena mereka berasal dari kalangan berada sehingga mereka tak usah takut dengan konsekuensi hukum yang akan mereka dapatkan dari tindakan tersebut. Sedangkan korban bullying biasanya adalah mereka-mereka yang gak punya kuasa sama sekali.

Pelaku bullying tersebut akhirnya hidup enak karena privilesenya. Ada yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri dan berakhir jadi dokter atau bekerja di perusahaan multinasional. Sedangkan korban bullying hidupnya “biasa-biasa saja” dan tak sedikit dari mereka yang harus bolak-balik ke psikolog atau psikiater atas trauma tersebut. Bahkan ada juga korban bullying yang mati muda karena mereka memutuskan untuk bunuh diri karena tak tahan dengan trauma yang mereka dapatkan tersebut.

Bullying adalah masalah yang kompleks

Pelaku bullying tentu patut disalahkan atas perbuatannya yang membuat korban bullying trauma seumur hidupnya. Namun, bisa jadi saat melakukan tindakan bullying, pelaku bullying tersebut tidak tahu bahwa konsekuensi dari perbuatannya akan sefatal itu karena mereka masih anak-anak atau remaja.

Menyalahkan orang tua pelaku bullying karena dianggap gak becus mendidik anaknya pun kurang tepat karena orang tua yang khatam ilmu parenting dan agama sekalipun belum tentu berhasil mendidik anaknya untuk tidak jadi pelaku bullying.

Menyalahkan guru karena dianggap gak becus mendidik siswa-siswinya pun masih kurang tepat karena guru yang paling baik dan paling paham ilmu psikologi pendidikan pun belum tentu berhasil mendidik siswa-siswinya untuk tidak jadi pelaku bullying.

Menyalahkan moral masyarakat, sistem pendidikan maupun para pejabat negara karena dianggap turut melestarikan budaya bullying juga percuma. Negara maju macam Korea Selatan, Jepang, hingga Swedia saja belum bisa menghilangkan bullying, apalagi negara ini?  Makanya saya sebut bullying sebagai masalah yang kompleks.

Lower your expectation!

Pada tulisan ini saya gak akan sok-sok bijak ngasih solusinya kayak gimana karena saya bukan orang yang berkompeten di bidang tersebut. Saya juga gak akan sok-sok bijak nyuruh korban bullying untuk memaafkan pelaku bullying atau nyuruh pelaku bullying minta maaf ke para korban bullying.

Saya cuma mau bilang, stop pemikiran bahwa mereka yang kerap kali nge-bully kalian hidupnya akan berakhir tragis sedangkan hidup kalian akan sukses karena hal tersebut hanya terjadi di cerita fiksi saja. Jadi tolonglah untuk bijak ketika kalian selesai mengkonsumsi cerita fiksi lewat komik, novel, anime, serial televisi, dan film karena kehidupan nyata tidak seindah cerita fiksi.

Terakhir, jadi korban bullying memang gak enak. Namun saya juga gak bisa berbuat apa-apa. Saya juga gak bisa ngasih solusi apa-apa. Memangnya saya siapa? Saya cuma bisa bilang, “I’m sorry for what happened, and I hope you’ll feel better and can move on from trauma that haunted you