Beberapa hari yang lalu, saya menemukan foto digital dari catatan kuliah yang ditulis oleh teman saya. Bisa kalian lihat fotonya di atas. Catatan tersebut ditulis pada tahun 2015 tentang mata kuliah media literasi yang saya ikuti di kampus. Sembilan tahun kemudian, saat saya menuliskan tulisan ini, saya pikir, media literasi di Indonesia ini tidak secara signifikan perkembangannya. Begini ulasan saya.

Pengalaman Saya Mengikuti Mata Kuliah Media Literasi

Berikut ini tulisan yang saya tulis pada tahun 2015 yang lalu sebagai tugas akhir dari Mata Kuliah Media Literasi.

Mata kuliah media literasi adalah mata kuliah yang menurut saya paling meyenangkan. Mengapa? Di mata kuliah tersebut kita melihat, bahwa kode etik jurnalistik, UU Pers, UU Penyiaran seakan hanyalah bumbu penghias saja. Terlalu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di media manapun. Tidak hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia. Terlebih, pelanggaran tersebut tidaklah dianggap sebagai pelanggaran oleh sebagian besar masyarakat dunia karena ketidaktahuannya.

Tujuan akhir dari mata kuliah media literasi adalah menginformasikan pelanggaran tersebut kepada masyarakat sebagai bentuk kongkrit pengabdian dan tanggungjawab seorang mahasiswa pada masyarakat sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dengan begitu, diharapkan masyarakat lebih teredukasi dan melek media. Tidak menelan bulat-bulat apa yang ada di media tersebut.

Tugas akhir dari mata kuliah ini adalah melakukan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) dengan bentuk edukasi kepada siswa-siswi salah satu SMP Negeri di Kota Bandung.

Saya amati, siswa-siswi SMP yang saya datangi adalah generasi yang lebih apatis dibandingkan generasi saya (Mileneal). Alih-alih peka dengan lingkungan sekitar, mereka (Gen Z) lebih sibuk dengan gadgetnya. Ada yang bermain game, sibuk chat dengan temannya, hingga mendengarkan musik. Saya sendiri pernah mengalami masa-masa SMP yang persis seperti mereka. Namun saat itu tidak semua orang punya smartphone sehingga yang apatis jauh lebih sedikit.

Saat itu, saya mengambil hipotesa, Pertama, mereka mungkin tidak diberikan edukasi oleh orang tua mereka seperti batas aman bermain game dalam sehari, serta game apa saja yang aman untuk usia mereka. Orang tua mereka (Gen X dan Baby Boomers) lebih menuruti keinginan anak-anaknya untuk dibelikan gadget alih-alih menyuruhnya melakukan kegiatan outdoor. Banyak di antara mereka merupakan “anak warnet” atau gamers seperti yang saya alami juga saat duduk di bangku SMP.

Kedua, generasi mereka (Gen Z) memang diajari untuk bermain gadget saat sedang bosan atau menunggu sesuatu alih-alih membaca sesuatu yang bermanfaat seperti koran, majalah atau komik. Padahal, yang mereka lakukan pada gadget mereka hanya mengisi waktu luang saja. Bukan seperti para pebisnis yang mempergunakan gadget mereka untuk mengirim email atau transaksi saham. Seperti yang pernah dijelaskan di kelas oleh dosen saya, banyak orang memiliki smartphone, namun sedikti sekali yang dipergunakan untuk membangun dirinya. Lagipula, memangnya apa sih yang siswa-siswi SMP pergunakan dalam gadget mereka selain bermain game?

Orang tua mereka juga mungkin tidak memberikan etika tentang penggunaan gadget. Seperti menaruh gadget di momen tertentu seperti ketika sedang makan atau berbicara dengan lawan bicara mereka. Mungkin juga disebabkan budaya kita yang lebih banyak berbicara dibandingkan mendengarkan, seperti yang diujarkan Prof. Deddy Mulyana dalam banyak karyanya.

Kembali ke tahun 2005, saya pun mengalami apa yang mereka rasakan, dengan media sosial Friendster dan MySpace saat itu, saya pernah mengalami apa yang dinamakan kealayan, entah nama alay hingga konten yang sama sekali tidak berbobot untuk dipublikasikan.

Dari yang saya alami, saya tidak tahu kegunaan dan kelebihan dari media sosial saat itu, ditahun 2005. Saat itu saya merasa, bahwa menuliskan musik kesukaan kita, orang yang kita sukai, masalah pribadi di media sosial adalah sesuatu yang keren. Layaknya seorang selebriti yang mengunggah ranah pribadi di televisi.

Selain itu, faktor orang tua adalah yang utama. Kembali ke tahun 2005, hanya sedikit orang tua yang mengetahui apa itu media sosial. Selain itu, internet tidak se-booming saat ini. Akses internet hanya melalui internet di komputer saja, itu juga hanya sebagian kecil dari kita yang memiliki akses tersebut karena mahalnya internet saat itu. Orang tua saat ini juga tidak mengetahui batas aman dalam bermain media sosial. Apa saja yang boleh dan tidak boleh untuk dipublikasi di media sosial mereka tidak mengetahuinya

Jadi, jangankan mengedukasi anak-anak mereka, bahkan banyak orang tua yang tidak tahu tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan di internet maupun media sosial karena gap teknologi yang sangat jauh antara generasi orang tua dan anaknya.  

Seperti itulah tulisan yang saya tulis pada tahun 2015 yang lalu. Tulisan tersebut adalah hipotesa saya belaka. Tidak berdasarkan teori tertentu. Hanya observasi berdasarkan ilmu yang saya dapatkan selama kuliah.

Bagimana Literasi Media di Tahun 2024?

Sembilan tahun setelah saya membuat tulisan tersebut, tidak banyak yang berubah. Literasi media di Indonesia masih sangat minim di Indonesia.

Saya sering melihat anak remaja SMP, SMA, bahkan mahasiswa yang suka joget-joget tak jelas saat nongkrong di coffee shop. Banyak remaja yang menjadikan sosok TikToker, YouTuber atau Selebgram sebagai rujukan ilmu alih-alih orang yang ahli di bidangnya seperti praktisi atau akademisi. Kalau influencer yang mereka jadikan merupakan ahli di bidangnya seperti dokter, psikolog, psikiater atau akademisi sih tak jadi masalah. Yang jadi masalah, orang yang dijadikan rujukan bukan ahli di bidangnya. Ia cuma jago bacot doang.

Banyak remaja dan bahkan orang dewasa yang tak bisa membedakan mana fakta dan mana hoax, terutama di tahun politik seperti 2024 sekarang. Jangankan itu, membedakan mana fakta dan mana opini saja barangkali banyak yang tidak tahu.

Sederhananya, fakta itu objektif dan dapat dibuktikan. Misal, air membeku pada suhu 0 derajat Celcius. Sedangkan opini bentuknya sangat subjektif dan tidak dapat diukur atau sifatnya subjektif. Misal, "Coklat adalah rasa es krim yang paling enak" atau "Film tersebut tidak bagus menurut saya."

Kenapa saya concern dengan hal tersebut? Karena di tahun politik ini, orang dewasa pun tak bisa membedakan mana fakta dan mana opini. Calon Presiden “X” memiliki deretan prestasi seperti memperoleh predikat Cum Laude saat kuliah itu fakta. Namun klaim “Calon Presiden X adalah Calon Presiden Terbaik” tentu merupakan opini, bukan fakta. Sederhananya seperti itu.

Ah, tak usah muluk-muluk dengan contoh sekompleks itu. Lihat saja bagaimana orang tua dengan mudahnya menyebarkan link hoax terkait politik di grup WhatsApp keluarga. Lihat saja bagaimana generasi muda percaya propaganda politik di TikTok. Lihat saja begitu banyaknya revenge porn yang tersebar di internet.

Saya rasa, semuanya diakibatkan karena literasi media yang kurang. Jikalau literasi media berjalan dengan sebagaimana mestinya, di mana pada setiap jenjang pendidikan, setiap orang diajari apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet, setiap orang diajari bagaimana membedakan fakta dan hoax, setiap orang diajari bagaimana menanggapi komentar seseorang di internet, rasanya tidak akan separah ini. Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia sehingga ini menjadi PR berat yang harus segera dicari permasalahannya oleh akademisi bidang sosial, terutama bidang jurnalistik dan ilmu komunikasi pada umumnya.