Tujuh tahun setelah lulus kuliah, saya berpikir, “Kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi, terutama Bidang Kajian Jurnalistik itu gak spesial-spesial amat.

Menjadi jurnalis hanyalah mimpi di masa lalu

Bukan tanpa sebab saya berpikir seperti itu. Di lapangan, hampir seluruh jurnalis atau orang yang bekerja di media, jarang sekali yang merupakan lulusan Ilmu Komunikasi, terutama Ilmu Jurnalistik. Hampir seluruh jurnalis papan atas Indonesia, seperti Najwa Shihab, Karni Ilyas, Arbain Rambey, hingga Sujiwo Tejo, bukanlah sarjana Ilmu Komunikasi. Seluruh kerabat saya yang bekerja di media pun, gak ada yang kuliah Ilmu Komunikasi. Ada yang lulusan Fakultas Seni Fakultas Ekonomi,bahkan lulusan Fakultas Teknik!

Sebagai lulusan Ilmu Komunikasi, tentu saja saya frustasi melihat fenomena di atas. Sejak lulus kuliah di tahun 2017, saya sudah puluhan kali bolak-balik Jakarta untuk interview di berbagai media nasional, baik media cetak, media elektronik, production house, hingga stasiun televisi, tak ada satu media pun yang menerima saya.

Gak cuma saya saja yang mengalami hal tersebut. Dari ratusan kolega satu angkatan saya di Fakultas Ilmu Komunikasi, hanya belasan orang saja yang bekerja di media. Itu pun gak semuanya jadi jurnalis murni, mereka “hanya” bekerja bergabung di tim editor video atau tim desain grafis.

Banyak media sengaja gak merekrut lulusan Ilmu Komunikasi

Saya beberapa kali diskusi dengan teman saya yang bekerja sebagai jurnalis di Ibukota. Nah, teman saya ini bukanlah lulusan Ilmu Komunikasi. Saat kuliah, ia mengambil jurusan Teknik Industri. Gak ada unsur ilmu komunikasinya sama sekali, tapi kerja di salah satu stasiun televisi terbesar di Indonesia. Makanya saya ngajak dia diskusi biar saya tahu di mana letak kesalahan saya selama ini.

Ia pun berkata, bahwa banyak media yang sengaja gak merekrut lulusan Ilmu Jurnalistik atau Ilmu Komunikasi untuk bekerja di media massa. Mereka (media) lebih mudah untuk mengajari para lulusan ekonomi, lulusan teknik, hingga lulusan peternakan tentang tata cara menulis, mengambil foto dan video, hingga teknik wawancara yang baik dan benar dibandingkan mengajari lulusan ilmu komunikasi tentang ilmu ekonomi, ilmu tata kota maupun ilmu peternakan yang kelak jadi bahan liputan mereka di lapangan.

Saya pun hanya bisa ngangguk-ngangguk setuju. Sewaktu menjalani interview di salah satu media cetak terbesar di Indonesia, para wartawan senior yang mewawancarai saya menguji kemampuan analisa saya tentang ekonomi makro dan mikro. Mengajari lulusan ekonomi tata cara menulis berita yang baik dan benar jauh lebih mudah dibandingkan mengajari saya tentang ekonomi makro dan mikro bukan?

Lulusan ilmu komunikasi gak seistimewa itu sekarang

20-30 tahun yang lalu, sangat masuk akal media merekrut lulusan Ilmu Komunikasi untuk bekerja di media karena pada umumnya, lulusan Ilmu Komunikasi diajari tata cara pengambilan foto maupun video saat kuliah. Saat ini, tata cara pengambilan foto maupun video bisa dipelajari siapa saja dengan bermodalkan smartphone atau otodidak belajar dari YouTube. Hal-hal teknis seperti wawancara, public speaking, hingga cara menjadi MC pun bisa dipelajari lewat bootcamp atau lagi-lagi, otodidak dari YouTube.

Jadi, saat ini, siapa saja bisa menguasai skill-skill yang dahulu hanya dipelajari dan dikuasai lulusan Ilmu Komunikasi karena semuanya bisa dipelajari lewat bootcamp atau bahkan secara otodidak. Karena itu, nilai jual lulusan Ilmu Komunikasi gak seistimewa dua atau tiga dekade ke belakang.

Apa yang bisa dilakukan lulusan Ilmu Komunikasi?

Saya gak bilang kalau lulusan Ilmu Komunikasi itu suram ya. Saya hanya bilang, kalau mau kerja di media, persaingannya cukup berat. Bukan berarti nggak bisa, ya.

Alternatifnya, lulusan Ilmu Komunikasi yang gak bekerja di media banyak yang bekerja sebagai marketing, sales, telemarketing, atau bidang sejenis lainnya. Sebab, saat kuliah, kita diajari ilmu pemasaran atau tata cara komunikasi yang efektif untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sayangnya, bidang ini pun lagi-lagi, banyak ditempati oleh orang dari berbagai disiplin ilmu sehingga, persaingannya cukup berat. Tapi sekali lagi, bukan berarti nggak bisa ya.

Kalau kamu bersisikuh ingin bekerja linier sesuai latar belakang Ilmu Komunikasi, kalian bisa fokus saja pada kompetisi yang biasanya hanya dikuasai oleh lulusan Ilmu Komnikasi.

Misalnya, menjadi akademisi bidang Ilmu Komunikasi yang kerjanya menganalisa gaya komunikasi politik para politisi, atau menganalisa gaya komunikasi campaign dari brand-brand terkemuka tanah air. Atau, bisa juga dengan menjadi menjadi konsultan komunikasi politik dari politikus atau partai politik atau konsultan komunikasi bisnis dari perusahaan-perusahaan yang membutuhkan konsultan komunikasi bisnis agar produk/jasanya semakin laku.

Kenapa di atas saya bilang, “Yang biasanya hanya dikuasai oleh lulusan Ilmu Komunikasi?”

Saat ini, saya bekerja sebagai Copywriter di salah satu kantor agensi periklanan di Kota Bandung. Sebagian besar rekan kerja saya, bukan lulusan Ilmu Komunikasi! Seperti yang saya bilang di atas, teknis fotografi, videografi, atau desain grafis saat ini dipelajari secara otodidak, bukan milik lulusan Ilmu Komunikasi semata.

Jika ditanya, “Apakah saya menyesal menjadi seorang sarjana Ilmu Komunikasi?”, jawabannya, tentu saja. Kalau boleh jujur, saya pinginnya masuk Fakultas Kedokteran atau ngambil Fisika di ITB. Tapi gak masuk. ~wqwqwq

Tapi gak ada gunanya berlarut-larut menyesal. Saat ini pun akhirnya saya bisa mejadi Copywriter setelah bertahun-tahun bekerja gak sesuai dengan bidangnya. Saya juga aktif menulis sebagai kontributor pada sejumlah media lainnya sembari mengasah skill menulis saya supaya suatu saat, saya bisa menulis buku kayak Raditya Dika atau Dewi Lestari.

Sebagai penutup, kalau boleh ngasih nasihat sih, ada baiknya kalian gak kuliah Ilmu Komunikasi apalagi Ilmu Jurnalistik. Pertama, biar saingan saya semakin berkurang. Kedua, lulusan Ilmu Komunikasi sudah terlalu banyak, lebih baik ambil jurusan lain yang Antimainstream seperti Astronomi atau Teknik Nuklir sekalian.