31 Mei
2024, Persib Bandung berhasil meraih predikat Juara Liga 1 2023/24. Di tengah
euforia tersebut, saya sedikit deg-degan karena beberapa jam sebelum
pertandingan final, saya sedang bekerja di Jakarta. Saat itu, salah satu teman
saya ada yang menghubungi saya untuk berhati-hati di Jakarta karena mobil yang
saya gunakan untuk bekerja platnya D alias berasal dari Kota Bandung.
Ia
khawatir saya akan jadi sasaran oknum The Jakmania yang akan menyerang mobil
saya di Jakarta maupun di sepanjang perjalanan kembali menuju Bandung seperti
yang terjadi pada 2014 yang lalu, ketika Persib Bandung juara. Syukurlah,
kekhawatiran tersebut akhirnya sirna karena pada pukul 21.00 saya sudah tiba di
Kota Bandung.
Begitu
tiba di rumah, salah satu teman kuliah saya membuat postingan melow yang
isinya, “Mamah, Persib Juara Lagi Mah!”
Beberapa
menit berselang, teman gym saya pun membuat postingan serupa dengan kalimat “Pa,
Persib Juara Deui. Alfatihah.”
Keesokan
harinya, saya melihat postingan salah satu Bobotoh dengan postingan yang lebih
melow lagi, “Tadi pagi sudah lapor ke makam Papah, Persib sudah juara lagi
Pah”, lengkap foto nisan dari makam sang Ayah yang dibalut syal bertuliskan
‘Persib Bandung’.
Melihat
ketiga postingan tersebut, saya jadi teringat Almarhum Ayah saya yang sudah
wafat empat tahun yang lalu. Bisa saya katakan, Ayah saya adalah Bobotoh Persib
sejati meskipun sejak saya lahir, saya belum pernah menyaksikan Ayah saya
menonton Persib di stadion atau sekadar memiliki jersey maupun merchandise
official Persib Bandung.
Namun jangan
ragukan kesetiaan Ayah saya pada Persib Bandung. FYI, Ayah saya kelahiran tahun
1939 sehingga Ayah saya sudah lebih tua dibandingkan sebagian besar Bobotoh Persib
yang merayakan kemenangan Persib Bandung jadi juara tahun ini. Ayah saya secara
literal adalah salah satu masyarakat Bandung yang menyaksikan tumbuh kembang
Persib Bandung bahkan dari sebelum negara ini merdeka.
Sebagai
seorang Bobotoh Persib, Ayah saya hampir tak pernah absen menonton Persib
meskipun hanya menontonnya dari layar televisi. Bahkan, beberapa minggu sebelum
dipanggil Yang Maha Kuasa, Ayah saya masih menonton pertandingan Persib dari
bed rumah sakit. Bahkan ketika para keponakannya datang menjenguk, ia masih
mengucapkan kalimat, “Kumaha euy Persib ayeuna?”
Jangan
ragukan bagaimana riweuhnya Ayah saya saat Persib bertanding. Ketika Eka
Ramdani gagal memanfaatkan peluang, ia akan berteriak saking gemasnya. Ketika
Atep berhasil mencetak gol, ia pun akan berteriak saking senangnya. Ketika
(oknum) wasit PSSI mencurangi tim kesayangannya pun, ia akan mengucapkan
kalimat sumpah serapah. Saat Persib bertanding, Ayah mendadak menjadi seorang
Pundit sepak bola dengan segala hipotesa yang dibuatnya secara mandiri.
Padahal,
kesehariannya berbanding 180 derajat. Di kesehariannya, Ayah saya hampir tak mengkritik
siapapun, termasuk pada Pemerintah Krypton yang telah mendzalimi rakyatnya. Ia
pun pernah berteriak pada siapapun, termasuk pada saya meskipun saya berbuat
salah. Saat menonton tim lain bertanding, semisal Real Madrid atau Manchester
United, ayah saya pun biasa saja. Gak pernah teriak-teriak sama sekali.
Pokoknya, Ayah saya menjadi orang yang berbeda saat menonton Persib.
Saya
langsung berpikir, “Kalau Ayah saya masih hidup, kira-kira apa komentarnya
ya Persib kembali juara setelah 10 tahun? Bagaimana ya komentar Ayah saya saat
menyaksikan berita Tragedi Kanjuruhan? Bagaimana ya komentar Ayah saya saat
menyaksikan Manchester United dibully netizen?”
Saya
pun sempat WhatsApp teman kuliah saya yang membuat postingan melow yang isinya,
“Mamah, Persib Juara Lagi Mah!”
Ia
berkata, “Duh, kalau masih ada kayaknya udah teriak paling kenceng”
Ia pun
bercerita bahwa ia menangis saat Persib berhasil menjadi juara. Lebih lanjut
lagi, ia menceritakan bahwa ia pertama kali menyaksikan Persib Bandung di
stadion saat kelas 6 SD dengan dikawal ketat oleh Almarhumah Ibunya. Ssaat
tahun 2014, ketika Persib juara, Almarhumah Ibunya memberinya sebuah es krim
gratis. Lalu ia menutup chat WhatsApp saya dnegan kalimat, “Alfatihah Nu yah
buat orang tua kita”
Saya
yakin, bukan hanya kami bertiga saja yang relate dengan cerita tersebut. Ada
ribuan Bobotoh Persib yang punya cerita yang sama. Pasalnya, rasa cinta pada
Persib Bandung itu diturunkan dari generasi kakek saya ke generasi ayah saya.
Rasa cinta itu pun diturunkan dari generasi ayah saya ke generasi saya. Lalu
rasa cinta itu pun diturunkan dari generasi saya ke generasi selanjutnya.
Saya
sendiri menyaksikannya saat Persib juara tahun ini. Lansia berusia 70 tahunan
yang membawa cucunya untuk merayakan Persib. Bapak-bapak usia 40 tahunan dengan
balitanya, hingga bocil-bocil yang masih duduk di bangku SD. Semua tumpah ruah
turun ke jalan untuk merayakan juaranya Persib Bandung.
Dari
Persib Bandung hingga Fenerbahçe
Saya
juga yakin, rasa cinta yang diturunkan pada sebuah klub sepak bola bukan hanya
terjadi pada klub kebanggaan Kota Bandung dan Jawa Barat tersebut. Rasa cinta
tersebut diturunkan pada seluruh klub sepak bola, mulai dari Manchester United,
Real Madrid, Juventus, maupun klub sepak bola lainnya.
Yang
paling iconic mungkin kisah Mumtaz Amca dan Ihsan Teyze, fans Fenerbahçe yang
sering diposting berbagai akun sepak bola dalam beberapa tahun terakhir ini, di
mana pasangan tersebut menyaksikan Fenerbahçe selama bertahun-tahun di stadion
hingga Ihsan Teyze meninggal dunia terlebih dahulu, lalu disusun Mumtaz Amca
beberapa tahun setelahnya. Fenerbahçe telah memberikan penghormatan kepada
sepasang kekasih ini dengan menaruh potongan karton bergambar Mumtaz Amca dan
Ihsan Teyze dan ditempatkan di kursi yang sering duduki mereka saat menonton
pertandingan Fenerbahçe.
Saya
hanya bisa membayangkan, bagaimana sedihnya Mumtaz Amca ditinggal terlebih
dahulu oleh Ihsan Teyze sehingga ia harus menyaksikan berbagai laga kandang
Fenerbahçe seorang diri sebelum akhirnya ia pun menghembuskan nafas terakhirnya
sebagai fans setia Fenerbahçe, seperti yang dialami oleh ketiga insan Bobotoh
yang sudah saya ceritakan di atas.
Merayakan tim kesayangan kita juara tanpa kehadiran yang terkasihi memang sedih. Seperti yang saya ceritakan di atas. Namun kita juga jangan tenggelam dalam rasa sedih itu. Kita harus terus maju dan melanjutkan spirit dari orang yang kita kasihi tersebut dengan terus mendukung tim kesayangan kita dengan sepenuh hati, apapun yang terjadi.
0 Comments