Will
Smith dan Muhammad Ali. Dua di antara deretan tokoh yang saya hormati dan saya
kagumi. Yang satu adalah seorang aktor kelas dunia, sedangkan yang satu adalah
atlet tinju profesional kelas dunia. Keduanya bersatu dalam sebuah film biopik
berjudul Ali (2001) yang saya ketahui setelah mendengar salah satu podcast
Pandji Pragiwaksono.
Sebagai
salah satu anak-anak yang tumbuh di tahun 90an, saya tidak asing dengan
film-film Will Smith seperti Bad Boys (1995), Independence Day (1996), Men in
Black (1997), hingga serial televisi berjudul The Fresh Prince of Bel-Air yang
dibintangi oleh Will Smith. Sebagai anak-anak yang tumbuh di tahun 90an, saya
juga tentu tidak asing dengan yang namanya Muhammad Ali. Semasa hidupnya,
Muhammad Ali adalah salah satu atlet dan tokoh Muslim yang dihormati dan
digemari banyak orang di seluruh dunia.
Maka
dari itu, ketika tahu bahwa Will Smith berperan sebagai Muhammad Ali dalam film
Ali (2001) pada podcast Pandji Pragiwaksono, saya langsung menontonnya. Namun
saya harus dibuat kecewa ketika menonton film ini.
Film
ini sama seperti film 90an dan 2000an awal yang mungkin hanya bisa dipahami
oleh generasi yang tumbuh pada era tersebut. Bercerita tentang perubahan nama
Cassius Clay menjadi Muhammad Ali setelah ia memutuskan menjadi mualaf. Film
ini pun terus berlanjut pada penolakan wajib militer Muhammad Ali dalam Perang
Vietnam karena bertentangan dengan idealisme yang diyakininya. Selain sibuk
berlatih, Muhammad Ali pun sibuk menghadapi dakwaan hukum atas penolakannya
terhadap wajib iliter tersebut.
Semula,
saya berharap film ini punya vibes yang sema seperti franchise Rocky yang
dibintangi oleh Sylvester Stallone, yakni banyak adegan-adegan tinju slow
motion yang memanjakan mata, maupun adegan latihan yang memotivasi saya untuk
terus konsisten pergi ke gym. Namun, adegan tinju slow motion yang memanjakan
mata maupun adegan latihan yang memotivitasi saya untukt erus konsisten pergi
ke gym sangatlah sedikit.
Baca
tulisan saya di Mojok: Mari
Bersepakat bahwa Rocky Adalah Film Olahraga Terbaik Sepanjang Masa
Sebaliknya,
film ini menyoroti aspek lain dari kehidupan Muhammad Ali, seperti hubungannya
dengan komunitas warga Amerika berkulit hitam keturunan Afrika, termasuk
Malcolm X, hingga gambaran kondisi sosial politik Amerika Serikat pada tahun 60
dan 70an yang sangat diskriminatif terhadap warga Amerika berkulit hitam
keturunan Afrika.
Sebetulnya,
aspek lain dari kehidupan Muhammad Ali ini menarik untuk disimak. Namun, bagi
saya, yang mengganggu adalah terlalu banyak adegan percintaan Muhammad Ali
dengan wanita yang pernah singgah di hatinya. Saya lebih memilih untuk lebih
fokus pada gambaran kondisi sosial politik Amerika Serikat pada saat itu
alih-alih kisah cinta Muhammad Ali. Apalagi, adengannya cukup vulgar, yang
bertolak belakang dengan nama besar “Muhammad” yang ada pada nama Muhammad Ali.
Itu saja sebetulnya. Karena di tahun 2024, sejak insiden 11 September 2001,
nama Islam sangatlah jelek yang diakibatkan kelakuan SDM Islamnya yang jelek
dibandingkan Golden Age of Islam berabad-abad yang lalu, dan standar ganda yang
dilakukan oleh Barat.
Bukan
berarti akting yang dilakukan oleh Will Smith ini jelek. Sebaliknya, akting
Will Smith sangatlah bagus di film ini meski menurut saya, akting terbaiknya
adalah pada film The Pursuit of Happiness (2006) yang bisa bikin mewek setiap
orang yang menontonnya.
Will
Smith secara sempurna menggambarkan kompleksitas sosok Muhammad Ali di luar
sosoknya sebagai petinju, seperti kegalauannya dalam kisah cintanya, idealisnya
dalam menolak wajib militer, hubungannya dengan Malcolm X, hingga bacot psywar
yang ia lakukan sebelum bertanding dengan lawan-lawannya.
Mungkin,
karena saya sendiri sudah tahu gambaran kisah perjalanan hidup Muhammad Ali itu
seperti apa, jadinya film ini sudah tidak terlalu istimewa lagi. Terutama
karena durasinya yang sangat panjang, jadi kesannya bertele-tele. Tidak seperti
enam film Rocky termasuk sekuel beda generasinya seperti Trilogy Creed yang
sangat memukau, yang memotivasi siapapun untuk berolahraga setelah menonton adegan
tersebut.
Meski
kecewa, saya cukup bisa menikmati film ini sih, terutama melihat perjuangan
Muhammad Ali, yang tetap idealis meski dihantam di sana sini. Ia tetap idealis dan
siap menanggung segala macam risiko yang ia bisa dapatkan, seperti Soe Hok Gie,
Widji Tukul, maupun Munir yang sangat idealis membela apa yang ia yakini.
Selain
itu, menurut saya, gambaran tubuh atletis Muhammad Ali itu seperti kurang
banget. Bukan berarti Will Smith gak latihan dengan keras untuk mencapai bentuk
fisik seperti itu, namun tubuh Will Smith tidak semirip Muhammad Ali di
kehidupan nyata. Itu saja.
0 Comments