Di
antara gempuran superhero Marvel dan DC, The Boys bagi saya adalah salah satu
alternatif universe superhero yang menyegarkan, dengan storyline alternatif
jika di dunia ini benar-benar ada sekelompok manusia super yang disebut dengan
superhero. Dengan Homelander
yang saya sebut sebagai Gambaran Realistis jika Manusia Dikasih Kekuatan Super.
Hanya
saja, di season keempatnya, terdapat banyak penurunan kualitas dari seluruh
aspek series ini.
Vought
sebagai perusahaan pembuat superhero ini seolah-olah hanya bekerja di Amerika
Serikat saja, sama seperti superhero Marvel dan DC, di mana cerita superhero
dan villainnya hanya berfokus di Amerika Serikat saja. Di season awal sempat
diceritakan sejumlah superhero Vought yang suka intervensi politik negara lain
dengan kekuatan supernya.
Saya
berharap Homelander ini akan seperti Superman di Arc Injustice yang menaklukkan
dunia bersama Darkseid setelah kematian Lois Lane di tangan Joker, seperti
Clark Luthor (versi Superman jika diadopsi oleh Keluarga Luthor alih-alih
Keluarga Kent), atau seperti Ultraman (versi Superman jika diadopsi oleh Joseph
Stallin), yang kejahatannya tingkat global, bukan sekadar kejahatan lobak
seperti yang Homelander lakukan di empat season The Boys.
Baca
tulisan saya di Mojok: Tanpa
Asuhan Keluarga Kent, Superman Nggak Akan Jadi Pahlawan
Jujur,
saya berharap The Boys bisa menjadi alternate universe di luar Marvel dan DC di
mana ia bisa menunjukkan Homelander yang seperti Superman dalam Arc Injustice.
Namun apa mau dikata, karena Homelander ini ibarat ikan besar di kolam kecil.
Ia terlhat seram karena di lingkungannya (di semesta The Boys), ia tak punya
saingan sama sekali, berbeda dengan Superman yang punya kelemahan berupa
Kryptonite, yang bisa kalah adu jotos dengan Diana Prince (Wonder Woman),
maupun dengan manusia biasa macam Bruce Wayne (Batman).
Sayang
sekali Homelander tidak digambarkan seperti diktator macam Stallin atau Hitler,
padahal ia sangat mampu. Dalam imajinasi Homelander, ia sendiri pernah
membayangkan untuk mealser ratusan orang di jalan yang ia anggap menyebalkan.
Sayang, itu hanya terjadi dalam imajinasinya. Saya betul-betul berharap
Homelander melakukan itu agar series ini dapat lebih memberi warna bagi para
penonton. Tapi tenang, saya juga tahu di dunia nyata ini pasti menyeramkan! Ini
hanya untuk memenuhi ego saa saja sebagai penonton.
Demikian
juga dengan Deep, yang merupakan plesetan dari Aquaman dalam semesta DC. Deep
mengklaim sebagai The King of Seven Seas layaknya Aquaman, tapi sepanjang empat
season The Boys, ia cuma berada di situ-situ saja, banyak menghabiskan waktu di
Gedung Vought alih-alih berkelana di Tujuh Samudera, atau meneror manusia
dengan menggunakan kekuatan supernya.
Baca
tulisan saya di Mojok: 3
Alasan Kita Suka Film Superhero meski Ceritanya Gitu-gitu Aja
So
far, hingga saat ini memang tidak ada series maupun movie superhero yang
sempurna. Mulai dari series superhero jadul macam Smallville (karena Clark Kent
sendiri baru bisa terbang di episode terakhir), sampai The Boys. Demikian juga series
superhero lainnya macam Arrow, Flash, hingga Supergirl.
Baca
tulisan saya di Mojok: Superhero
Fatigue: Ketika Film Superhero Mulai Bikin Enek
Kembali
ke Homelander. Awal-awal, saya dan jutaan orang yang menonton The Boys mungkin
terganggu dengan adengan menyusui Homelander. Tapi setelah ada episode tentang
ia yang disiksa sewaktu kecil oleh para ilmuwan Vought, rasanya jadi lebih
logis. Seperti itulah harusnya sebuah karakter dengan kompleksitasnya. Tidak
seperti Harry Potter dan Naruto, yang dari kecil tidak punya orang tua layaknya
Homelander, tapi mentalnya terlalu stabil dan kurang kompleks. Setidaknya, dari
sudut pandang orang yang tidak terlalu paham psikologi seperti saya ya.
Series
ini urang dapat memanfaatkan aktor dan aktris kelas atas di dalamnya macam Karl
Urban, Jeffrey Dean Morgan, hingga Elisabeth Shue, sama seperti Game of Thrones
yang berakhir anti klimaks.
Selain
itu, series ini pun saya nilai dirusak dengan agenda-agenda woke culture
seperti LGBTQ yang menurut saya sangat tidak cocok dimasukkan. Saya sendiri
tidak keberatan dengan storyline LGBTQ asalkan ditulis dengan bagus, seperti
pada series Game of Thrones, di amna LGBTQ bukanlah menjadi fokus utama, hanya
sebagai pemanis buatan selama beberapa menit atau bahkan beberapa detik saja.
Kalau sudah memaksakan adengan LGBTQ seperti season 4 series ini, saya pikir, terlalu
maksa!
Pada
akhirnya, series terbaik tetap saya sebut pada Breaking Bad. Mari
Bersepakat bahwa Breaking Bad Adalah Sebaik-baiknya Serial Televisi! Atau
setidaknya, Cobra
Kai, Serial Menarik Tanpa Jualan Nostalgia.
Sebagai penutup, tanpa mengurangi rasa hormat pada Starlight alias Erin Moriarty, "Kamu itu lebih cantik natural tanpa operasi plastik, lho!"
0 Comments