Sekitar 15 tahun yang lalu, saya sering membaca buku-buku motivasi atau self-improvement. Sebut saja buku-buku pemikiran dari Bob Sadino dan Andri Wongso hingga buku-buku pimiran dari Robert Kiyosaki, Donald Trump, hingga Warren Buffet. Untuk buku-buku self-improvementnya antaralain seperti Chicken Soup for the Soul, Atomic Habit, atau The 5 AM Club. Sampai beberapa tahun yang lalu pun, saya masih sempat membaca buku Secrets karya Rondha Byrne tentang law of attraction.

Namun seiring berjalannya waktu, saya merasa bahwa buku-buku seperti The 5 AM Club karya Robin Sharma atau Secrets karya Rondha Byrne tentnag law of attraction itu tidak masuk untuk saya. Banyak di antaranya cacat logika bahkan pseudoscience.

Dalam ilmu logika ada salah satu bentuk kecatatan logika. Contohnya, survivor bias. Isinya kurang lebih hanya menunjukkan orang-orang yang bercerita bahwa mereka berhasil pakai suatu metode dan mengasumsikan bahwa itu sebagai satu-satunya cara sukses tanpa melihat jutaan orang yang pakai cara sama tapi gagal dalam meraih kesuksesan.

Dalam ilmu sains, ada kasta tertinggi bernama meta-sains. Contohnya, gym sampai failure, dengan variabel seperti mechanical tension, muscle damage, dan metabolic stress akan merangsang otot untuk tumbuh lebih besar dan kuat. Ditambah, dengan surplusnya kalori, di mana kalori yang masuk melebihi kebutuhan kalori harian alias TDEE. Contoh di atas terlalu rumit? Contoh lain yang lebih sederhana adalah air mendidih pada suhu 100°C dan beku pada suhu 0°C.

Meta-sains itu bisa diulang oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun, dan hasilnya akan sama. Hasilnya bisa diprediksi, ada data kuantitatif yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tentu saja, sudah melewati proses review ketat dan melibatkan banyak ilmuwan dalam proses verifikasinya.

Nah, buku self-improvement itu seringkali gak ada meta-sainsnya sama sekali. Seringkali menggunakan narasi “Saya bangun jam lima pagi dan sukses. Kalau kam melakukan hal yang sama, kamu pasti bisa sukses kayak saya!

Narasi tersebut pun mengabaikan faktor seperti privilege, koneksi, hingga tentu saja, keberuntungan. Bob Sadino berkata bahwa kunci kesuksesannnya adalah kenekatannya. Kunci kesuksesannya adalah ia gak text book, tapi lupa menyebutkan bahwa keluarganya itu udah kaya dari sononya makanya beliau bisa plesir ke Eropa, bisa punya Mercedes-Benz di tahun segitu, dan gak takut buat drop-out dari Universitas Indonesia. Hal seperti ini gak bisa dipastikan hasilnya jika diulang pada orang lain. Buku self-improvement itu lebih mirip dongeng alih-alih science-based advice.


Sama seperti ibadah, atau lebih tepatnya melakukan ritual ibadah (bentuk apapun) yang gak bisa dibuktikan secara sains. Di gym, kalori surplus+latihan sampai fail+progresive overload itu otot pasti jadi. Namun doa dan ibadah, bisa jadi hasil dua individu yang sama-sama berdoa selama lima tahun, bisa jadi satu individu dikabulkan, sedangkan individu yang lain tidak dikabulkan sama sekali, padahal kuantitas dan kualitas doa maupun usahanya katakan sama-sama di angka 7/10.

Dalam konteks olahraga, hukum sebab-akibat itu tegas. Ilmu fisiologi manusia di mana surplus kalori, intentsitas latihan keras dan progresive overload akan menghasilkan otot lebih kuat dan lebih besar. Tapi dalam ibadah/doa, hukum sebab-akibat itu ambigu, seperti contoh yang sudah saya sebutkan di atas. Hasilnya bisa beda, atau bahkan random, dan gak ada hubungan sebab-akibatnya sama sekali. Inilah bedanya law-governed system dan faith-based system.

Dalam konteks olharaga, latihan fisik itu bisa diukur segala sesuatunya. Bisa diprekdisi. Bisa diuji berulang. Namun dalam konteks iabadah/doa, hasilnya tak bisa dikontrol. Tidak bisa dipreksi. Semua terserah pada Tuhan, yang tentu saja tidak bisa diukur dengan metode sains apapun.

Tapi ya jangan salah. Pada akhirnya, saya tidak menafikan bahwa buku-buku self-improvement tetap bisa membawa manfaat bagi sebagian orang — terutama sebagai sumber motivasi, semangat baru, atau bahkan perspektif berbeda dalam menjalani hidup. Konsep seperti law of attraction memang bukan hukum sebab-akibat yang saintifik. Namun, bukan berarti tidak berguna sama sekali.

Walaupun law of attraction secara ilmiah adalah pseudoscience (tidak bisa dibuktikan dengan metode ilmiah), ada manfaat psikologis nyata yang bisa muncul dari penerapannya, seperti meningkatkan rasa percaya diri dalam menghadapi hidup.

Misalnya, ketika kita optimis bahwa hari ini akan terjadi sesuatu yang positif, kita bisa tetap tenang dan semangat—meskipun secara realistis, kita sadar bahwa 99,99% usaha dan doa manusia lebih banyak menemui kegagalan daripada keberhasilan. Dan sikap positif ini tentu saja sangat berguna, untuk menjaga ketenangan batin dan melihat segala sesuatu dengan lebih jernih.