Sebelum
memulai tulisan ini, saya ingin mengucapkan rasa hormat dan terimakasih yang
sebesar-besarnya pada Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta), Sang Proklamator
sekaligus Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Terimakasih atas segala
jasamu bagi bangsa dan negara ini.
Sejak
kecil, tipis-tipis saya sudah diajari oleh kedua orang tua saya bahwa Soekarno
dan Hatta adalah dua tokoh hebat pendiri bangsa ini. Kedua orang tua saya
menceritakan kisah heroik Soekarno dan Hatta saat saya singgah di Bandara
Soekarno–Hatta di tahun 90an. Bayangan saya saat itu, mereka berdua layaknya
Tommy Oliver si Ranger Putih dan Jason Lee Scott si Ranger Merah dalam serial
Mighty Morphin Power Rangers.
Memasuki bangku SD hingga SMA, kedua orang tua saya kembali menceritakan bagaimana heroiknya Soekarno melalui pidato-pidatonya karena ayah saya yang lahir pada tahun 1939 menyaksikan bagaimana kharimastiknya pidato Soekarno. Ayah saya menceritakan bahwa tak ada seorang pun yang ngobrol apalagi main HP ketika Soekarno berpidato di lapangan terbuka maupun saat pidatonya diperdengarkan d radio, tidak seperti ketika pemimpin masa kini berpidato, banyak yang cengengesan dan main HP.
Ayah
saya pun menceritakan betapa besarnya influence Soekarno yang mampu membuat
Konferensi Asia Afrika, kutipan pidato legendarisnya, yakni “Go to Hell with
your aid” dan “Ganyang Malaysia”, hingga romantisnya pertemuan
Soekarno dan John F. Kennedy pada medio 60an.
Di
bangku kuliah, rasa cinta saya pada Soekarno semakin besar setelah membaca buku
Bung Karno - Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Saya
pun semakin fanatik dengan Bung Karno setelah adaptasi filmnya yang diperankan
Ario Bayu dan disutradarai Hanung Bramantyo tayang di bioskop. Sebagai
mahasiswa ilmu komunikasi, saya merinding menyaksikan Sang Singa Podium
berpidato, meski itu hanya dalam bentuk adaptasi filmnya saja.
Soekarno
memang heroik, tapi....
Semakin
dewasa, saya akhirnya sadar bahwa Soekarno bukanlah manusia yang sempurna tanpa
cela, terutama ketika membaca buku Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie. Soe
Hok Gie yang berkata bahwa Soekarno telah mengkhianati idealisme yang dulu ia
perjuangkan karena semakin otoriter dan tidak berpihak pada rakyat dengan
Demokrasi Terpimpin maupun Presiden Seumur Hidupnya.
Hal
ini pun diperparah dengan kehidupan pribadi Soekarno yang menikah berkali-kali.
Mohon maaf, tanpa bermaksud mengecilkan jasa Soekarno, dari kacamata zaman
sekarang ya bisa dibilang redflag.
Hatta
punya banyak kelebihan yang tak dimiliki Soenarno
Sejak
kecil saya menganggap Bung Hatta tak ubahnya seperti Jason si Ranger Merah.
Kuat, tapi tidak sekuat Tommy Oliver si Ranger Putih. Seperti Hawkeye dalam
film Marvel, perannya gak sesignifikan Ironman dan Captain America, bukan?
Padahal,
Bung Hatta adalah otak di balik banyak kebijakan ekonomi Soekarno dari balik
layar pada awal kemerdekaan. Beliau pun punya banyak peran dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia, bukan hanya sebagai “tokoh kelas kedua” macam
Ranger Merah atau Hawkeye. Mohon maaf, dulu saya punya pikiran gini karena buku
sejarah maupun kurikulum sejarah saat saya sekolah tidak banyak menjelaskan
peran Bung Hatta secara detail.
Yang
bikin saya menaruh hormat pada Bung Hatta bukan hanya itu. Integritas Bung
Hatta patut kita teladani. Saat
pemerintahan Soekarno beliau nilai melenceng dari idealisme yang beliau anut
pun, beliau memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden. Beliau pun tidak mau
memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Dalam
urusan asmara pun Bung Hatta pun kelebihan dibandingkan Soekarno, yakni
kesetiaannya. Beliau pernah bertekad untuk tidak akan menikah sebelum Indonesia
merdeka supaya gak ada distraksi apapun. Supaya bisa tetap fokus bekerja. Suatu
hal yang harus diteladani oleh saya yang belum menikah.
Ada
satu hal besar bikin saya sangat menaruh hormat pada Bung Hatta. Hingga akhir
hayatnya, beliau tidak memiliki rumah pribadi. Jangankan itu, beliau pun harus
menabung bertahun-tahun untuk sekadar membeli sepatu impiannya. Beliau pun
tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena beliau ingin tetap
di tengah rakyat yang nasibnya ia perjuangkan. Suatu hal yang harus diteladani
seluruh pejabat maupun seluruh rakyat Indonesia, termasuk saya.
Akhirnya,
saya menyimpulkan bahwa Bung Hatta bukan sekadar “tokoh kelas kedua”.
Justru beliau adalah tokoh utama yang sangat underappreciated. Beliau
tak ubahnya seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dan Haji Agus
Salim, yang jasa serta pemikirannya tenggelam di bawah bayang-bayang Soekarno.
Sudah
saatnya Bung Hatta dan tokoh-tokoh lainnya lebih digali lagi dalam kurikulum
pelajaran sejarah pendidikan kita. Biar generasi penerus saya gak lagi kayak
saya, menganggap Bung Hatta sekadar “tokoh kelas kedua”,
padahal banyak pemikiran maupun teladan yang bisa kita ambil contoh dari
tokokh-tokoh tersebut.
Saya
pun jadi berandai-andai, apa yang terjadi ya, jika Bung Hatta, Tan Malaka,
Sjahrir, M. Natsir, atau Haji Agus Salim yang jadi Presiden pertama Indonesia
alih-alih Bung Karno? Apakah akan lebih baik? Atau bagaimana ya Indonesia saat
ini? Mungkin jawabannya hanya ada di semesta lain.
Sebagai
penutup, saya saya ucapkan pada rasa terimakasih yang sebesar-besarnya Bung
Hatta atas segala jasa-jasamu. Termasuk juga pada Soekarno, Sjahrir, Mohammad
Natsir, Haji Agus Salim, dan tokoh lainnya pejuang kemerdekaan bangsa ini yang
tak bisa saya sebutkan satu persatu.
0 Comments