Entah
sudah berapa banyak manga atau buku Jepang yang sudah saya baca, tapi
nampaknya, untuk novel, novel berjudul Convenience Store Woman karya Sayaka
Murata adalah novel Jepang pertama yang pernah saya baca.
Saya
tertarik membaca novel ini karena cover serta judulnya cukup sederhana. Vibesnya
seperti sitkom “Friends”, “How I Met Your Mother” atau “Modern Family” yang
judulnya simpel. Bayangan saya, novel “Convenience Store Woman” ini ya
bercerita tentang seorang wanita yang bekerja di convenience store atau toserba/mini
market. Dan memang seperti inilah novel tersebut.
Novel
ini punya tokoh utama bernama Keiko Furukura, yang sudah bekerja part-time
selama 18 tahun di salah satu mini market sejak usianya menginjak 18 tahun. Keiko
ini tipikal wanita pekerja keras. Ia gak pernah bermalas-malasan dalam bekerja,
selalu rajin merapikan barang, dan juga tak pernah terlambat masuk kerja.
Di
usianya yang ke-36, ia dianggap aneh, sekalipun oleh masyarakat Jepang karena
belum menikah apalagi punya anak. Ia pun dianggap aneh karena di usia setua
itu, masih bekerja di minimarket. Karena yang bekerja part-time di usia segitu
biasanya ya ibu rumah tangga untuk nambah-nambah pemasukan gitu.
Hingga
suatu saat, ia bertemu cowok mokondo bernama Shiraha, yang kerap kali mengeluh
tentang struktur sosial Jepang yang gak cocok untuk dirinya. Tentang patriarki,
tentang feminisme, dan struktur sosial lainnya yang mendikte setiap orang untuk
ambil perannya masing-masing secara tidak adil.
Menarik
sekali membaca karya Sayaka Murata ini, karena saya yakin, Sayaka Murata juga
sempat bekerja di salah satu toserba/mini market, makanya punya ide untuk
menulis cerita ini. Saya gak kenal dengan Sayaka Murata tapi saya yakin
kepribadian dan kisah hidupnya gak jauh seperti Keiko Furukura dalam novel yang
ia tulis.
Anyway,
novel karya Sayaka Murata ini novel yang ringan dan bisa dibaca sampai tamat
kurang dari tiga hari karena hanya 159 halaman (versi Bahasa Indonesia). Cukup
menghibur dan saya belajar banyak dari novel ini.
Saya
belajar bahwa di Jepang, orang lebih common untuk berbelanja ke mini market
alih-alih supermarket besar. Beda dengan Amerika Serikat karena di Jepang,
orang lebih banyak berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi
publik. Jadi, keberadaan mini market (sejenis Alfamart/Indomaret) di Jepang itu
sangatlah vital.
Di
satu sisi, saya juga iri deh dengan Jepang, karena di novel ini diceritakan,
banyak anak SMA, mahasiswa, atau ibu-ibu yang kerja part-time di minimarket,
beda dengan Indonesia, di mana hampir gak ada anak SMA, mahasiswa, atau ibu-ibu
yang kerja part-time di minimarket. Jepang sampai kekurangan orang untuk
bekerja, sampai-sampai ada beberapa warga negara asing yang dipekerjakan di
mini market dalam novel tersebut. Sedangkan Indonesia gak pernah kekurangan
pekerja, tapi selalu kekurangan lapangan pekerjaan.
0 Comments