Beberapa
tahun ini, sebagai kaum mendang-mending, saya sering motoran keliling Bandung
di sore atua malam hari, setelah semua pekerjaan sudah saya selesaikan. Gak ada
tujuan pasti, hanya berkeliling keluyuran saja, melihat gedung-gedung
peninggalan Belanda di sekitar Asia Afrika, rumah-rumah vintage di sekitarnya,
beberapa gedung sekolah yang dibangun pada era Orde Lama maupun Orde Baru, lalu
kembali ke rumah.
Baca
tulisan saya di Mojok: Bandung
Kota Kuliner, tapi Orang Asli Bandung Jarang Kulineran
Sedihnya,
memasuki Jalan Braga, Asia Afrika, Otista dan sekitarnya, saya melihat
pemandangan yang bikin ngeri. Sejumlah tuna wisma tidur di depan pertokoan yang
ada di sana, beralaskan kardus, dan menggunakan sarung atau jaket sebagai
selimut. Lalu lintas kendaraan bermotor masih ramai, tapi entah kenapa mereka
tidur sangat nyenyak? Mungkin karena sudah lelah seharian berjalan kaki kesana
kemari mencari nafkah.
Baca
tulisan saya di Mojok: Romantisisasi
Kota Bandung sebagai Kota Wisata yang Mulai Memuakkan
Tidak
jauh dari sana, saya memasuki Jl. Moch. Toha, dekat ITC Kebon Kalapa,
pemandangannya lebih ngeri lagi. Beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK) lagi
mangkal menunggu pelanggan. Well, saya sendiri gak akan nge-judge mereka yang
bekerja sebagai PSK, sebab hidup memang sesulit itu. Sebagian besar dari mereka
tentunya terpaksa bekerja seperti itu karena cari pekerjaan yang halal
sangatlah susah. Sekalipun dapat, upahnya sangatlah besar, jam kerjanya
panjang, dan lingkungan kerjanya toxic.
Baca
tulisan saya: Memaknai
Lagu Kupu-Kupu Malam Karya Titiek Puspa
Saya
jadi teringat, betapa klisenya ceramah para pemuka agama seperti “Rezeki
sudah diatur, tidak akan tertukar. Apa yang sudah ditetapkan padamu tidak akan
tertukar dengan orang lain”
Mohon
maaf, tapi bagi saya, itu klise banget! Sangat template karena setiap hari saya
didoktrin untuk sekadar mempercayai hal tersebut tanpa bisa mengkritisinya.
Rezeki memang sudah diatur, tapi kenapa semua ada pada oligarki? Saya gak
bilang oligarki Indonesia, tapi ya para elite global macam Elon Musk, Bill
Gates, British Royal Family maupun Rotschild Family yang sering digadang-gadang
oleh penyuka teori konspirasi sebagai dalang segala hal yang ada di dunia ini.
Dalam skala lokal, rezeki itu katanya sudah diatur, tapi kenapa semua ada pada
Rafathar?
Beberapa
tahun yang lalu, saya membaca artikel
Guardian yang menyebutkan bahwa gabungan kekayaan 26 orang terkaya di dunia
saja mencapai US$ 1,4 triliun atau setara dengan Rp 20.300 triliun tahun lalu.
Jumlah tersebut sama dengan total harta 3,8 miliar orang termiskin di dunia.
“Tapi
kan rezeki gak cuma berbentuk materi, bisa jadi kesehatan, teman yang baik,
keluarga yang baik, dan hal-hal non materil lainnya”
Sekali
lagi, kalimat tersebut adalah kalimat klise pemuka agama yang nampaknya sengaja
disebarluaskan agar orang-orang malas bekerja, agar orang-orang Nrimo ing
pandum (filosofi hidup Jawa yang berarti "menerima segala
pemberian" atau "ikhlas menerima apa yang telah diberikan Tuhan").
Rezeki
tak akan tertukar, tapi coba lihat berapa juta orang yang mati kelaparan di
Afrika? Berapa juta anak yang mati di Palestina? Dan Tuhan Yang Maha Kuasa pun
masih diam saja, padahal Ia bisa langsung menghilangkan penderitaan yang ada di
dunia ini dengan sekejap.
Tuhan
bisa menolong Nabi Musa saat beliau dikejar-kejar Firaun di Laut Merah dengan
membuatnya bisa membelah lautan, tapi kenapa Tuhan tidak langsung menurunkan petir
pada seorang wanita yang hendak diperkosa dan dibunuh supaya wanita tersebut
tidak menderita? Kenapa?
Jawabannya
lagi-lagi selalu klise seperti “God’s works in mysterious way” atau “Ini
rahasia Tuhan yang ada hikmah di baliknya, yang gak akan bisa dimengerti manusia.”
Saya
tidak menawarkan jawaban teologis. Jawaban yang disodorkan pemuka agama kerap
berbentuk nasihat pasrah yang gak ada status quonya sama sekali. Kalau Tuhan
ada dan berkuasa, mengapa ketidakadilan struktural, yang bisa diatasi oleh
kebijakan, redistribusi, dan solidaritas, tetap berlangsung?
Tapi
ya, bukankah Tuhan Anti Kritik? Ketika Tuhan hendak menciptakan manusia,
malaikat skeptis dengan hal tersebut karena iya yakin manusia akan merusak
Bumi. Tapi Tuhan menjawabnya dengan “Gua lebih tahu dari elu, Malaikat.”
Memang benar, manusia hanya bisa pasrah. Tapi kalau benar rezeki sudah diatur dan semua penderitaan ini punya “hikmah”, kenapa hikmah itu selalu lebih sering jatuh ke tangan orang kaya? Saya hanya ingin bertanya: kalau Tuhan benar ada dan berkuasa, untuk siapa sebenarnya Ia berpihak?
Sekalipun orang-orang yang dibiarkan menderita di dunia ini pada akhirnya masuk Surga dan yang dikasih enak di dunia ini masuk Neraka, rasanya sangat absurd? Tuhan seolah-olah seperti sutradara yang senang melihat tokoh yang Ia ciptakan sangat menderita sebelum akhirnya dikasih happy ending. Mungkin saya terlalu banyak bertanya. Tapi kalau pertanyaan ini dianggap kufur, bukankah lebih aneh lagi? BUkannya Tuhan ngasih akal ke manusia? Tapi kenapa dilarang untuk dipakai?
0 Comments