Tentu,
tulisan ini sangatlah bias.
Entah
kenapa, 2025 terasa sangat melelahkan? Too much information that slowly kills
you. Informasi sangat mudah didapatkan dalam geganggaman jari. Pembunuhan Carlie
Kirk di Amerika Serikat dapat dengan mudah diakses beritanya via smartphone.
Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, berita pembunuhan Carlie Kirk hanya
bisa diakses keesokan harinya via surat kabar. Mentok-mentok, lewat breaking
news yang secara rutin ditayangkan setiap beberapa jam sekali di televisi atau
radio.
Those
era, those simpler times.
Ada beberapa
malam di tahun 2025 ini, di mana saya terbangun pada tengah malam, alih-alih
kembali tidur biar dapat fresh untuk beraktivitas di pagi hari, saya malah
membuka smartphone saya. Alih-alih membalas pesan yang masuk, menulis email
atau membaca inforasi berharga, saya malah doomscrolling media sosial yang
isinya setengah-setengah. Bukan membaca artikel lengkap atau video lengkap yang
menjelaskan sesuatu.
Tahu-tahu,
dua jam dari jatah hidup yang sudah diberikan Tuhan pada saya pun berakhir
sia-sia.
Itulah,
yang saya benci dari era smartphone. Memang, sebelum kemunculan smartphone, ada
masa ketika saya masih terjaga pukul tiga pagi, entah menonton series, menonton
film, membaca buku, atau simply mengambil paket malam untuk main game di
warnet. Tapi at least, zaman itu, tidak ada doomscrolling sama sekali.
Padahal,
informasi yang saya scroll-scroll itu gak ada faedahnya sama sekali. Memang,
pada mulanya saya melihat potongan informasi tentang fenomena demonstrasi di Nepal,
di mana Gen Z Nepal menggulingkan Pemerintahan Nepal dengan brutal. Tapi
alih-alih membaca artikel lengkapnya via portal berita, saya cuma liatin screenshot
artikel beritanya saja. Alih-alih menonton video investigasi lengkapnya, saya
cuma nonton potongan video sepanjang satu atau dua menit saja.
Lima
belas tahun yang lalu, saya dipaksa menonton laporan jurnalistik dengan durasi
setengah jam via televisi atau membaca artikelnya di surat kabar selama
beberapa paragraf. Di sana dijelaskan kronologisnya secara sistematis, baik
kronologis peristiwa, siapa saja yang terlibat, apa, siapa, dan bagaiman, 5W +
1H sesuai kaidah jurnalistik, sangat berbanding terbalik dengan sekarang.
Tak
hanya tentang peristiwa penting seperti peristiwa yang terjadi di Nepal.
Bahkan, sekadar scroll media sosial yang isinya postingan teman atau keluarga
terdekat saya saat mereka pergi liburan atau update kehidupannya pun saya lihat
sekilas. Meskipun ia berfoto dengan Eifel Tower, Empire State Building, bahkan
Ka’bah.
Lima
belas tahun yang lalu, di akhir kejayaan MySpace dan Friendster, serta awal
kemunculan Facebook, saat seseorang posting foto liburannya, saya, dan
kebanyakan dari kita, minimal akan mengagumi foto tersebut selama beberapa
menit, mengucapkan sejumlah komentar, sebelum scroll pada postingan lain. Sekarang?
Hanya 1-2 detik lalu scroll pada postingan lainnya.
Lima
belas tahun yang lalu, saat tiba-tiba ada berita transfer Cristiano Ronaldo
dari Manchester United ke Real Madrid yang memecahkan rekor transfer termahal
saat itu, tiba-tiba surat kabar dan majalah terjual habis. Bahkan mereka yang
tidak puas setelah membaca informasi tersebut sengaja pergi ke warnet terdekat
untuk dapat informasi lebih lengkap.
Baca
tulisan saya di Mojok: Mengenang
Kejayaan Warnet, Rumah Pertama Gamer di Indonesia
Sekarang?
Sekalipun Cristiano Ronaldo pindah ke Persib Bandung pun orang akan bereaksi “Oh,
ya udah sih”, sama seperti ketika orang mendengar berita penembakan pada salah
satu sekolah di Amerika Serikat, orang pun bereaksi biasa saja saat melihat
postingannya di media sosial.
Ketika
berdiskusi dengan orang lain, baik di internet atau di dunia nyata, fenomena doomscrolling
ini seperti sudah jadi pandemi tersendiri. Ternyata, ada banyak orang yang
mengalami hal serupa dengan saya.
Bahkan,
orang-orang yang saya hormati, para guru saya, akademisi, dokter, dan
orang-orang terdekat saya pun melakukan hal tersebut. Saya amati, ketika duduk
menunggu pesawat atau kereta, mereka pun melakukan doomscrolling. Saya bisa
tahu ini, karena ya saya melihat mereka litterally cuma doomscrolling, bukan
mengetik, atau mengambil foto/video.
Saya
berupaya mengurangi doomscrolling dengan meletakkan smartphone saya di meja dan
mengganti doomscrolling dengan membaca medsos dari laptop supaya duduk tengah
alih-alih duduk nyender apalagi rebahan, seringkali, setiap tiga puluh menit
sekali, saya kembali rebahan atau duduk nyantai, sekadar untuk doomscrolling.
Hidup
ini singkat kan ya? Mentok-mentok, umur manusia modern ini 100 tahun. Tapi
entah kenapa, sepertinya, saya dan miliaran umat manusia lainnya akan
menghabiskan waktu untuk doomscrolling alih-alih hidup di dunia nyata. Memang
sih, dua puluh higga tiga puluh tahun lalu, manusia pun mengalami fenomena
serupa seperti menonton TV seharian, membaca buku seharian, atau mendengarkan
musik seharian, tapi rasanya, gak setoxic doomscrolling. Sudah banyak
penelitian yang bilang bahwa doomscrolling ini bikin anxiety atau dampak
negatif lainnya, tapi ya tetap saja sulit dihindari, bukan?
0 Comments