Seingat
saya, ini adalah kali keempat saya marathon sitkom How I Met Your Mother,
sitkom terbaik sepanjang masa. Setidaknya, bagi saya.
Saya
tahu, sebagian besar penonton How I Met Your Mother menganggap ending sitkom
ini sangat membagongkan karena alih-alih Tracy McConnell muncul di samping Ted
Mosby di hadapan kedua anak mereka, Tracy ternyata sudah meninggal dunia.
Terlebih, Ted Mosby malah balikan lagi dengan Robin Scherbatsky. Kayak muter
aja gitu, sitkom ini diawali dengan blue french horn, dan diakhiri dengan blue
french horn alih-alih yellow umbrella.
Baca
tulisan saya di Mojok: Andaikan
Pemeran ‘How I Met Your Mother’ Hidup di Jakarta
Bagi
saya, mereka-mereka yang menganggap ending sitkom ini membagongkan hidup dalam
dunia fantasi. Mungkin mereka menganggap dunia ini berjalan sebagaimana
mestinya seperti ending sitkom Friends, Modern Family, maupun The Big Bang
Theory yang happy ending. Dude, dunia nyata justru berjalan seperti layaknya sitkom
How I Met Your Mother!
Baca
tulisan saya di Mojok: Sitkom
‘Friends’ Adalah Sitkom Era 90-an Paling Ikonik Sepanjang Masa
Ending
Season 9 menceritakan bahwa The Gang, yang terdiri dari Ted Mosby, Marshall
Eriksen, Lily Aldrin, Barney Stinson dan Robin Scherbatsky udah jarang banget
nongkrong. Tidak seperti 8 season sebelumnya di mana hampir setiap hari mereka
bisa nongkrong di MacLaren's Pub sampai tengah malam.
Sekarang,
mereka gak bisa kayak gitu lagi. Ted sudah sibuk dengan Tracy dan kedua
anaknya. Marshall dan Lily juga semakin sibuk dengan ketiga anaknya. Sejak
bercerai dengan Barney, Robin sibuk ke luar negeri sebagai jurnalis. Sejak
bercerai dengan Robin, Barney sibuk dengan hook-up culturenya.
Bukankah
kehidupan sebagian besar dari kita seperti itu? Apalagi kita-kita yang berusia
lebih dari 30 tahun?
Semakin
tua, teman kuliah, teman SMA, teman satu organisasi, saudara kandung, sepupu
terdekat maupun teman satu hobi jarang sekali kita temui? Padahal saat berusia
lebih muda, hampir setiap hari kita bertemu dengan mereka dari pagi ke pagi
lagi?
Semakin
tua, meskipun tinggal di kota yang sama, meskipun sama-sama punya pekerjaan
yang agak santai dan jam pulangnya reasonable serta salarynya manusiawi, meskipun
jarak tempat tinggal saling berdekatan, meskipun tidak ada masalah pribadi satu
sama lain, meskipun semua orang dalam circle tersebut pada childfree sekalipun,
saya gak yakin bakalan terus nongkrong setiap hari.
Semakin
tua, setiap manusia akan punya prioritas yang berbeda, sama seperti yang
ditunjukkan dalam sitkom How I Met Your Mother. Saya yakin, para kreator How I Met
Your Mother berusaha ngasih realita pada kita semua. Supaya kita gak terbuai
dalam teori kultivasi media yang sudah usang tersebut.
Jangan
salah, saya adalah tim yang mendukung Ted Mosby dan Tracy McConnell. Saya
sendiri sedikitnya merasakan apa yang Ted rasakan di mana saya masih single di
usia 30an. Bedanya, Ted sudah stabil secara finansial sebagai arsitek dan juga
dosen, sedangkan saya masih serabutan. ~wqwqwq
Ending
How I Met Your Mother itu ngasih pelajaran pada kita semua bahwa hidup jarang
berakhir bahagia seperti yang kita inginkan. Inti dari ending ini bukanlah
kisah cinta Ted dan Tracy yang so sweet dan happy ending.
Sebagai
makhluk dimensi ketiga, kita tidak bisa mengubahnya. Tidak seperti makhluk dimensi
keempat atau dimensi kelima, yang menurut Einstein dan Hawking, bisa
menjelajahi masa lalu dan masa depan. Waktu mengubah segalanya, termasuk
hubungan kita dengan manusia lain. Dan itulah inti sejati dari cerita ini.
Tapi
ya sebenarnya kalau benar-benar ingin menyajikan realitas hidup, harusnya para
kreator How I Met Your Mother memasukkan adegan yang lebih sedih lagi pada
endingnya, seperti pemakaman Tracy yang bahkan terasa lebih menyedihkan
dibanding episode ketika Marshall kehilangan ayahnya atau ketika Barney
menuntut 30 tahun yang hilang dari ayahnya.
Bayangkan
kalau adegan pemakaman Tracy disajikan dengan atmosfer sederhana tapi menyayat,
seperti saat Marshall menerima kabar ayahnya meninggal. Itu akan membuat ending
HIMYM bukan hanya realistis secara naratif, tapi juga jujur secara emosional. Sebuah
tamparan pelan tapi dalam tentang waktu, kehilangan, dan cinta.
0 Comments