Pembukaan. Saya ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya pada Brian Khrisna atas salah satu karya terbaiknya yang berjudul Bandung Menjelang Pagi. Saya juga ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya pada Pidi Baiq atas salah satu karya terbaiknya, Dilan Universe. Kalian berdua menceritakan Bandung dari dua sisi yang berbeda dan sama bagusnya, sama seperti Dewa 19 baik saat era Ari Lasso atau Once Mekel.

Ok, sudah cukup pembukaannya ya.

Pastinya, ada banyak anak muda, terutama muda-mudi Bandung yang mengidolakan Dilan dan Milea, termasuk saya. Tapi setelah membaca buku berjudul Bandung Menjelang Pagi, kini saya punya idola baru, yakni Dipha dan Vinda.

Jika Dilan dan Milea menceritakan Bandung pada tahun 90an dengan segala serba-serbinya, Dipha dan Vinda menceritakan Bandung pada tahun 2020an dengan segala serba-serbinya. Jika Dilan dan Milea mengambil sisi terang Bandung, Dipha dan Vinda mengambil sisi gelap Bandung. Dilan dan Milea bisa dianalogikan seperti Superman dengan optimismenya, sedangkan Dipha dan Vinda bisa dianalogikan seperti Batman dengan pesimismenya.

Kira-kira seperti itulah.

Bandung Menjelang Pagi menceritakan sisi gelap Bandung yang tidak dilihat pembaca maupun penonton Dilan Universe. Biar bagaimanapun, Dilan dan Milea adalah anak SMA Kota Bandung dengan penuh privilege. Tahun 90an bisa punya motor, mobil, dan punya rumah di tengah kota. Sedangkan Dipha dan Vinda, beserta tokoh di dalamnya adalah orang-orang pinggiran yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat Kota Bandung.

Dipha yang kerja serabutan, entah sebagai penjual bacang, tukang gosok toilet atau waiter di toko kue, berbeda dengan Dilan yang termasuk kalangan berada karena saat ia duduk di bangku SMA, ia memiliki jaket jins dan menunggangi sepeda motor Honda CB di tahun 90an.

Demikian juga Vinda. Vinda yang tak bisa kedinginan, menghirup debu, atau terlalu capek karena sakit yang diteritanya, tentu berbeda dengan Milea yang tidak saja termasuk kalangan berada dari sisi ekonomi, namun bisa bebas melakukan apa saja karena ia sehat walafiat.

Termasuk, para tokoh dan fokus cerita di dalamnya.

Semesta Dilan menceritakan sekelompok anak-anak Kota Bandung tahun 90an yang sibuk memadu kasih dan tawuran. Tawurannya pun hanya alasan ego semata. Berbeda dengan Dipha yang berkelahi di belakang Pasar Cikapundung untuk bertahan hidup, rebutan rezeki dengan preman setempat.

Di saat Dilan keluyuran malam-malam untuk tawuran, ada Dipha yang kadang jadi kuli angkut beras atau membersihkan torrent kosan di Jl. Tamblong untuk bertahan hidup karena Dipha yang tidak tamat SMA tak punya pilihan lain untuk mencari nafkah di tengah buasnya Kota Bandung.

Di saat Milea bisa jalan-jalan ke BIP, Vinda gak bisa sebebas itu. Selain karena sakit yang dideritanya, yang membuatnya bisa saja pingsan atau harus dilarikan ke IGD rumah sakit sewaktu-waktu secara random, Vinda pun tidak punya uang sama sekali. Tidak jarang, ia membantu Dipha cari uang supaya ia juga bisa makan.

Lebih dari itu, Bandung Menjelang Pagi pun menceritakan bahwa, orang-orang pinggiran seperti waria yang sering mangkal di Braga dan sekitarnya atau anak punk yang suka nongkrong disana punya hati dan kebijaksanaan yang tidak dimiliki masyarakat Kota Bandung pada umumnya, termasuk saya.

Perbandingan ini tentu bukan untuk jelek-jelekin Pidi Baiq dan ngebagus-bagusin Brian Khrisna. Seperti yang saya bilang, mereka berdua ibarat Ari Lasso dan Once Mekel dalam Dewa 19. Sama bagusnya.

Keduanya sama-sama menceritakan bahwa Kota Bandung bisa membuat siapa saja jatuh cinta. Mulai dari Sukarno dan Inggit, Dilan dan Milea, hingga Dipha dan Vinda. Namun yang satu cerah seperti Marvel, yang satu gelap seperti DC.

Sepuluh tahun lalu, saya pastinya seperti Dilan, yang optimistis pada hidup. Tapi sekarang, saya lebih relate dengan Dipha, yang lebih realistis memandang hidup. Bukan urusan cinta-cintaannya saja, tapi cara pandang saya pada manusia lainnya, maupun cara pandang saya pada Tuhan.

Ah ya, pada intinya, kalian semua yang sudah membaca atau menonton semesta Dilan, harus membaca Bandung Menjelang Pagi. Oh iya, kalau misalnya Brian Khrisna butuh sosok untuk memerankan peran sebagai Dipha jika Bandung Menjelang Pagi diadaptasi jadi film, saya siap kok! Asalkan yang jadi Vindanya itu Anggika Bölsterli. Enggak deh, bercanda kok itu. Tapi semua bisa dibicarakan, asalkan uangnya pas aja.