Beberapa
tahun belakangan, seiring perkembangan teknologi informasi yang kian hari kian pesat,
perdebatan terkait apakah sebaiknya wanita berdiam diri di rumah setelah
menikah (jadi ibu rumah tangga) maupun tetap bekerja (dalam hal ini kerja
kantoran) seakan tak ada habisnya.
Mereka
yang mendukung wanita berdiam diri di rumah memiliki alasannya tersendiri,
mulai dari supaya istri bisa fokus mendidik anak, karena biar bagaimanapun, perkembangan
seorang anak dipengaruhi pola asuh kedua orang tuanya, terutama sosok ibu. Jika
ibu sibuk kerja kantoran, nanti yang mendidik dan mengurusi anaknya siapa?
Sentuhan babysitter, sebaik apapun beliau, tentu tidak akan sebaik sentuhan ibu
kandungnya. Kurang lebih seperti itu. Argumen lebih lanjut bisa kalian cari
sendiri di internet.
Baca
tulisan saya tentang babysitter berikut ini: Babysitter
dan Kesenjangan Sosial yang Dialaminya
Sebaliknya,
mereka yang mendukung supaya wanita tetap bekerja (dalam hal ini kerja kantoran)
juga memiliki alasannya juga. Mulai dari mereka yang kepingin independen, gak
mau sepenuhnya bergantung pada suaminya, hingga mereka yang kepingin punya
karir cemerlang dan tak mau kalah dari laki-laki karena selama berabad-abad, wanita
ditindas oleh budaya patriarki yang sudah mengakar. Argumen lebih lanjut bisa
kalian cari sendiri di internet.
Saya
sendiri lebih condong pada pilihan yang kedua. Saya lebih suka jika kaum hawa
bekerja sesuai bidang keahliannya masing-masing, termasuk jika sudah menikah
dan memiliki anak. Namun, saya juga menghormati pilihan kaum hawa jika mereka
ingin sepenuhnya jadi ibu rumah tangga alih-alih jadi wanita karir setelah
menikah.
Kenapa
saya lebih suka jika kaum hawa bekerja meskipun sudah menikah dan memiliki
anak? Bukankah nanti anaknya kurang terurus? Jadi begini, ibu kandung saya
adalah ibu rumah tangga sepenuhnya dari saya lahir. Bahkan, ibu saya telah
menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya sejak menikah. Ayah saya melarang ibu saya
untuk bekerja meskipun ibu saya bersikeras bahwa jenis pekerjaan yang
dilakukannya termasuk pekerjaan part time atau paruh waktu. FYI, jenis pekerjaan
part time atau paruh waktu yang saya maksud adalah makeup artist. Saya tak tahu
detailnya seperti apa, tapi ibu saya bercerita bahwa ia telah memenangkan
kontes makeup se- Kota Bandung atau se-Jawa Barat sebelum menikah. Ia termasuk
siswi berprestasi pada sekolah atau kursus makeup yang dilakoninya. Sampai
tulisan ini saya tulis, saya masih menyesali keputusan ayah saya tersebut
karena pada kenyataannya, selepas ia meninggal dunia, saya dan ibu saya jadi pontang-panting
cari uang.
Ketika
ayah saya meninggal pada awal tahun 2020 yang lalu, saya sadar bahwa wanita
yang sudah menikah sebaiknya memiliki pekerjaan meskipun sudah memiliki anak.
Kenapa? Supaya jika tiba-tiba sang suami meninggal dunia ataupun bercerai, wanita
tersebut masih bisa independen untuk membiayai hidupnya sendiri dan anaknya tanpa
rasa khawatir sama sekali.
Saya
sering melihat, wanita yang tidak bekerja setelah menikah langsung kebingungan
saat suaminya meninggal dunia. Bagaimana cara membayar listrik? Bagaimana cara
membiayai anak untuk sekolah? Bahkan, untuk kebutuhan makan sehari-hari saja
bingung karena sejak menikah, banyak wanita yang tidak bekerja sama sekali.
Pun
ketika wanita tersebut bercerai dengan suaminya. Meskipun pengadilan agama atau
perjanjian diantara mereka sepakat bahwa sang mantan suami berkewajiban untuk
membiayai biaya hidup istri dan anaknya, banyak diantara mantan suami tersebut
yang menghilang, tak lagi membiayai biaya hidup mantan istri dan anaknya.
Selain
itu, pekerjaan maupun usaha yang dijalankan suami tidak akan selamanya mulus
kan? Bisa saja sang suami terkena PHK akibat pandemi Covid-19 atau resesi
ekonomi global kan? Bisa saja usaha yang dijalankan suaminya tiba-tiba bangkrut
kan? Bisa saja sang suami sudah tidak dianggap produktif lagi oleh perusahaan dan
akhirnya digantikan dengan generasi muda yang lebih kompeten atau bahkan digantikan
dengan tenaga robot atau AI yang lebih murah kan?
Kalau
sudah begini bagaimana?
Makanya,
berkaca dari ketiga hal yang sudah saya sebutkan di atas, lebih suka jika kaum
hawa bekerja meskipun sudah menikah dan memiliki anak. Supaya menimal, jika
sang suami meninggal dunia, jika tiba-tiba rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian,
jika tiba-tiba sang suami kehilangan pekerjaannya, sang istri gak lagi bingung.
Sang istri bisa menopang sementara kebutuhan hidup keluarganya. Minimal, biar
anaknya gak harus putus sekolah atau putus kuliah.
Sejak
saya sekolah, saya menyaksikan sejumlah keluarga yang ditinggal mati sang kepala
keluarga terpaksa menjual mobil, menjual rumah, bahkan anak-anak yang masih
sekolah atau kuliah terpaksa menghentikan pendidikannya karena tak ada biaya
sama sekali. Meskipun tidak merasakannya sendiri, melihat hal tersebut rasanya
sakit.
“Kalau
sang wanita bekerja, nanti suami dan anaknya gimana?”
Di besar
seperti Jakarta dan Bandung, saat ini terdapat banyak daycare supaya orang tua
bisa menitipkan sang anak ketika mereka bekerja. Pun, terdapat banyak jasa
babysitter yang bisa digunakan jika dirasa cocok serta budgetnya ada. Yang penting,
jangan dititipin ke orang tua atau mertua!
Alternatifnya,
bisa juga dengan mensiasati jenis pekerjaan yang dilakoni sang istri, misalnya
bekerja part time kala weekend tiba seperti jenis pekerjaan yang tadinya akan
dilakoni ibu saya sebagai makeup artist. Atau dengan berjualan online yang pastinya
bisa dilakukan dari depan laptop atau smartphone. Atau pekerjaan lainnya seperti
penuis lepas atau desain grafis? Atur-atur saja sesuai keahlian masing-masing.
Tentu,
apa yang saya tuliskan ini hanya indah di teori doang, praktiknya pasti susah.
Namun, inilah yang saya pikirkan terkait apakah sebaiknyawanita berdiam diri di
rumah setelah menikah (jadi ibu rumah tangga) maupun tetap bekerja (dalam hal
ini kerja kantoran).
0 Comments