Bisa saya katakan, Petualangan Sherina adalah salah satu film yang paling membekas dalam memori masa kecil saya dan jutaan Generasi 90an lainnya. Kualitas filmnya tak hanya sangat luar biasa pada zamannya, tapi termasuk juga pada masa sekarang. Rasanya, belum ada film anak-anak buatan Indonesia yang sememorable Petualangan Sherina, yang kualitasnya setara dengan film-film musikal keluaran Walt Disney. Selain itu, film ini setingnya di Bandung, yang merupakan tanah kelahiran saya. Makanya relate banget dengan film ini.

Baca tulisan saya di Mojok berikut ini: Nonton Petualangan Sherina Saat Anak-anak dan Dewasa Itu Beda Pisan!

Baca tulisan saya di Mojok berikut ini: 20 Tahun Setelah Petualangan Sherina, Lembang Benar-benar Berubah

Saya ingat betul, pertama kali saya nonton Petualangan Sherina, saya langsung jatuh cinta pada setiap elemen yang ada pada film musikal tersebut. Saya dan jutaan Generasi 90an yang menyaksikan film tersebut langsung ikut-ikutan menempelkan plester di tubuh atau sok-sok bawa bekal permen marbles biar kayak Sherina di film tersebut.

Dua puluh tiga tahun berlalu, akhirnya sekuel Petualangan Sherina dibuat. Generasi 90an yang tumbuh bersama Petualangan Sherina bisa saya lihat sangat antusias untuk menonton film tersebut. Dan akhirnya, saya pun menonton Petualangan Sherina 2 di bioskop meski sedikit terlambat. Tapi gapapa, daripada nggak sama sekali?

Menonton Petualangan Sherina 2 rasanya seperti bertemu teman lama yang sudah dua puluh tiga tahun tidak bertemu. Bagaimana tidak, saya pertama menyaksikan film pertama Petualangan Sherina saat saya berusia delapan tahun, dan di tahun 2023, saya kembali menyaksikan Sherina dan Derby Romero beradu akting dalam satu layar yang sama.

“Cerita filmnya gimana?”

Pada sekuelnya, Sherina sukses menjadi seorang jurnalis yang bekerja di salah satu stasiun televisi nasional di Jakarta layaknya Najwa Shihab. Melihat adegan tersebut, ada campuran rasa bangga dan iri pada diri saya.

Sherina dan Sadam yang sukses dengan impiannya

Pertama, saya bangga dengan pencapaian Sherina (Sherina dalam film) yang bisa bekerja sesuai passionnya. Sherina juga gak macet-macetan pakai KRL ke kantor seperti pekerja Jakarta lainnya karena tinggal di apartemen dekat kantor dengan menggunakan mobil. Makanya gak usah heran dia semangat banget kerja sampai nyanyi-nanyi sebeum ke kantor.

Kedua, saya iri dengan pencapaian Sherina (Sherina dalam film) karena saat duduk di bangku kuliah, saya yang kuliah jurnalistik punya mimpi untuk bekerja sebagai jurnalis seperti Sherina. Namun, enam tahun setelah menyandang predikat sarjana, impian saya untuk jadi jurnalis sepertinya sudah buntu. Bukannya saya tak berusaha, tapi sejak lulus kuliah, saya sudah puluhan kali bolak-balik Jakarta untuk interview di berbagai perusahaan media, tapi tak ada satupun media yang menerima saya untuk bekerja di sana. Makanya saya iri dengan pencapaian Sherina tersebut.

Campuran rasa bangga dan iri yang saya rasakan setelah melihat Sadam. Sadam sukses bekerja di sebuah NGO yang fokus menyelamatkan orang utan di Kalimantan. Sewaktu kuliah, saya sempat aktif di organisasi pencinta alam kampus dengan harapan, supaya saya bisa meliput kehidupan alam liar seperti yang Sherina lakukan, atau bisa kerja di NGO seperti Sadam dengan ilmu outdoor yang saya pelajari.

Kalau mau ditelisik, sejak kecil, Sherina dan Sadam punya banyak privilege makanya mereka berdua bisa mewujudkan impian saya di dunia nyata. Sherina adalah anak dari sarjana pertanian yang sempat kerja di Jepang sebelum dipekerjakan Ardiwilaga (ayah Sadam) di Lembang. Ibu Sherina pun merupakan composser lagu yang punya knowledge ilmu parenting sangat bagus. Sadam juga sama. Keluarganya adalah old money yang punya lahan perkebunan sangat luas di Lembang. Di film pertama, seluruh kakak-kakak Sadam tinggal luar negeri setelah lulus sekolah di sana. Jadi gak heran Sadam bisa bekerja sesuai passionnya, wong sugih dari lahir!

Saat nonton film pertama Petualangan Sherina, saya bermimpi saat dewasa dapat sukses seperti Sherina dan Sadam. Saat nonton sekuelnya, saya akhirnya sadar, tak semua manusia bisa punya kesempatan sukses sesukes Sherina dan Sadam, terlepas dari privilege yang mereka miliki sedari lahir.

Di dunia ini ada banyak pesepak bola yang berlatih lebih keras dari Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, tapi yang sukses? Hanya segelintir pesepak bola saja. Sebagian bernasib seperti Harry Kane yang masih struggling dalam menggapai trophy. Sebagian besar lainnya lebih terpuruk lagi. Jangankan main di tim besar macam Tottenham Hotspur, masuk tim lokal macam Persib Bandung atau Persija Jakarta juga nggak!

Dalam bidang lain pun saya pikir sama. Dalam bidang kepenulisan, di dunia ini ada banyak penulis yang setiap hari menghabiskan waktunya untuk menulis, tapi hanya sedikit yang punya karya yang abadi dalam ingatan macam J. K. Rowling atau Dewi Lestari. Dalam bidang bisnis, di dunia ini ada banyak orang yang merintis bisnis, tapi hanya sedikit yang sukses besar macam Steve Jobs dengan Apple miliknya atau Chairul Tanjung dengan CT Corp miliknya.

Friendship goals banget

Bahkan, persahabatan Sherina dan Sadam pun bikin saya iri. Memangnya berapa banyak dari kita yang punya persahabatan seerat Sherina dan Sadam? Yang tetap bersahabat sejak SD hingga kepala tiga? Sangat jarang bukan? Kebanyakan, persahabatan berakhir kalau bukan karena “ditusuk dari belakang”, persahabatan berakhir karena masing-masing akhirnya punya prioritas yang berbeda, seperti pekerjaan dan keluarga sehingga akhirnya lost contact juga.

Selain itu, Sherina dan Sadam juga gak keliatan stress harus bayar listrik atau tagihan lainnya karena mungkin penghasilan mereka sudah cukup besar atau karena mereka bisa bekerja sesuai passion mereka, jadinya hal tersebut gak terasa sama sekali karena bagi mereka yang bisa bekerja sesuai passion mereka, setiap hari gak kerasa seperti bekerja, tapi seperti menjalankan hobi.