Beberapa bulan yang lalu, kolega kuliah saya chat saya di WhatsApp agar saya membantu penelitian adiknya yang lagi skripsi. Ia berkata bahwa saya terlihat sebagai seorang “Aktivis Childfree” layaknya Gita Savitri Devi alias Gitasav yang dikenal untuk memilih Childfree. Padahal saya tak pernah sekalipun mendaklarasikan bahwa saya akan memilih Childfree seperti Gitasav. Saya hanya sering retweet meme tentang Childfree atau retweet argumen Childfree dari orang-orang seperti Gitasav.

Saya pun mengamini permintaan kolega kuliah saya tersebut sebagai narasumber jika ia bermaksud mewawancarai saya untuk skripsinya. Namun hingga tulisan ini saya tulis, saya tak lagi dihubungi untuk keperluan wawancara. Mungkin ia menemukan narasumber lain yang jauh lebih kredibel dibandingkan saya.

Sebagai seorang pria berusia 32 tahun yang belum menikah apalagi memiliki anak, banyak komentar negatif dari kolega, teman sejawat, hingga sanak saudara yang intinya menyuruh saya menikah dan segera memiliki anak. Argumennya bermacam-macam, mulai dari untuk sekadar menyalurkan kebutuhan biologis, hingga memastikan aset rumah maupun uang yang saya miliki akan terwariskan ke darah daging saya sendiri.

Sebagai seorang pria, saya bukannya tidak ingin menikah. Saya tahu kok kebutuhan biologis seorang manusia itu seperti apa. Namun keadaan saat ini belum memungkinkan. Dalam artian, saya belum memiliki kemerdekaan finansial dengan punya penghasilan tetap. Selain itu, saya gak tampan-tampan amat seperti Nicholas Saputra atau Tom Cruise sehingga saya gak bisa semudah itu untuk pilih-pilih pacar untuk kemudian dijadikan pasangan hidup.

Untuk menikah, tentu saja saya mau. Tapi untuk punya anak? Kayaknya nggak dulu deh. Selain itu, saya bukanlah keturunan Oligarki seperti Keluarga Prabowo Subianto, Keluarga Cendana, maupun keturunan elite global macam Bill Gates, Elon Musk, atau Keluarga Kerajaan Inggris. Saya juga bukan keturunan Klan Uchiha atau Pewaris Salazar Slytherin.

Mereka-mereka yang saya sebutkan di atas pasti punya tujuan khusus untuk berkeluarga dan punya keturunan, yakni untuk melanjutkan bisnis maupun pemerintahan yang sudah dimiliki dari generasi terdahulunya. Sedangkan saya bukan oligarki maupun keturunan bangsawan. Jadi apa urgensinya untuk segera menikah dan memiliki keturunan?

Punya anak di tengah kondisi ekonomi global yang tak menentu?  

Saya sangat setuju dengan masyarakat negara maju macam Jepang, Korea Selatan, maupun Amerika Serikat yang memilih untuk Childfree. Punya anak di zaman sekarang urgensinya tidak seperti ribuan tahun yang lalu di mana populasi manusia lagi sedikit-sedikitnya. Di saat tenaga kerja manusia sedang dibutuhkan sebanyak-banyaknya.

Saat ini, populasi umat manusia lebih dari 8 miliar jiwa, padahal banyak akademisi yang berkata bahwa sumberdaya alam yang dimiliki Bumi saat ini hanya cukup untuk menampung sekitar 150 juta umat manusia saja. Jadi tak usah heran inflasi di dunia ini gila-gilaan. Gak usah heran seluruh manusia yang ada di dunia ini saling sikut untuk cari pekerjaan atau sekadar cari makan untuk bertahan hidup. Populasinya sudah membeludak.


Dibandingkan generasi Baby Boomers atau sebelumnya, kondisi sosial ekonomi Gen X, Mileneal, dan Gen Z sangatlah berbeda. Baby Boomers bisa memiliki rumah hanya bermodalkan kerja keras selama beberapa tahun saja. Sedangkan generasi setelahnya, kerja keras selama 20 tahun pun belum tentu bisa memiliki rumah. Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia saja, namun termasuk di negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, hingga Eropa. Pada Generasi setelah Baby Boomers, sekalipun sepasang suami istri bekerja sekalipun, akan sulit untuk memiliki rumah, sehingga wajar jika Generasi setelah Baby Boomers memilih untuk Childfree.

Manusia juga gak akan punah hanya karena segelintir orang milih Childfree

Banyak orang khawatir, Childfree adalah agenda para elite global untuk mengurangi populasi umat manusia yang ada di dunia ini. Menurut saya, hal tersebut sangatlah tidak logis. Kenyataannya, populasi orang di dunia ini terus-terusan bertambah tanpa terkendali. Manusia semakin sibuk berkembang biak.

Sekalipun orang-orang di negara maju macam Jepang dan Korea Selatan berhenti berkembang biak, orang-orang di negara berkembang macam India, Bangladesh, Pakistan, bahkan Indonesia itu pasti akan sibuk berkembang biak tak terkendali. Bahkan Pandemi Covid-19 yang disinyalir sebagai tindakan elite global untuk mengendalikan populasi umat manusia malah gagal karena justru lebih banyak manusia yang berkembang biak karena terus-terusan dipaksa diam di rumah alih-alih beraktivitas di luar rumah.

Yang jadi masalah, orang kaya dan orang yang intelektualitas tinggi banyak yang memilih Childfree. Sedangkan orang-orang miskin dan orang yang intelektutalitasnya rendah berkembang biak tanpa henti sehingga populasi Bumi lebih banyak diisi oleh SDM-SDM rendah. Setidaknya itu yang digambarkan dalam film Idiocracy (2006), yang semakin lama semakin jadi nyata.

Childfree vs Orang yang Ingin Punya Anak



Saya rasa, orang-orang yang memilih untuk punya anak akan selalu memaksa orang-orang yang memilih Childfree untuk punya anak, mau sebagus apapun argumen orang yang memilih untuk Childfree tersebut. Sebaliknya, orang-orang yang memilih untuk Childfree akan selalu memaksa orang-orang yang memilih untuk punya anak supaya ikut-ikutan Childfree, mau sebagus apapun argumen orang yang memilih untuk punya anak tersebut.

Ibarat fans sepak bola. Fans Manchester United gak mungkin bisa dipaksa untuk jadi fans Manchester City sekalipun prestasi Manchester City sudah melebihi prestasi Manchester United. Sebaliknya, fans Manchester City gak mungkin bisa dipaksa untuk jadi fans Manchester United. Mau sampai berbusa pun gak akan bisa dipaksa.