Avatar: The Last Airbender buatan Nickelodeon adalah salah satu animasi paling populer di dunia pada masanya. Di Indonesia sendiri, seingat saya, Avatar tayang di Global TV. Bagi yang berlangganan Indovision atau TV kabel lainnya, bisa menontonnya secara langsung di channel Nickelodeon.

Baca tulisan saya di Mojok: Menurut Saya, Avatar Aang Lebih Baik daripada Avatar Korra

Ketika dengar berita bahwa Netflix akan mengadaptasi serial animasi tersebut jadi Live Action, saya gak terlalu expect bahwa Live Actionnya bakal bagus atau tidak. Namun ketika melihat sekilas trailernya, terlihat cukup menjanjikan. Kualitas visualnya cukup bagus, cast Team Avatar (Aang, Katara dan Sokka) cukup menjanjikan. Selain itu, berkaca dari Live Action One Piece (by the way saya gak ngikutin manga, anime atau Live Action One Piece), sambutan penggemar One Piece cukup bagus bagi saya. Akhirnya, saat itu pun tiba, dan saya memutuskan untuk marathon Season 1 Avatar: The Last Airbender Netflix.

Menonton The Last Airbender Netflix sensasinya sama seperti saat saya menonton kedelapan film Harry Potter di bioskop. Kecewa, tapi masih dalam tahap acceptable. Dalam artian, tidak seburuk adaptasi Dragonball yang berjudul Dragonball Evolution. Sama seperti kedelapan film Harry Potter, The Last Airbender Netflix banyak memotong adegan penting untuk alasan efisiensi durasi.

Sejauh ini, saya cukup puas dengan Gordon Cormier sebagai Aang. Wajah dan bentuknya sebagai Avatar sudah cukup mirip. Dallas Liu sebagai Prince Zuko juga cukup mirip dengan animasinya. Paul Sun-Hyung Lee sebagai Uncle Iroh juga mirip. Ah iya, Ian Ousley sebagai Sokka dan Kiawentioo sebagai Sokka dan Katara menurut saya bentuk fisiknya sudah sangat mirip dengan animasinya. Sayangnya, eksplorasi akting mereka masih kurang. Katara kurang emosional dibandingkan animasinya.

Daniel Dae Kim sebagai Fire Lord Ozai juga cukup mirip. Membuat saya jadi semakin termotivasi ke gym karena saya ingin punya tubuh atletis sepertinya. 

Honorably mention, tentu saja Maria Zhang sebagai Suki. Peran Maria Zhang di sini sangat singkat namun sangat menarik perhatian banyak orang, bahkan bagi orang yang gak ngikutin animasi Avatar sama sekali.

Chemistry antara Prince Zuko dan Uncle Iroh di adaptasi Netflix ini pun cukup mengharukan layaknya ayah dan anak kandung. Di film ini bahkan saya melihat Prince Zuko memperlakukan Uncle Iroh seperti ayah kandungnya sendiri. Sebaliknya, Uncle Iroh pun memperlakukan Prince Zuko seperti ank kandungnya sendiri.

Tak ada gading yang tak retak. Bagi saya, hal paling mencolok yang bisa kita rasakan sebagai orang yang menonton animasi Avatar adalah bentuk fisik Princess Azula yang diperankan oleh Elizabeth Yu. Elizabeth Yu cukup menggambarkan bagaimana kejamnya Princess Azula. Namun mohon maaf, tanpa bermaksud body shamming, Elizabeth Yu terlalu gemuk untuk memerankan Princess Azula. Demikian juga Thalia Tran sebagai Mai dan Momona Tamada sebagai Ty Lee.

Saya tahu, mereka bertiga dipilih karena akting mereka dinilai baik oleh sutradara. Percuma kalau bentuk fisik mirip tapi tak bisa akting, bukan? Tapi harusnya sutradara bisa membuat mereka memiliki bentuk tubuh yang sama dengan Princess Azula, Mai dan Ty Lee bukan? Suruh mereka latihan fisik dan diet ketat layaknya Christian Bale. Atau mungkin, ini menurut imajinasi saya, mereka hanya terlihat gemuk di Season 1 sebelum akhirnya mereka jadi trio kejam seperti animasinya? Jadi nanti diceritakan mereka berlatih fisik dengan keras untuk membunuh Avatar sehingga bisa jadi lebih kurus dan atletis? Sembari menunggu mereka bertiga di dunia nyata yang latihan fisik dan diet ketat

Tim Avatar (Aang, Katara dan Sokka) saya pikir digambarkan terlalu dewasa di adaptasi Netflix ini. Mereka hanya anak-anak berusia belasan tahun bukan? Kenapa terlalu dewasa? Di animasinya, mereka masih suka melakikan kekonyolan demi kekonyolan karena biar bagaimanapun, mereka masih anak-anak. Atau mungkin Netflix sengaja membuat porsi jokes untuk mereka berkurang karena mereka tengah dalam peperangan yang sudah berjalan selama 100 tahun? Layaknya anak-anak Jepang atau anak-anak di Eropa pada masa Perang Duia I dan Perang Dunia II?

Kesalahan terbesar The Last Airbender Netflix adalah Aang yang gak belakar waterbending sama sekali. Tidak sepeti animasinya. Selanjutnya adalah masalah durasi. Kenapa Netlflix tak membuat The Last Airbender dengan durasi lebih panjang? Misalnya, per episode lebih dari 60 menit seperti Stranger Things? Bahkan season finale Season 4 Stranger Things durasinya lebih dari dua jam agar setiap aspek ceritanya bisa diceritakan secara lengkap. Bukannya apa-apa, biar bisa lebih banyak hal yang bisa diceritakan daripada diringkas gitu.

Baca tulisan saya: Stranger Things: It’s The 80’s We Never Had

Terakhir, saya sih berharap Netflix bisa membuat Season 2 dan Season 3 dengan lebih baik lagi. Cast-cast yang akan berperan sebagai tokoh sentral lainnya seperti Toph Beifong juga haruslah yang cocok. Bukan hanya bentuk fisiknya, tapi juga aktingnya. Saya yakin mereka sudah banyak membaca ulasan dari banyak penonton yang tersebar di seluruh dunia. Saya rasa, mereka juga harus kejar tayang bikin Season 2 dan Season 3 karena kalau gak gitu, Gordon Cormier keburu tua dan keburu tinggi, kayak para pemeran utama di Stranger Things yang di akhir Season 4 saja sudah pada dewasa, padahal di seriesnya masih duduk di bangku sekolah.