Di era sosial media seperti saat ini, ada begitu banyak netizen yang “takut” menghadapi berbagai macam pertanyaan saat kumpul keluarga di momen Idul Fitri. Pertanyaan seperti, “Kapan lulus kuliah? Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan nambah momongan” sangat umum dikeluhkan sebagai suatu bentuk hinaan, sebagai suatu bentuk celaan, sebagai bentuk penistaan pada mereka-mereka yang sedang berjuang untuk lulus kuliah, berjuang mencari pasangan hidup, berjuang untuk mendapatkan keturunan, hingga berjuang untuk mendapatkan ekstra pendapatan biar bisa segera menambah jumlah anak.

Bentuk pertanyaan di atas dinilai sangat menyinggung atau setidaknya, sangat tidak sopan. Pertanyaan tersebut menembus batas yang namanya privacy, yang namanya urusan pribadi, yang seharusnya tidak diurusi oleh orang lain yang bukanlah siapa-siapa.

Generasi Baby Boomers mungkin menganggap bentuk pertanyaan di atas sebagai pertanyaan basa-basi ketika bertemu di momen Idul Fitri, Idul Adha, Hari Natal, maupun hari besar keagamaan lainnya di mana keluarga besar lagi kumpul keluarga. Namun bagi Generasi Mileneal dan Gen Z yang lebih aware tentang yang namanya norma sosial, atau setidaknya yang punya literasi lebih baik tentang yang namanya mental health, mereka lebih aware bahwa bentuk pertanyaan tersebut sangatlah tidak sopan, bahkan bentuk pertanyaan tersebut bisa mengoyak-ngoyak mental seseorang.

Maka tidak heran, ada begitu banyak netizen yang curhat di sosial media bahwa mereka sangat tidak siap untuk menghadapi Idul Fitri, Idul Adha, Hari Natal, maupun momen-momen kumpul keluarga besar. Belum ditambah dengan mereka-mereka yang secara tidak langsung pamer pencapaian, pamer outfit, pamer mobil, hingga pamer harta, yang membuat banyak orang tertekan.

Gak semua orang diberi privilege punya keluarga yang harmonis atau keluarga yang asyik bukan? Gak semua orang diberi privilege punya ekonomi stabil yang dapat membuatnya gak usah overhinking di hari raya bukan?

Beberapa film yang menggambarkan bahwa Hari Raya bukan untuk semua orang

Saya pikir, fenomena bahwa “Hari Raya (apapun bentuknya) bukan untuk semua orang” sudah dimulai sejak lama. Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai produk pop culture seperti komik, film, maupun series pastinya yang sudah kita saksikan.

Kevin McCallister

Misalnya, di film legendaris Home Alone (1990) dan Home Alone 2 (1992), Kevin McCallister (Macaulay Culkin) digambarkan sangat membenci keluarganya karena alih-alih kehangatan keluarga di Hari Natal, Kevin malah dimarahi oleh orang tuanya.

Pigeon Lady

Lebih lanjut lagi, di semesta Home alone, terdapat “Pigeon Lady” (Brenda Fricker) yang menghabiskan Hari Natalnya bersama merpati alih-alih dengan keluarganya. Diceritakan bahwa dulu ia jatuh cinta dengan seorang pria, namun ia mengalami yang namanya patah hati. Akibatnya, ia menolak untuk jatuh cinta lagi dan berhenti untuk percaya dengan orang lain. Ia akhirnya menjadi seorang tunawisma dan tinggal di Central Park New York City bersama para merpati.

Robin Scherbatsky

Di semesta series How I Met Your Mother, Robin Scherbatsky (Cobie Smulders) pun memilih untuk menghabiskan Hari Natalnya dengan berjalan di tengah dinginnya salju menuju Central Park New York City setelah mendapati dirinya tidak bisa memiliki anak. Meskipun Robin adalah penganut paham childfree, tetap saja, vonis dokter bahwa ia tidak bisa memiliki anak membuatnya shock di Hari Natal di mana ia harusnya dalam keadaan ceria.

Bridget Jones

Di film Bridget Jones's Diary (2001), Bridget Jones (Renee Zelweger) juga digambarkan seperti itu. Ia gak punya pacar, karir stuck, jauh dari orang tua sehingga ia menghabiskan Natal seorang diri dengan mabuk-mabukan sambil nyanyi-nyanti gak jelas dan merasa bahwa hari raya semacam itu bukanlah untuknya.

Di dunia nyata, bagi seorang anak tunggal yang sudah kehilangan kedua orang tuanya, belum menikah, apalagi punya keturunan, tentu ia akan merasakan fenomena “Idul Fitri bukan untuk semua orang”. Di dunia nyata, bagi seorang yang baru ditinggal orang tuanya yang meninggal beberapa hari menjelang Idul Fitri, tentu ia akan merasakan fenomena “Idul Fitri bukan untuk semua orang”.

Kapan lulus kuliah? Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan nambah momongan

Di dunia nyata, bagi seorang mahasiswa yang sedang berjuang mati-matian mengerjakan skripsi, tentu ia akan merasakan fenomena “Idul Fitri bukan untuk semua orang” karena takut akan tekanan pertanyaan keluarga besar tentang kapan ia akan lulus kuliah.

Di dunia nyata, bagi seseorang mahasiswa yang sedang berjuang mati-matian cari pasangan atau baru saja putus dari calon suami maupun calon istrinya, tentu ia akan merasakan fenomena “Idul Fitri bukan untuk semua orang” karena takut akan tekanan pertanyaan keluarga besar tentang kapan ia akan menikah.

Di dunia nyata, bagi suami istri yang sedang berjuang untuk memperoleh keturunan, tentu mereka akan merasakan fenomena “Idul Fitri bukan untuk semua orang” karena takut dengan tekanan pertanyaan keluarga besar.

Di dunia nyata, bagi suami istri yang sedang berjuang untuk mendapatkan ekstra pendapatan biar bisa segera menambah jumlah anak, tentu mereka akan merasakan fenomena “Idul Fitri bukan untuk semua orang” karena takut dengan tekanan pertanyaan keluarga besar tentang kapan mereka akan menambah jumlah anak.

Gak semua orang diberi privilege punya keluarga yang harmonis atau keluarga yang asyik bukan? Gak semua orang diberi privilege punya ekonomi stabil yang dapat membuatnya gak usah overhinking di hari raya bukan?

Memang, apa yang mau dirayakan?

Di Hari Idul Fitri pun, saya memikirkan hal tersebut. Bahkan beberapa hari sebelum Idul Fitri tiba, saya sudah mikir gitu. “Apa sih yang dirayakan oleh orang-orang sampai-sampai berbondong-bondong beli pakaian baru? Beli makanan? Renovasi rumah? Bahkan hingga bermain petasan maupun kembang api saat malam takbiran?”

Dalam Islam, Idul Fitri pantas untuk dirayakan karena satu bulan sebelumnya, umat Muslim diuji oleh Tuhan untuk berpuasa melawan hawa nafsu. Namun saya berpikir, “Apa yang mau dirayakan? Memang kualitas ibadah atau kualitas hidup sudah meningkat secara signifikan?”, karena saya malu sendiri pada Tuhan jika saya sibuk menyiapkan perayaan Hari Raya Idul Fitri, tapi saya sendiri tidak menjalani bulan Ramadan dengan suka cita. “Puasa kagak, tapi semangat banget buat rayain lebaran!”, kalau kata netizen.

Semaki tua, saya merasa bahwa Hari Idul Fitri, Hari Idul Adha hingga Malam Tahun Baru tak ada bedanya dengan pergantian hari pada biasanya. Tak ada yang bisa dirayakan. Terlepas dari saya yang belum punya kekayaan seperti Hotman Paris atau selebriti Hollywood sehingga tak bisa party di hari-hari tersebut, namun saya merasa, “Apa sih yang mau dirayakan? Apa yang membedakan hari-hari tersebut dengan hari lainnya?

Semua hari itu sama saja, bukan? Seperti halnya sebuah nama. “Apalah arti sebuah nama?”, kalau kata William Shakespeare. Manusialah yang memberi makna pada sebuah nama. Manusialah yang memberi makna pada suatu hari yang biasa saja. Pada suatu hari yang gak signifikan sama sekali dalam dunia cosmos karena alam semesta sendiri sudah berdiri sejak jutaan tahun yang lalu. Bahwa apa yang dilakukan manusia, termasuk pembrian makna pada sebuah nama dan suatu hari, gak ada signifikannya sama sekali di alam semesta ini yang terdiri dari jutaan bahkan miliaran planet hingga miliaran galaksi di luar Galaksi Bimasakti atau Milky Way.