Sudah lama saya mau menuliskan hal ini, namun apa daya, baru sempat sekarang. Oh ya, sebelumnya silakan baca tulisan saya berikut ini: Nike Ardilla

Jadi begini. Beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan pulang setelah dinas dari BSD, saya memutar sejumlah lagu Nike Ardilla untuk menemani saya menyetir malam. Tidak disangka-sangka, seorang gadis asal Garut, sebut saja Mawar (bukan nama sebenarnya), ikut menyanyikan sejumlah lagu Nike Ardilla.

Saya langsung berpikir, “Di antara kalangan Mileneal saja, jarang yang tahu dan suka dengan lagu-lagu Nike Ardilla. Kok ini ada Gen Z yang tahu dan hafal lagu-lagu Nike Ardilla ya?

Akhirnya, kami pun berdiskusi. Mulai dari awal mula ia mengenal Nike Ardilla, hingga teori konspirasi tentang Nike Ardilla. Semuanya dimulai dari pengalamannya saat duduk di bangku pesantren, di mana saat itu belum ada platform musik macam Spotify atau Apple Music, sehingga mau gak mau, banyak orang mendengarkan musik via file MP3 yang diperdengarkan via PC, laptop, atau handphone Symbian/Java. File musik yang sudah ia korupsi dihapus oleh seseorang dan diganti dengan lagu-lagu Nike Ardilla sehingga ia pun mau gak mau hanya bisa mendengarkan lagu-lagu Nike Ardilla. Sejak saat itulah, ia langsung jatuh cinta pada lagu-lagu Nike Ardilla. 

Video klip Seberkas Sinar yang shooting di Tangkuban Parahu

Bahkan, ia hafal urutan lagu-lagu Nike Ardilla sesuai urutan nomor tracknya berikut video klipnya segala! Seperti video klip Seberkas Sinar yang shootingnya di Gunung Tangkuban Parahu maupun video klip Aku Tak Akan Bersuara yang melibatkan pria tampan gondrong yang jadi lawan main Nike Ardilla dalam video klipnya.

Melihat Gen Z yang suka tentang Nike Ardilla seperti melihat masa lalu saya. Sekitar dua dekade yang lalu, saya adalah salah satu di antara Mileneal Generasi 90an yang fasih pada musik-musik rock jadul macam Queen, The Beatles, Deep Purple, The Rolling Stones, hingga Ramones, di saat Mileneal seangkatan saya tidak tahu akan siapa sosok yang saya sebutkan tersebut. Well, saya sendiri bisa tahu sosk-sosok tersebut karena privilege yang saya miliki, antara lain akses terhadap media cetak seperti koran, majalah, maupun tabloid, hingga akses terhadap media elektronik macam laserdisc, VCD, DVD, TV kabel, hingga akses internet yang membuat saya berkesempatan membaca serba-serbi tentang musik rock yang lahir jauh sebelum saya lahir.

Baca tulisan saya di Mojok: Jauh Sebelum Kehadiran Netflix, Saya Merasakan Era Tukang Rental Laser Disc Keliling

Baca tulisan saya di Mojok: Telkomnet Instan, Layanan Internet ‘Lemot’ yang Populer pada 2000-an

Kembali ke topik utama. Saya pikir, kesamaan selera musik itu adalah hal yang sangat langa. Dalam artian, banyak penyuka musik rock, tapi berapa banyak sih yang suka pada Nike Ardilla? Karena saya hampir tidak pernah melihat Mileneal generasi saya yang memutar lagu Nike Ardilla. Saya hampir tidak pernah melihat Mileneal generasi saya yang membahas Nike Ardilla. Kebanyakan yang mendengar lagu Nike Ardilla atau membahas segala sesuatu tentang Nike Ardilla adalah Mileneal generasi awal yang lebih tua dari saya, atau Gen X. Makanya, ketika ada seseorang yang umurnya jauh lebih muda dari saya, dalam hal ini Gen Z menyukai Nike Ardilla, saya merasa sangat senang. Rasanya seperti bertemu rekan seperjuangan. Seolah-olah saya sedang merantau di Eropa, dan tiba-tiba bertemu orang Sunda yang sama seperti saya.

Di tengah Mileneal dan Gen Z yang menyukai musik-musik popiler macam Taylor Swift maupun K-Pop, menemukan Gen Z yang memahami keindahan musik Nike Ardilla seperti menemukan berlian di antara tumpukan pasir. Selera musik memang tidak bisa diperdebatkan, tapi bagi saya, ini seperti konektivitas emosional pada sesuatu yang melampaui ruang dan waktu, seperti Anemoia!

Baca tulisan saya di Mojok: Anemoia: Alasan Kita Merasa Nostalgia saat Bersentuhan dengan Hal-hal Jadul

Di dunia yang serba cepat dan sibuk ini, menemukan seseorang yang memiliki kesamaan selera musik ini adalah sebuah keberuntungan. Bahkan, di antara sesama Generasi 90an penyuka musik rock, jarang yang memasukkan Nike Ardilla ke dalam playlistnya sehari-hari, baik pada era Winamp, maupun pada era Spotify seperti sekarang ini. Anggap saja saya berlebihan dalam tulisan ini, tapi ya setidaknya inilah yang saya rasakan.

Apakah di Alam Sana ada internet sehingga Nike Ardilla sedang membaca tulisan saya saat ini? Tentu, pertanyaan ini hanyalah retorika belaka, karena saya tahu, di Alam Sana tidak ada internet.