Tidak terasa, sudah lebih dari dua dekade sejak perilisan GTA: San Andreas, game legendaris karya Rockstar Games yang sudah mengubah peta video game dunia. Bahas GTA: San Andreas gak akan ada habisnya, pasalnya saat ini masih banyak gamer yang mainin game ini. Untuk sekadar lucu-lucuan dengan berbagai modnya, ngulik misteri di baliknya, serta ngulik storylinenya yang paripurna.

Terkait storyline, kita semua tahu tokoh utama dalam GTA: San Andreas macam Carl Johnson (CJ), kakaknya, Sean Johnson (Sweet), Lance Wilson (Ryder), hingga Melvin Harris (Big Smoke) yang tinggal di Los Santos, nama plesetan Los Angeles. Rasanya gila, kalau ada studio yang nekad adaptasi cerita GTA: San Andreas jadi series apalagi movies. Bahkan sekalipun Christopher Nolan atau Quentin Tarantino yang garap, saya akan bilang mereka gila!

Meski begitu, ada satu film yang storyline dan atmosfernya cukup mendekati atmosfer dari GTA: San Andreas dan segala serba-serbi Los Santos di dalamnya. Film tersebut berjudul Boyz n the Hood (1991).

Film ini bercerita tentang betapa kelamnya Los Angeles tahun 90an, terutama lingkungan African-American. Kasus penembakan senjata api terjadi disana hampir setiap hari. Kasus remaja hamil diluar nikah terjadi disana. Kasus penyalahgunaan narkoba pun terjadi disana. Bikin semua yang tinggal disana stress dan frustasi.


Tokoh utama dalam film ini adalah Tre Styles (Cuba Gooding Jr.), Doughboy (Ice Cube), dan Ricky Baker (Morris Chestnut). Mereka tinggal di satu lingkungan yang sama sejak kanak-kanak. Bukan lingkungan yang ideal untuk tumbuh besar sebenarnya, dimana lingkungan mereka penuh dengan keturunan African-American yang merupakan anggota geng. Sejak kanak-kanak mereka terbiasa ngomong kasar, berkelahi, mendengar suara senjata api pada malam hari dan keesokan harinya, melihat jenazah random tergeletak begitu saja di pinggir jalan.

Kalau kalian sudah namatin GTA: San Andreas, kira-kira begitulah gambaran film ini, karena Los Angeles tahun 90an benar-benar sekacau ini. Tentu, saya sendiri belum pernah menginjakkan kaki di Los Angeles sejak saya lahir, tapi itulah gambaran Los Angeles yang saya ketahui selama tiga puluh tahun terakhir ini dari buku, komik, novel, game, series, hingga film yang saya tonton.

Tre Styles beruntung, tinggal bersama ayahnya, Furious Styles (Laurence Fishburne) yang idealis, setelah ibunya memutuskan untuk menitipkan Tre pada Furious karena Tre sering bermasalah di sekolah. Furious gak cuma mendidik anaknya ala VOC, dimana ia disuruh sikat WC, menyapu halaman, hingga mencuci piring saja, tapi ia mendidik anaknya untuk menghormati wanita, dalam artian untuk tidak sembarangan meniduri wanita tanpa consent dan tanggungjawab, bagaimana cara bergaul, dan untuk tidak ambil masalah yang tidak seharusnya gak diurusi.

Film ini pun berisi sejumlah kritikan sosial, dimana Furious sempat mention bahwa ada sebuah kejanggalan di Amerika. Dimana, lingkungan orang kulit hitam, African-American somehow banyak toko senjata dan toko minuman keras, sedangkan di lingkungan orang kulit putih, kuantitasnya gak sebanyak itu. Ia menuding bahwa ini semacam disengaja oleh Pemerintah Amerika sana biar orang African-American selalu terjebak dalam kemiskinan struktural. Kecanduan alkohol dan narkoba yang ujung-ujungnya saling bunuh pakai senjata api. Ini memang sudah banyak dibahas oleh banyak YouTuber juga sih.

Saya gak tahu juga, Rockstar Games terinspirasi dari film ini atau nggak saat bikin GTA: San Andreas. Tapi saya yakin, bohong banget kalau Rockstar Games gak terinspirasi dari sini, sama seperti GTA: Vice City yang pastinya terinspirasi dari Scarface (1983). Apalagi, dalam film ini diceritakan juga bahwa polisi Los Angeles (LAPD) ini banyak yang punya personil mirip Tenpenny. Yang korup dan seringkali menyalahgunakan kekuasaannya.

Pada intinya, kalau cari film tembak-tembakan mah ya jangan nonton film ini. Film ini fokusnya memang bukan pada tembak-tembakan ala Hollywood. Film ini fokus pada family, pilihan hidup, mimpi anak muda, dan sistem bermasyarakat yang tidak berpihak pada mereka-mereka keturunan African-American.

Di film ini, banyak anak muda keturunan African-American berusaha keras keluar dari lingkungan toxic tersebut, dengan cara ambil beasiswa biar bisa kuliah di luar lingkungan itu, punya penghidupan yang lebih baik, tapi pada akhirnya, karena masalah struktural, hal tersebut hampir mustahil untuk dilakukan.

Rasanya, tinggal di Indonesia tidak seburuk itu? Saya membayangkan, jika saya tinggal di lingkungan seperti Tre, Ricky dan Doughboy seperti di film ini, saya bisa saja ketika lari pagi sambil dengerin Spotify itu dibunuh, ditembak dari belakang meski saya bukan tipikal orang yang suka berkelahi dan cari gara-gara.