IMDb: 6,5/10 | Rating
Saya: 8/10
Rated: TV-PG | Genre: Drama,
Romance
Directed by Mark Piznarski
Writed by Jennifer Heath, Nancey Silvers,
Heather Maidat
Based on Sundays at Tiffany's by James
Patterson and Gabrielle Charbonnet
Produced by Alyssa Milano, Andrew Golov
Starring Alyssa Milano, Eric Winter, Kristin
Booth, Ivan Sergei
Cinematography Adam Swica
Edited by Henk Van Eeghen
Music by Mateo Messina
Production companies Lifetime Television
Distributed by Lifetime Television
Release date 6 December 2010
Running time 88 minutes
Language English
Random banget, saya nonton film ‘antah
berantah’ berjudul Sunday at Tiffany’s setelah melihat penggalan adegan di atas
yang menurut saya sangat so sweet banget. Makanya saya langsung cari film ini
dan nonton film ini karena penasaran dengan jalan ceritanya. Simak ulasan saya
berikut ini.
STORYLINE
Jane dan teman imajinernya, Michael
Sunday at Tiffany’s adalah film keluaran
tahun 2010. Dari yang saya baca, film ini bukanlah film yang ditayangkan di
bioskop, melainkan sejenis FTV gitu. Film ini dibuka dengan adengan seorang
gadis kecil bernama Jane (diperankan Emily Alyn Lind) yang tak pernah terpisah
dari teman imajinernya bernama Michael (diperankan Gage Munroe). Jane yang tak
punya saudara kandung selalu kesepian dan Michael selalu hadir untuknya sejak
ia lahir hingga perpisahannya dengan Michael.
Dalam semesta film Sunday at Tiffany’s,
teman imajiner adalah semacam malaikat yang dikirimkan Tuhan pada setiap anak
kecil untuk menemani setiap langkahnya. Ia tak bisa dilihat oleh siapapun kecuali
oleh sang anak itu sendiri dan si teman imajiner harus berpisah dari sang anak
saat sang anak menginjak usia sepuluh tahun.
Jane dan Michael yang kembali bertemu
Dua puluh tahun berlalu, Jane dewasa (diperankan
Alyssa Milano) sudah bertunangan dengan seorang aktor bernama Hugh Morrison (diperankan
Ivan Sergei). Tiba-tiba saja, Michael, teman imajinernya kembali muncul.
Bedanya, Michael kembali dengan tampilan dewasa (diperankan Eric Winter) dan
bisa dilihat, disentuh, dan dirasakan oleh semua orang di dunia ini layaknya
seorang manusia biasa pada umumnya.
Premis film ini sekilas seperti film Meet
Joe Black (1998), dimana saat itu seorang malaikat maut (diperankan Brad Pitt)
yang ditugaskan untuk mencabut nyawa William Parrish (diperankan Anthony
Hopkins) malah jatuh cinta pada putri semata wayang William yang bernama Susan
Parrish (diperankan Claire Forlani). Kalau belum nonton cobain tonton deh!
Seperti FTV yang sering kita jumpai, Jane
pada mulanya tak percaya begitu saja dengan kemunculan seorang pemuda yang
ngaku-ngaku sebagai teman imajiner masa kecilnya hingga Michael mengungkapkan
sejumlah cerita yang hanya mereka berdua ketahui. Jane pun semakin kaget karena
orang-orang di sekitar Jane, termasuk Hugh bisa melihatnya, tidak seperti Michael
dua puluh tahun lalu yang tidak bisa dilihat siapapun sampai-sampai ibu Jane,
Vivian (diperankan Stockard Channing), membawanya ke psikiater segala.
~wqwqwqwq
Jangankan Jane, Michael aja heran
kenapa ia bisa kembali ke dunia? Ia sampai berkonsultasi dengan rekan-rekannya
yang ditugaskan menjadi teman imajiner anak-anak lainnya dan mereka pun
sama-sama heran karena seluruh teman imajiner di semesta film ini sudah
meninggalkan tugasnya saat si anak sudah berusia sepuluh tahun.
Kemunculan Michael yang datang secara
tiba-tiba tentu saja menggoyang pertunangan Jane dan Hugh. Jane merasa bahwa
Hugh terlalu egois. Pasalnya, Hugh tidak peduli dengan detail-detail kecil
tentang Jane seperti apa warna kesukaannya, apa makanan favoritnya, apa hobinya
semasa kecil, yang sangat berarti bagi seorang wanita jika sang pria pujaan
hatinya sangat memperhatikan detail-detail kecil tentang dirinya.
Michael yang terpisah selama dua puluh tahun
dari Jane pun merasa heran karena Jane melupakan seluruh hobinya yang ia
lakukan saat ia masih bersama-sama dengan Jane dua puluh tahun yang lalu. Jane pun
menjelaskan bahwa ia telah tumbuh dewasa dan tidak semua orang bisa mewujudkan
cita-cita yang ia idam-idamkan saat ia kecil. Tidak semua orang yang
bercita-cita jadi penyanyi terkenal seperti Madonna bisa meraih cita-citanya
kan? Seperti itulah kira-kira penjelasan Jane pada Michael.
Beruntung, Jane punya seorang sahabat
yang bekerja sebagai seorang psikiater profesional bernama Jaqueline (diperankan
Kristin Booth) sehinnga ia bisa bercerita dan tidak dijudge yang aneh-aneh
olehnya.
Endingnya sudah bisa ditebak ya? Tentu
saja endingnya klise banget dan ketahuan dari awal kan bakalan seperti apa?
REVIEW
Menonton film ini saat saya berusia 31
tahun, sama seperti usia Jane dan Michael membuat saya senang sekaligus sedih.
Saya ingat betul, saat saya masih
tinggal di Kota Medan, sekitar 25 tahun yang lalu, saya punya teman masa kecil
yang kedekatannya sama seperti Jane dan Michael saat anak-anak di awal film. Dua
puluh lima tahun yang lalu, saya bahkan pernah berkelakar akan menikahinya
suatu saat nanti meskipun saya tahu ia memeluk agama yang berbeda dengan saya
sampai-sampai orang tua saya menertawakan kelakar saya tersebut. Namun setelah
saya kembali ke Kota Bandung, saya hampir tidak pernah bertemu lagi dengannya.
Sampai tulisan ini saya tulis, saya hanya bertemu dengannya sebanyak empat atau
lima kali dalam kurun waktu dua pulu lima tahun. Semuanya karena terkendala
jarak.
Seandainya jarak bukan masalah, dalam
artian saya sekaya Elon Musk atau Hotman Paris, saya tidak yakin kami masih
satu frekuensi karena kami sudah tidak menghabiskan waktu bersama lagi dalam
waktu yang lama. Selain itu, saat ini pun ia sudah menikah dan berumah tangga. Bahkan
saya tidak diundang ketika ia menikah dan pernikahannya hanya saya ‘saksikan’
lewat laman Instagramnya saja karena kami sudah tidak sedekat 25 tahun yang
lalu.
Film ini pun mengingatkan saya dengan anime
Byōsoku 5 Centimeter alias 5 Centimeter per Second (2007) yang sangat menyayat
hati.
Baca tulisan tentang Byōsoku 5
Centimeter di Mojok: Byōsoku
5 Centimeter Adalah Anime yang Paling Bikin Sakit Hati
Film ini pun mengingatkan saya dengan
film Christopher Robin (2018) dimana Christopher Robin (diperankan Ewan
McGregor) sudah melupakan seluruh sahabatnya di Hundred Acre Wood seperti Pooh,
Eeyore, Tigger, Owl, Piglet dan Roo karena Christopher Robin sudah tumbuh
dewasa, bekerja, menikah, dan memiliki anak. Film ini pun mengingatkan saya
dengan bagaimana Andy dalam semesta Toy Story yang harus berpisah dengan mainan
masa kecilnya seperti Buzz Lightyear dan Woody karena ia harus berkuliah dan
berpisah dengna mereka semua.
Baca tulisan saya: Betapa
Beratnya Menonton Toy Story Ketika Berusia 30 Tahun
Terlebih, setting film ini berada di
New York City, yang membuat saya sangat terikat padanya seolah-olah saya pernah
tinggal, hidup, dan tumbuh besar di sana padahal saya belum pernah menginjakkan
kaki saya di New York City sama sekali karena ada begitu banyak TV series,
film, komik, novel, hingga video games yang bersetting di New York City.
Baca tulisan saya tentang New York City
di Hipwee berikut ini: Sekali
Seumur Hidup, Saya Ingin Mengunjungi New York City
Sebagai FTV, Sundays at Tiffany's
adalah film yang sangat mudah dipahami dan dicerna karena premisnya sederhana,
tidak rumit sama sekali. Dari sudut pandang saya, jika film ini dibikin versi
movie dengan dibintangi aktor dan aktris papan atas Hollywood, dibuat dengan
sinematografi yang lebih mantap, pasti akan jadi film romance yang jauh lebih
bagus seperti film romance papan atas Hollywood macam The Notebook (2004)
maupun La La
Land (2016) karena film ini seperti mergering dari film Meet Joe Black
(1998) dan The Notebook (2004), hanya saja dalam versi liten dan happy endingya.
Anyway, Alyssa Milano di film ini
sangatlah cantik gila! Baik dalam versi anak-anak maupun ketika sudah dewasa
menggunakan gaun pernikahan.
0 Comments