IMDb: 8,2/10 | Rating
Saya: 8/10
Rated: PG | Genre: Drama, Family,
Sport
Directed by Majid Majidi
Written by Majid Majidi
Produced by Amir Esfandiari, Mohammad Esfandiari
Starring Mohammad Amir Naji, Amir Farrokh
Hashemian, Bahare Seddiqi
Cinematography Parviz Malekzaade
Edited by Hassan Hassandoost
Music by Keivan Jahanshahi
Production companies The Institute for the Intellectual
Development of Children & Young Adults
Distributed by Miramax Films
Release date February 1997 (Fajr)
Running time 88 minutes | Country Iran
Language Persian | Budget $180,000 | Box Office $1,6
million
Sewaktu saya kecil, ada banyak film legendaris
yang menemani masa kecil saya dan jutaan anak-anak di seluruh dunia. Sebut saja
comfort show macam Home Alone (1990), The Parent
Trap (1998), hingga Petualangan
Sherina (2000). Film tersebut sering diputar televisi swasta Indonesia,
jadi film tersebut tidak asing untuk kami. Namun ada satu film anak-anak yang
sering diputar, tapi saya gak tertarik untuk menontonnya saat anak-anak karena
hal tersebut tidak membuat saya nyaman, bahkan sampai sekarang, yakni film Iran
yang berjudul Children of Heaven (1997).
Baca tulisan saya tentang Comfort Show
di Mojok berikut ini: Comfort
Show: Alasan Kita Nontonin Tontonan yang Sama Berulang Kali
STORYLINE
Children of Heaven adalah film keluaran
tahun 1997 buatan Iran. Film ini bercerita tentang sepasang kakak beradik
bernama Ali (diperankan Amir Farrokh Hashemian) dan Zahra (diperankan Bahare
Seddiqi) yang tinggal di Kota Tehran, Iran. Maaf, tapi kehidupan mereka jauh
dari kata layak.
Ali dan Zahra |
Suatu hari, Ali tak sengaja
menghilangkan sepatu milik Zahra yang baru saja disol di tukang sol sepatu. Tentu
saja Zahra marah pada kakaknya, namun mereka tak berani mengungkapkan hal
tersebut pada orang tua mereka karena orang tua mereka pun lagi pusing karena
masalah ekonomi. Ayah mereka (diperankan Mohammad Amir Naji) adalah seorang
pekerja kerah biru yang penghasilannya tidak seberapa, sedangkan Ibu mereka (diperankan
Fereshte Sarabandi) adalah seorang ibu rumah tangga yang sibuk mengurus adik
bungsu mereka yang masih bayi dan lagi sakit-sakitan. Selain itu, keluarga
mereka sudah ditegur pemilik kontrakan karena mereka sudah berkali-kali
terlambat membayar uang sewa.
Kedua orang tua mereka adalah orang
baik. Saya yakin. Namun karena kondisi perekonomian mereka lagi sulit, Ayah
mereka kerjanya marah-marah melulu. Ali dimarahi karena dianggap gak ngebantuin
Ibunya. Ayah mereka pun memarahi istrinya karena istrinya nekad mengerjakan pekerjaan
rumah tangga padahal sudah dilarang dokter untuk bekerja terlalu keras karena penyakitnya.
Di sini gak disebutkan Ibu mereka sakit apa, tapi untuk mempersingkat cerita,
tidak usah kita bahas.
Untuk mensiasati sepatu Zahra yang
hilang, Ali dan Zahra bikin strategi dengan memakai sneakers Ali secara
bergantian. Zahra yang sekolah pagi akan menggunakan sepatu tersebut terlebih
dahulu, nanti ketika Zahra pulang sekolah, Ali gantian untuk menggunakannya.
Bisa ditebak, Ali jadi sering terlambat tiba di sekolah dan ditegur oleh
gurunya.
Ujian bagi Ali dan Zahra gak berhenti
sampai disitu. Sepatu yang mereka gunakan seringkali ikut mengalami ujian seperti
kehujanan saat mereka jemur, hingga Zahra yang tak sengaja tersandung pada
sebuah parit sehingga sepatu mereka basah. Nontonnya bikin frustasi!
Ali dan Ayahnya setelah kecelakaan sepeda |
Nah, untuk nambah penghasilan, Ayah
mereka mengajak Ali keliling Kota Teheran dengan menggunakan sepeda untuk
menawarkan jasa sebagai tukang kebun. Mereka memang berhasil menjual jasa
mereka pada sebuah rumah besar di kawasan elit Kota Teheran, tapi ujian bagi
mereka belum selesai karena tiba-tiba saja rem sepeda mereka blong dan mereka
mengalami kecelakaan. Frustasi anjir nonton film ini!
Namun, ada jalan untuk Ali karena Ali
termasuk murid yang cerdas dalam hal akademik dan juga olahraga. Ali
didaftarkan sekolahnya untuk mengikuti lomba lari untuk berkompetisi dengan
ribuan anak lainnya di Kota Teheran. Ali tentu saja mengincar hadiah dari lomba
lari tersebut. Untuk posisi ketiga, hadiahnya adalah sepatu, yang menjadikan
motivasi utama Ali untuk meraih posisi ketiga biar sepatunya bisa diberikan pada
Zahra.
REVIEW
Sungguh, menonton film ini bikin
frustasi! Kesenjangan sosial memang benar-benar terjadi di seluruh penjuru
dunia, termasuk Iran. Bagi kita, mungkin kehilangan sepatu bukanlah masalah
yang besar, namun bagi Ali dan Zahra, hal tersebut adalah kiamat. Gak kebayang
kan harus gantian sepatu hanya untuk sekadar sekolah? Bagi kita yang lahir dan
tumbuh di kota besar di lingkungan kelas menengah, mungkin kita memiliki beberapa
pasang sepatu yang diperuntukan untuk olahraga di gym, untuk bersekolah, hingga
untuk kondangan. Tapi tidak untuk keluarga Ali dan jutaan keluarga lainnya di
seluruh penjuru dunia yang masih terjebak dalam jurang kemiskinan. Jangankan
untuk beli sepatu, untuk makan saja sudah sangat sulit!
Sebagai anak yang tumbuh dalam jurang
kemiskinan, film ini memperlihatkan banyak tangisan Ali dan Zahra karena mereka
harus gantian sepatu. Film ini pun memperlihatkan kondisi sekolah di Iran yang
masih jauh dari kata layak.
Saat anak-anak SD di Amerika pada tahun
90an pergi ke sekolah dengan menggunakan bus seperti yang kita lihat pada film-film
Amerika tahun 90an, mereka harus berjalan kaki menyusuri lingkungan kumuh Kota
Tehan yang bisa bikin frustasi. Fasilitas sekolah mereka pun seperti fasilitas
sekolah pinggiran kabupaten terpencil di Indonesia yang jauh dari kata layak. Lingkungan
tempat tinggal Ali dan Zahra pun sangatlah mengkhawatirkan. Seperti lingkungan
kumuh Jakarta maupun kota-kota lainnya di India yang kita lihat lewat berita
televisi maupun film-film yang berseting di sana.
Saat menonton film ini pun saya seringkali
bertanya, “Dimanakah Tuhan?”
Bukan berarti saya tidak percaya dengan
keberadaan Tuhan atau meragukan Kuasa Tuhan. Tapi terkadang saya merasa dunia
ini tidaklah adil. Bagaimana anak-anak seperti Ali dan Zahra bisa mewujudkan impian
dan cita-citanya jika keadaan mereka seperti itu? Tumbuh di negara maju seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris saja susah untuk meraih cita-cita, apalagi
tumbuh dengan keadaan seperti mereka?
Memang, Ali dan Zahra bisa saja
berusaha keras untuk meraih cita-cita mereka dengan rajin belajar, rajin
olahraga, sembari memperluas networking mereka supaya bisa masuk SMA bagus, supaya
bisa masuk universitas bagus, supaya bisa dapat pekerjaan bagus. Tapi berapa
banyak anak seperti Ali dan Zahra yang hidupnya bisa sukses?
Memang, ada orang-orang tertentu yang kerja keras dari nol sehingga bisa sukses seperti Cristiano Ronaldo. Tapi Ronaldo hanyalah satu diantara sepuluh juta orang yang berhasil. Saya yakin jika Ronaldo lahir di Iran atau India, ia tidak akan jadi atlet sepak bola terbaik karena jujur saja, Ronaldo bisa sukses karena ia lahir di negara Eropa macam Portugal. Mungkin kalau lahir di Somalia kondisinya tidak akan sesukses sekarang. Di dunia ini ada banyak orang yang berlatih lebih keras dari Ronaldo, tapi yang berhasil hanyalah satu diantara sepuluh juta orang. Hidup memang sekeras itu.
Di film ini pun sempat menggambarkan
kesenjangan sosial antara Ali yang bersekolah di sekolah miskin Teheran berkompetisi
dengan anak-anak dari sekolah elit Teheran dimana orang tua mereka mendokumentasikan
lomba lari tersebut dengan menggunakan kamera SLR dan handycam yang di tahun
90an sangatlah mahal dan hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Lagian,
jangankan SLR dan handycam, outfit anak-anak dari sekolah elit tersebut saja
sudah beda dibandingkan Ali yang hanya menggunakan sneakers butut dan pakaian
olahraga seadanya.
Di luar itu semua, film ini memang
fenomenal. Film ini sempat dapat nominasi Oscar untuk kategori Best Foreign
Language Film namun film ini tidak memenangkan Oscar tersebut. Saya akui, film
ini memang fenomenal. Akting Amir Farrokh Hashemian dan Bahare Seddiqi patut
diacungi jempol! Akting luar biasa mereka bisa bikin orang menangis, marah, dan
juga frustasi saking bagusnya.
![]() |
Ali dan Zahra, they are really, the children of heaven |
At the end, they are really, the
children of heaven! Mereka benar-benar anak yang dirindukan oleh surga karena
kesabaran dan kesalehan mereka dalam mengarungi hidup. Saya gak yakin saya akan
sesabar mereka jika saya ada di posisi mereka. Tinggal di Indonesia dengan
keadaan ekonomi dan sosial yang lebih baik saja sudah membuat saya frustasi.
0 Comments