Saya
adalah satu dari sekian banyak orang yang menggemari berbagai maca sitkom,
mulai dari sitkom lokal macam Bajaj Bajuri dan Office Boy, sitkom Amerika
seperti How I Met Your Mother, The Big Bang Theory, Young
Sheldon, Modern
Family, hingga sitkom legendaris 90an, Friends.
Baca
tulisan saya di Mojok: Sitkom
‘Friends’ Adalah Sitkom Era 90-an Paling Ikonik Sepanjang Masa
Ramadan
tahun ini, buat mengisi kesuntukan, saya iseng berdiskusi dengan ChatGPT untuk
merkomendasikan sitkom yang harus saya tonton. ChatGPT merekomendasikan The
Office. Setelah membaca plot ceritanya, deretan cast, hingga meme-meme internet
yang ternyata berasal dari The Office, gak pikir panjang, saya langsung
marathon menontonnya sampai tulisan ini saya tulis.
The
Office sendiri bercerita tentang lika-liku pekerja kantoran dari sebuah
perusahaan kertas bernama Dunder Mifflin. Sitkom ini berfokus pada Dunder
Mifflin Cabang Scranton yang menghadapi berbagai permasalahan pekerja kantoran
seperti efisiensi budget, tekanan sales, konflik antar employee, hingga cinlok
yang terjadi di sana. Bahkan, gak sampai cinlok, banyak juga skandal
perselingkuhan yang diceritakan dalam sitkom ini.
Setiap
tokoh di dalamnya punya karakter uniknya sendiri-sendiri, seperti Michael
Scott, Regional Manager yang nyentrik, staf sales bernama Dwight Schrute yang
disiplin dan kaku, Kelly Kapoor, wanita keturunan India yang ceria banget,
hingga Jim Halpert, staf sales yang diam-diam ngeceng Pam Beesly, resepsionis
kantor yang sudah tunangan dengan staf logistik bernama Roy Anderson.
Plot
dan karakternya kayak gimana bisa kalian tonton sendiri ya. Saya gak akan bahas
itu di sini. Sebut saya budak kapitalis, karena saya mengakui hal tersebut.
Pasalnya, setelah sitkom ini, saya pun jadi pingin ngerasain kerja kantoran di
perusahaan kayak Dunder Mifflin, yang cabangnya tersebar di beberapa kota di
Amerika Serikat.
Saya
pun bukannya gak pernah kerja kantoran. Saya sempat kerja kantoran. Saat itu,
baru sebulan kerja kantoran sebagai salah satu staf back office dari rumah
sakit swasta di Kota Bandung, eh tiba-tiba pandemi Covid-19 muncul. Saya
terpaksa harus kerja dari rumah alias WFH hingga sisa kontrak saya selesai deh.
Setelah lebih dari setahun kerja serabutan, saya kembali kerja sebagai salah
satu staf
admin di perusahaan manajemen konstruksi. Lagi-lagi, saya gak
bertahan lama kerja di sini karena faktor eksternal yang gak mampu saya
kontrol.
Saat
ini, saya bekerja sebagai copywriter
di salah satu perusahaan agensi di Kota Bandung.
Karena saya hitungannya cuma part-time, jadi ya saya hampir gak pernah ke
kantor karena bisa WFA. Saya hanya ke kantor kalau ada keperluan seperti
bantu-bantu photoshoot klien di luar kota saja. Selain itu, kantor saya ini kan
hitungannya industri kreatif, seluruh employeenya pun Mileneal dan Gen Z,
jadinya kurang berasa kantorannya kayak di sitkom The Office deh.
“Memang
kenapa kurang berasa kantorannya?”
Jadi
The Office itu konsep kantorannya ya kantor yang formal. Ada resepsionis di
depan buat nerima tamu, para employee duduk di meja semi cubicle lengkap dengan
komputer masing-masing dan berbagai dokumen, kertas dan alat tulis kantornya,
ada ruang HRD, ada ruang meeting, ada mesin fotokopi, hingga pantry buat bikin
kopi atau menghangatkan makanan di microwave.
Lalu
ya kerjanya pun formal banget, back officenya pada pake jas, dan bagian gudang
pakai kemeja lapangan. Ada memo antar departemen, dan tiap employee ngelapor ke
kepala departemen. Kepala departemen melapor ke Regional Manager. Regional
Manager baru ngelapor ke kantor pusat.
Lalu
ya drama-drama di kantornya bikin seru, mulai dari employee yang gak mau lembur
di hari Sabtu, employee yang suka kepo makan siang kita apaan, hingga
bumbu-bumbu cinta di kantor yang bikin HRD sampai kantor pusat turun tangan.
Seperti itulah yang bikin saya pingin ngerasain kerja kantoran itu kayak
gimana.
“Kalau
gitu, kenapa gak ngelamar ke kantor formal kayak gitu aja? Misalnya Kementerian
di Jakarta, BUMN, atau perusahaan multinasional yang berkantor di SCBD?”
Ya
pinginnya juga gitu sih. Tapi ya sejak saya lulus kuliah saya udah puluhan kali
bolak-balik Jakarta buat seleksi CPNS, BUMN, hingga berbagai perusahaan
multinasional. Tapi gak ada yang masuk. Mentok-mentok cuma psikotes dan
wawancara doang. Kata orang sih bukan rezekinya, tapi mungkin emang skill saya
gak cocok di sana aja kali ya?
Baca
tulisan saya di Mojok: Orang
Melamar Kerja dan Nggak Keterima kok Dibilang ‘Belum Rezeki’? Katakan Saja
Alasan Logisnya!
Mungkin
emang saya yang old school? Karena pingin ngerasain jadi salaryman kayak di
sitkom The Office atau jadi salaryman kayak Hiroshi Nohara di Jepang, sementara
banyak Generasi Mileneal angkatan saya atau Gen Z yang bercita-cita kalaupun
kerja kantoran, kerja di kantor yang casual, gak formal. Ya mau gimana, soalnya
saya tumbuh melihat orang tua saya kerja kantoran di kantor formal persis kayak
di sitkom The Office gitu. Saya gak ada gambaran gimana kerja di kantor yang
gayanya casual atau semi formal, bahkan setelah saya kerja di pekerjaan saya
yang sekarang.
Teman-teman
saya banyak berkata, “Kerja kantoran itu gak seasyik kelihatannya. Pekerja
yang tiap malam lembur di SCBD, yang kantornya tinggi-tinggi dan penuh AC itu,
juga pusing hidupnya.”
Memang
benar. Mungkin impian saya tentang kerja kantoran yang seru itu memang terlalu
dipengaruhi oleh fiksi. Tapi ya gak apa-apa juga. Soalnya, fiksi kayak The
Office bisa bikin saya merasa "hidup" di dunia yang gak pernah
benar-benar saya rasakan.
Sampai
sekarang saya masih belum tahu rasanya kerja kantoran kayak di Dunder Mifflin.
Tapi kalau suatu hari saya diterima di kantor formal, semoga saya gak ketemu
bos kayak Michael Scott. Walaupun… jujur aja, kayaknya kerjaan bakal lebih seru
sih karena orangnya nyentrik tapi perhatian banget sama employeenya secara
personal.
0 Comments