Setelah nonton Deadpool & Wolverine (2024), saya merasa ketinggalan karena belum nonton Logan (2017). Telat banget sih, nonton Logan (2017) di tahun 2025, itu pun setelah nonton Deadpool & Wolverine (2024). Tapi ya gapapa juga, memangnya mau ke mana buru-buru? Dulu saya malas ngikutin X-Men, Deadpool, dan Fantastic Four karena mikir, “Ah, toh gak satu universe sama MCU.” Tapi ternyata saya salah.

Baca tulisan saya di Mojok: 3 Alasan Kita Suka Film Superhero meski Ceritanya Gitu-gitu Aja

Baca tulisan saya di Mojok: Superhero Fatigue: Ketika Film Superhero Mulai Bikin Enek

Selain itu, pada tahun 2017, trailer dan baca-baca di forum nunjukkin bahwa Logan ini premisnya adalah tentang Logan (Hugh Jackman) yang sekarat di akhir hidupnya dan berusaha berbuat satu kebaikan sebelum ajal menjemput. Mirip dengan premis film animasi DC, The Dark Knight Returns. Setelah nonton, saya cuma bisa bilang, Logan (2017) ini adalah film Marvel terbaik buatan Fox sebelum dibeli Disney. Buat saya, ini sebuah masterpiece, meski tetap masih di bawah The Dark Knight Trilogy (Nolan), Spider-Man (Raimi), dan Avengers: Endgame (2019).

Logan dan Charles Xavier

Di Deadpool & Wolverine (2024), Logan alias Wolverine itu gak tua-tua banget, tapi di Logan (2017), anjir tua banget! Brewok gak keurus, rambut acak-acakan, massa otot yang menyusut (meski masih berotot untuk ukuran orang tua), batuk-batuk penyakitan, kesakitan saat berjalan, dan kerjaannya marah-marah. Demikian juga Charles Xavier (Patrick Stewart). Gak kayak pemimpin X-Men, tapi mirip kayak kakek-kakek di panti jompo ini keadaannya. Gak bisa lepas dari obat, sering demensia, dan kelihatan sangat lemah.

Laura si bocil random

Pada intinya, di sini Logan berusaha menyelamatkan seorang bocil 11 tahun dari Meksiko bernama Laura (Dafne Keen). Tahun 2017 yang lalu saja saya sudah menduga bahwa bocil ini tidak lain dan tidak bukan adalah anak dari Logan. Dan benar saja, bocil ini technically adalah anak dari Logan. Di awal film saya bertanya-tanya, “Ini Logan tidur sama siapa anjir?”

Gak tahunya, Laura ini cuma hasil kloningan doang dari lab. Dan di lab tempat Laura dikloning ini banyak mutan hasil percobaan yang diproduksi dan dilahirkan buat jadi tentara bayaran. Mirip kayak Eleven (Millie Bobby Brown) pada series Stranger Things. Terus ya film ini juga nunjukkin bahwa banyak warga Meksiko yang jadi korban dari kartel atau mobs Amerika, karena di sini yang jadi inang untuk kloningnya kebanyakan wanita Meksiko yang tidak beruntung secara ekonomi, sehingga ia mau jadi inang untuk melahirkan mereka.

Film ini bikin saya benar-benar bersimpati pada Charles Xavier dan Logan yang sudah tua, kelelahan, dan sakit-sakitan. Rasanya tragis dan manusiawi, sesuatu yang jarang banget ditampilkan dalam film superhero. Biasanya, setua apapun superhero kan tetap aja kuat dan gak seperti lansia pada umumnya.

Sampai saya selesai menonton film ini, saya belum tahu apsti kenapa Logan yang punya healing super cepat bisa sakit-sakitan, atua kenapa Charles Xavier seperti kakek-kakek di panti jompo. Memang harus nonton ulang dari X-Men (2000) biar tahu kayak gimana. Tapi satu hal yang pasti, Logan ini bukan film superhero biasa, ia adalah masterpiece bagi saya, meski ya tingkatannya masih di bawah The Dark Knight Trilogy (Nolan), Spider-Man (Raimi), dan Avengers: Endgame (2019).

Logan (2017) bukan soal superhero yang berhasil menyelamatkan dunia. Ini tentang manusia yang kelelahan, tua, dan mencari arti di akhir hidupnya. Kita jarang banget dikasih film superhero yang bikin mikir, “Apa jadinya superhero di akhir penghujung hidupnya yang sakit-sakitan dan tanpa keluarga?

Buat saya pribadi, film ini bukan cuma tontonan, tapi juga renungan. Apakah nanti saya akan menghidupkan masa tua seorang diri seperti Logan dan Charles Xavier? Tanpa keluarga, tanpa uang, dan tanpa rumah?