4
Agustus 2022, saya menonton Pengabdi Setan 2: Communion karya Joko Anwar. Saya
sengaja menonton film tersebut tepat pada hari pertama penayangannya supaya
tidak terkena spoiler dimana-mana. Saya juga menganggap Joko Anwar sebagai
salah satu sutradara terbaik Indonesia saat ini, makanya saya gak ragu buat
nonton di hari pertama. Tapi saya gak akan membahas film tersebut di tulisan
ini, saya akan membahas pengalaman saya setelah menonton film tersebut.
Baca
ulasan saya tentang Pengabdi
Setan 2: Communion
Saya
menonton sekuel Pengabdi Setan (2017) tersebut pada siang hari pukul 13.30
seorang diri dengan harapan, supaya sepi. Supaya tidak banyak gangguan terutama
dari para remaja yang biasa datang bergerombol untuk menonton film bioskop.
Tapi harapan saya pupus. Pasalnya, bioskop sangatlah penuh jauh sebelum saya
duduk di bioskop, yakni sejak saya memesan tiket pre-ordernya secara online.
Baca
ulasan saya lainnya tentang Pengabdi Setan 2: Communion: Rayuan
Pulau Kelapa, Scene Paling Berkesan saat Nonton Pengabdi Setan 2
Saya
memesan tiket pre-ordernya, barisan favorit saya di bioskop, yakni kursi paling
belakang sudah dipesan orang sehingga saya terpaksa duduk di barisan
berikutnya, yakni barisan kedua dari belakang. Anehnya, saat tiba di bioskop,
seluruh barisan tersebut kosong begitu saja. Hipotesa saya ada dua, petama, seluruh
penonton yang sudah memesan tiket tersebut tidak datang. Kedua, sengaja
dikosongkan oleh pengelola bioskop.
Bukan
tanpa alasan saya memikirkan seluruh barisan kursi tersebut sengaja dikosongkan
oleh pengelola bioskop. Sejak masih sekolah, saya sering mendengar berita
penonton yang kesurupan saat menyaksikan film horror. Entah memang benar-benar
kesurupan makhluk halus, atau memang kondisi neurologis di otaknya yang sedang
bermasalah secara psikologis. Makanya saya memikirkan hal tersebut.
Baca
tulisan saya di Mojok: Analisis
Ustaz atau Pendeta Kalah di Pengabdi Setan dan Film Horor Lainnya
Malamnya,
setelah puas disajikan film dengan kualitas wahid oleh Joko Anwar, saya susah
tidur. Setiap beberapa jam sekali, saya terbangun. Alih-alih kembali tidur,
saya malah memikirkan berbagai adegan yang saya saksikan tadi siang seperti
adegan memandikan jenazah, mengkafani jenazah, hingga adegan jenazah yang tergeletak
begitu saja di lantai, menunggu untuk dikebumikan pada keesokan harinya.
Saya
melihat lantai rumah saya, untuk memastikan tidak ada jenazah yang tergeletak
di lantai. Saya juga memastikan kursi di depan saya, untuk memastikan tidak ada
seseorang yang duduk disana. Saya melihat langit-langit rumah saya yang
tergolong tinggi karena dibangun puluhan tahun yang lalu, untuk memastikan
tidak ada sosok yang terbang atau melihat saya dari kejauhan seperti adegan
film horror yang biasa saya tonton selama ini.
Saya
merasa lemah, merasa sangat hina bisa ketakutan seperti anak kecil yang baru
saja menonton film horor karena terbayang-bayang seperti itu. Apalagi saya
sempat memposting tweet yang berbunyi, “Pengabdi Setan 2 tidak seseram itu
karena menurut saya, lebih seram kehidupan sehari-hari dimana kita harus
membayar tagihan listrik, tagihan air, tagihan BPJS, pajak kendaraan bermotor.
Lebih seram lagi kalau ternyata kita lagi nganggur dan gak ada uang untuk
membayar itu semua!”
Terakhir
kali saya merasakan hal seperti ini adalah ketika saya baru saja menonton film
Jelangkung (2001) 20 tahun yang lalu. Saya berpikir, wajar saja saya mengalami
kejadian traumatis seperti 20 tahun yang lalu, pasalnya saat itu saya baru
berusia 10 tahun. Saat ini, saya sudah berusia 30 tahun dan kebayang-bayang
dengan film horor yang saya tonton tadi siang? Yang benar saja?
Sambil
terus terbangun-bangun setiap beberapa jam sekali, saya terus mencoba berpikir
positif. Sebagai sarjana ilmu komunikasi yang sedikit mempelajari ilmu psikologi
komunikasi, saya menyimpulkan bahwa kesulitan tidur yang saya alami dikarenakan
rangsangan stimulus film horror yang saya tonton pada siang harinya.
Saya
jadi teringat, 30 Oktober 1938 sebuah siaran radio yang menyiarkan invasi alien
dari Mars menggegerkan warga Amerika Serikat karena siaran radio tersebut
benar-benar terasa sangat nyata, padahal hanyalah sandiwara radio belaka. Ada
yang tiba-tiba berdoa pada Tuhan, ada yang sibuk menyelamatkan diri, ada yang
berteriak histeris. Saya merasa, bahwa saya telah mengalami ketakutan seperti
yang dilakukan warga Amerika Serikat tahun 1938 tersebut.
Untuk
mengurangi rasa takut yang saya alami, saya memasukan kucing yang biasa duduk
di teras rumah saya untuk masuk ke dalam rumah saya menemani saya tidur. “Setidaknya,
supaya saya punya teman”, begitulah pikir saya yang masih dalam keadaan
setengah sadar.
Ilustrasi pocong |
Saya
masih berusaha berpikiran logis meskipun kondisi saya setengah sadar. Saya
menyimpulkan kondisi traumatis yang saya alami disebabkan Joko Anwar yang
memasukkan unsur yang sangat relate dengan orang Indonesia, yakni pocong.
Sebagian besar orang Indonesia saya jamin pasti pernah mengalami atau minimal
menyaksikan prosesi memandikan jenazah, mengkafani jenazah hingga menshalatkan
jenazah sebelum dikebumikan secara langsung bukan? Bahkan untuk orang yang
tidak beragama Islam sekalipun bukan?
Makanya,
adegan tersebut terbawa-bawa ke alam bawah sadar saya. Tidak seperti saat saya
menonton film horror macam The Conjuring, Insidious atau Annabelle yang unsur
sosial budayanya gak relate untuk orang Indonesia seperti saya.
Tapi
saya juga kepikiran, waktu nonton Pengabdi Setan (2017) saya gak mengalami
kejadian traumatis seperti ini. Pun, ketika menonton film horror Indonesia
lainnya macam Kuntilanak (2006), Pocong 2 (2006) hingga Kafir: Bersekutu dengan
Setan (2018) tapi saya gak mengalami hal seperti ini? Saya juga pernah nonton
film karya Joko Anwar berjudul Grave Torture (2016) yang menampilkan adegan
pemakaman dan adegan siksa kubur, tapi saya gak seperti ini juga, sehingga saya
berpikiran, “Jangan-jangan ini beneran digangguin setan?”
Baca
ulasan saya ketika berkunjung ke lokasi shooting Pengabdi Setan: Berkunjung
ke Rumah Ibu 'Pengabdi Setan' di Pangalengan
Saya juga sempat mendiskusikan hal ini dengan teman saya yang bernama Iren pada suatu malam via WhatsApp. Bahkan ia pun mengalami hal yang sama dengan saya. Ia bercerita pada saya, untuk bisa sembuh dari kondisi ini, harus sering menonton film kartun atau menyibukan diri supaya alam bawah sadar dalam otak saya bisa melupakan kejadian tersebut dengan cepat karena alam bawah sadar kita berdua sedang rusak setelah menonton film tersebut. Namun, saat mendiskusikan hal tersebut, ia sampai bilang, “Hawanya gak enak di rumah setelah nonton Pengabdi Setan 2. Ganti topik yuk!”
0 Comments