Saya
sangat menikmati karya-karya Joko Anwar seperti Janji Joni (2005), Quickie
Express (2007, Kala
(2007), Pintu
Terlarang (2009), Modus Anomali
(2012), hingga Pengabdi
Setan (2017). Kombinasi apik Joko Anwar dan sejumlah aktor yang terlibat
bersamanya bisa saya katakan sangat bagus. Big respect for him! Makanya, hampir
seluruh film Joko Anwar sudah saya tonton. Beberapa di antaranya sengaja saya
saksikan secara langsung di bioskop biar gak ketinggalan.
Ketika
Joko Anwar bilang ia akan bikin film yang berjudul Siksa Kubur, saya langsung
excited. Pasalnya, deretan aktor di dalamnya gak main-main. Faradina Mufti,
Reza Rahadian, Happy Salma, Fachri Albar, Slamet Rahardjo, Niniek L. Karim
hingga Christine Hakim beradu akting pada film ini.
Terlebih,
pada tahun 2012 yang lalu Joko Anwar udah bikin film pendek berjudul Grave
Torture yang bikin saya dan teman-teman kuliah saya langsung melaksanakan salat
berjamaah saat menginap di rumah saya saking bikin kita takut akan siksa
neraka.
Masih
lebih bagus Pengabdi Setan (2017)
“Rame
sih, tapi asa kurang euy”, adalah kalimat yang saya ucapkan setelah
menyaksikan film teranyar Joko Anwar yang berjudul Siksa Kubur. Kalau boleh
membandingkan, masih jauh lebih bagus Pengabdi Setan (2017)!
Pengabdi
Setan berfokus pada teror yang dialami oleh seluruh anggota keluarga “Ibu”
selepas “Ibu” meninggal dunia. Penonton diajak penasaran dengan masa lalu “Ibu”
yang dapat membuat suami dan anak-anaknya diteror. Bahkan, nonton Pengabdi
Setan 2: Communion jauh lebih membekas untuk saya padahal gak ada adegan
siksa kuburnya sama sekali.
Sedangkan Siksa Kubur bikin fokus penonton bercabang. Penonton diajak berpikir. Bagi yang sudah nonton pasti tahu apa maksud saya. Siksa Kubur ini seperti film-film Christopher Nolan macam Inception (2010) maupun Tenet (2020) di mana penonton harus berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam film tersebut. Jadi gak usah heran, ada begitu banyak teori liar berseliweran di dunia maya yang menafsirkan film ini.
Secara
filosofis pun film ini menjelaskan tentang apa yang sebenarnya disiksa malaikat
di Alam Kubur. Fisiknya? Atau arwahnya? Karena fisik seorang manusia sudah
mati, bukan? Apa lagi yang disiksa? Apa lagi yang dirasakan? Selain itu,
bagaimana dengan orang yang pada semasa hidupnya menikmati siksaan fisik alias
masokis? Bukankah berarti bentuk siksaan kubur adalah kenikmatan bagi mereka?
Lagi-lagi, penonton dipaksa untuk berpikir.
Premis
yang sanga menarik
Saat kanak-kanak, Sita (Widuri Puteri) menyaksikan kedua orang tuanya jadi korban bom bunuh diri saat masih kanak-kanak. Sialnya, setelah berstatus sebagai anak yatim piatu, Sita dan kakaknya, Adil (Muzakki Ramdhan), terpaksa harus mendekam di sebuah pesantren dan menyaksikan pemuka agama (baca: oknum) yang menggunakan tameng agama untuk berbuat cabul pada anak di bawah umur.
Sita
pun kesal dengan sistem pendidikan agama yang alih-alih berfokus mengajak
manusia untuk berbuat baik pada sesama, malah fokus menyebarkan ketakutan (fear
mongering) akan ngerinya siksa kubur dan siksa neraka. Premis film ini harusnya
bisa lebih dimaksimalkan.
Joko
Anwar sudah sangat berani mengangkat isu pencabulan yang dilakukan (oknum)
pemuka agama, fear mongering akan siksa kubur yang selalu jadi materi andalan
pemuka agama dalam berdakwah, hingga aksi persekusi atau sebutan “penista
agama” alih-alih diajak diskusi secara sehat pada orang-orang seperti Sita.
Jujur saya,
alih-alih ingin melihat bagaimana manusia paling berdosa di Bumi disiksa
malaikat di Alam Kubur, saya justru ingin melihat jawaban dari kenapa manusia
paling berdosa di Bumi dibiarkan berumur panjang sedangkan anak-anak seperti
Adil yang dicabuli (oknum) pemuka agama atau anak-anak di Palestina misalnya,
dibiarkan menderita oleh Tuhan, seolah-olah Tuhan “AFK”.
Materi-materi
di atas sering dipertanyakan Coki Pardede dan Ricky Gervais ketika mereka stand
up di atas panggung maupun yang sering dipertanyakan kartun-kartun satire macam
The Simpson atau Family Guy.
Faradina Mufti dan Widuri Puteri |
Meskipun
begitu, saya sangat menikmati film ini. Terutama akting Widuri Puteri sebagai
Sita kanak-kanak dan juga Faradina Mufti sebagai Sita dewasa. Kombinasi keduanya
sangatlah kuat. Seolah-olah Widuri Puteri dan Faradina Mufti adalah satu
individu yang sama. Seperti Rober de Niro dalam film The Godfather Part II yang berperan sebagai Vito Corleone muda dan Marlon Brando yang berperan sebagai Vito Corleone tua.
Reza Rahadian |
Saya
akhirnya mengerti, kenapa banyak film menggunakan Reza Rahadian alih-alih aktor
lainnya karena di film ini, Reza Rahadian aktingnya sangat bagus! Ia begitu
piawai mempertunjukkan seorang pria yang depresi setelah dilecehkan (oknum)
pemuka agama saat kecil, lalu bekerja sebagai orang yang memandikan jenazah,
lalu depresi juga ditinggal oleh istrinya karena masalah ekonomi.
Siksa
Kubur bukanlah tipikal film ringan yang easy to watch. Harus dalam keadaan
prima untuk menyaksikannya. Bahkan harus menonton film ini lebih dari satu
kali, seperti menonton Inception (2010) maupun Tenet (2020). Tapi kalau saya
sih, berencana nonton ulang kalau film ini sudah beredar di Netflix atau
platform lainnya. Menonton ulang film yang sama di bioskop bukan jalan ninja
saya karena saya bukan anak Hotman Paris.
0 Comments